Oleh Azies Rismaya Mahpud
Sifat yang selalu melekat pada warga Tasikmalaya adalah gotong-royong. Dalam bahasa “buhun” disebut sauyunan sabilulungan. Sistem ekonomi yang erat kaitannya dengan gotong-rotong atau sauyunan sabilulungan adalah koperasi. Muasal kata “koperasi” itu dari cooperatie (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut cooperation.
Jika perusahaan dan UMKM bertumbuh subur di “Lemah Sukapura” ini, tidak demikian dengan koperasi. Ia bagaikan mati suri kalau tidak mau dikatakan “hidup segan mati tak mau”.
Bangkrutnya Koperasi BKPT di Kecamatan Ciawi seolah-olah menandai keruntuhan koperasi. Pada masa jayanya koperasi ini telah menyejahterakan banyak anggotanya yang sebagian pegawai negeri sipil lewat sistem simpan-pinjam dan kreditnya. Padahal, keruntuhannya semata-mata akibat salah urus dan ketidakprofesionalan pengurusnya sepeninggal para pendirinya.
Koperasi seharusnya dijadikan kebanggaan warga Tasikmalaya. Bukan sekadar kebanggaan, melainkan juga sistem ekonomi yang masih pantas untuk digerakkan kembali secara sauyunan sabililungan oleh warga Kabupaten Tasikmalaya.
Tahukah Anda bahwa Tugu Koperasi Indonesia itu ada di Tasikmalaya? Saya berharap, kalau punya waktu semoga Anda bisa jalan-jalan dan mengunjungi Tugu Koperasi Indonesia yang terletak di Jalan Mohamad Hatta No. 63 Kelurahan Sukamanah, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya.
Tugu ini sengaja dibangun di Jalan Mohamad Hatta, sebab selain dikenal sebagai proklamator bersama Soekarno, beliau adalah pendiri koperasi di Indonesia.
Tugu Koperasi Indonesia merupakan tugu peringatan Kongres Koperasi Indonesia pertama yang berlangsung di Tasikmalaya pada tahun 1947, sekaligus penanda sejarah lahirnya koperasi di Indonesia.
Tugu ini berbentuk 12 pilar setinggi tiga meter, berjajar setengah lingkaran mengelilingi logo koperasi berbentuk pohon beringin yang terbuat dari kuningan. Pilar sebanyak 12 ini menandakan lahirnya koperasi pada 12 Juli 1947. Tanggal inilah, yaitu 12 Juli, ditabalkan sebagai Hari Koperasi.
Di dalam kompeks Tugu Koperasi ada juga Pusat Koperasi Kota-Kabupaten Tasikmalaya (KPPT) yang didirikan tahun 1943 atau empat tahun sebelum Kongres Koperasi Indonesia yang pertama dilangsungkan. Pada masa jayanya, KPPT ini merupakan koperasi terbesar di Tasikmalaya bahkan di Indonesia!
KPPT menjadi koperasi terbesar di Tasikmalaya yang memiliki berbagai unit usaha, mulai simpan pinjam hingga pabrik tenun. Model simpan pinjam inilah yang disebut kredit. Saking berkembang-pesatnya model kredit koperasi ini, sehingga banyak orang Tasikmalaya menjadi “tukang kredit” yang dengan cara sederhana “ngumbara” ke hampir seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, banyak ditemukan “tukang kredit” asal Tasikmalaya.
Malukah disebut orang Tasikmalaya sebagai “tukang kredit”? Keliru kalau malu. Sebaliknya, kita harus bangga menjadi warga Tasikmalaya. Coba sebutkan barang apa yang tidak dikredit saat ini! Mulai barang elektronik, kendaraan sampai perumahan, tidak lepas dari sistem kredit ini, bukan?
Meskipun saya seorang pengusaha yang menjalankan sistem usaha untung-rugi atau dalam istilah bisnis disebut revenue streaming, saya tetap menaruh perhatian kepada sistem ekonomi koperasi yang jelas-jelas lahir di Tasikmalaya ini. Kami ingin membangkitkan kembali usaha koperasi ini dengan membuatnya lebih modern, terutama dari sisi pengelolaannya.
Sumber Daya Manusia sebagai pengelola koperasi sangat penting, tidak lagi asal rekrut dan mengandalkan nepotisme. Institut Manajemen Koperasi Indonesia sudah lama berdiri di Jatinangor. Saya yakin ada lulusan perguruan tinggi itu, juga perguruan tinggi ekonomi lainnya, yang mahir dalam mengelola sistem usaha koperasi.
Insya Allah, kami akan memberdayakan mereka. ***