KAPOL.ID – Isu-isu apa yang akan mendorong partisipasi politik warga di Indonesia, yang pada 9 Desember nanti akan memilih kepala-kepala daerah baru? Menurut mantan direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, meski tingkatnya berbeda, pertarungan sengit di lapangan membuat “pilkada rasa pilpres.” Ini dikarenakan pilkada dilangsungkan serentak untuk memilih gubernur baru di sedikitnya sembilan provinsi, pemilihan bupati di 224 kabupaten dan pemilihan walikota di 37 kota pada 32 provinsi.
“..pada 2004 ketika pilpres baru pertama kali berlangsung ada kondisi di masyarakat ketika kita baru saja melewati masa pemilihan yang dilakukan oleh MPR, ada pemakzulan Gus Dur dan peralihan kepemimpinan pada Megawati, sehingga pilpres 2004 selain menjadi pilpres pertama yang menggerakkan rakyat adalah karena (1) mereka dapat langsung memilih pemimpinnya, (2) ada keinginan untuk mendapatkan pemerintahan yang kuat, stabil dan tidak mudah digoyang. Karena pengalaman pemerintahan sebelumnya di mana ada pengalaman sebelumnya ketika presiden berganti karena proses pemakzulan,” jelasnya.
Waktu itu, menurut Titi, ada keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang lebih stabil, sehingga masyarakat pergi ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Apalagi waktu itu capres cukup banyak, ada lima, dan mereka menggarap konstituennya masing-masing. Jadi gerakan dan isu besar yang dibangun di masyarakat, baik sebagai gerakan kelompok maupun gerakan sosial yang berorientasi pada tata kelola pemerintahan yang lebih holistik, akan menjadi pemicu atau pendorong partisipasi publik dalam pemilu.
Titi menyoroti pilpres tahun 2014, tentang bagaimana kepemimpinan SBY selama dua periode yang di akhir masa kepemimpinannya, yang menurutnya cukup memiliki isu terkait ketegasan dan kemampuan memimpin dengan pengambilan keputusan yang tegas dan lain-lain, meski tidak terlalu banyak masalah, tetapi muncul gerakan kepemimpinan sipil yang sederhana.
“Kebutuhan pada figur baru yang disimbolisasi sebagai kepemimpinan merakyat yang berangkat dari bawah juga memicu partisipasi politik yang tinggi. Jadi, jika dilihat dari periode pilpres kita, isu-isunya cukup khas yang menggerakan pemilih datang ke TPS. Tahun 2019 jumlah partisipasi politik juga sangat tinggi yang juga karena keterbelahan/polarisasi dalam masyarakat,” jelas Titi.
Partisipasi politik merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Tidak saja sebagai bagian dari proses memilih pemimpin dan membuat kebijakan, tetapi juga melakukan kontrol atas agenda yang telah diputuskan bersama itu. Isu yang berkembang terbukti ikut mendorong partisipasi politik, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal teknis lain seperti waktu, tempat dan kemudahan memberikan suara menjadi faktor penting lainnya. [em/jm/es/voa]