KANAL

Mengakhiri Resesi Butuh Solusi Syar’i

×

Mengakhiri Resesi Butuh Solusi Syar’i

Sebarkan artikel ini

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)

Pemerintah Kota Bandung akan mengoptimalkan peran pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah untuk menopang perekonomian di tengah resesi. Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUMKM) Kota Bandung, Atet Dedi Handiman menuturkan, setidaknya secara statistik ada 300.000 pelaku UMKM di Kota Bandung. Sehingga dengan mengoptimalkan pelaku UMKM sejumlah itu, setidaknya bisa meminimalisasi dampak resesi di masyarakat bawah. Saat ini, upaya yang dilakukan tidak berupa bantuan tunai untuk pelaku UMKM. Menurutnya, langkah yang dilakukan berupa transfer knowledge serta bantuan akses permodalan. (Bisnis.Com, 5/10/2020)

Resesi adalah kondisi perlambatan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal secara berturut turut. Hal ini berarti terjadi peningkatan inflasi dan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan produksi akibat penurunan daya beli, penurunan jumlah penghasilan khususnya dalam industri nonpertanian dan perternakan, serta adanya pengurangan pekerja dan peningkatan jumlah pengangguran.

Resesi pada umumnya dipicu peningkatan utang, adanya turbulensi ekonomi yang mendadak (seperti virus Corona), adanya bubble economy/asset bubble (seolah asetnya banyak tapi faktanya tidak dimiliki), peningkatan harga barang (inflasi) dalam waktu singkat, perubahan teknologi (Artificial Intelligent yang banyak menyingkirkan peran manusia), serta adanya over deflation.

Aktivitas ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dengan dua sektor yaitu sektor keuangan (moneter) seperti perbankan, pasar modal, pasar uang, dan sektor riil yaitu aktivitas pertukaran barang dan jasa. Dikatakan riil karena ada pertukaran barang dan jasa secara nyata. Setiap tenaga atau materi yang dipertukarkan mendapat kompensasi berupa barang dan jasa secara langsung.

Kondisi resesi pada 2020 sangat berbeda dengan resesi yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Sebelum 2020, resesi yang terjadi dipicu aktivitas di sektor keuangan. Namun, resesi tahun ini tidak hanya dipicu bubble economy, melainkan juga adanya pandemi virus Corona yang juga menghantam sektor riil.

Para ekonom menganggap resesi ini akan “sembuh” dengan sendirinya, karena begitu sektor keuangan terjadi ledakan, sektor riil masih bisa dimainkan. Sayangnya, untuk kondisi tahun 2020 tidak demikian adanya. Sektor keuangan yang sudah sempoyongan karena mabuk utang, diperparah dengan melambatnya sektor riil akibat wabah yang membuat aktivitas terhenti dan banyak pasar ditutup.

Solusi yang biasanya diambil saat terjadi krisis sebelum tahun 2020 adalah memberikan stimulus ke pasar riil berupa penurunan pajak dan penurunan suku bunga. Harapannya, ketika suku bunga dan pajak diturunkan, maka aktivitas ekonomi di pasar riil masih bisa berjalan. Turunnya pajak dan beban bunga diharapkan akan menurunkan harga barang dan jasa, sehingga permintaan barang dan jasa relatif tetap berjalan kembali.

Namun faktanya, kebijakan menutup pasar, pembatasan aktivitas secara total, kekhawatiran orang untuk beraktivitas secara normal saat pandemi membuat sektor riil pun ikut tidak bergerak. Setiap orang akan berpikir berkali-kali untuk melakukan aktivitas konsumsi selain kebutuhan pokok.

Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, banyak toko atau industri mengurangi produksi yang berakibat pada pengurangan tenaga kerja. Banyaknya PHK membuat daya beli masyarakat menurun drastis dan akhirnya pergerakan ekonomi tidak hanya melambat tapi juga terancam berhenti.

Pemerintah melakukan upaya untuk menggerakkan perekonomian, namun masih menggunakan cara-cara lama seperti resesi-resesi yang biasanya terjadi. Padahal, kondisi saat ini sangat jauh berbeda. Memberikan stimulus dengan menggerojok bantuan sosial tanpa perhitungan ketahanan keuangan negara, akan membuat keuangan negara defisit. Defisit ini disebabkan penerimaan utama dari pajak melorot drastis, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menambah utang.

Penambahan utang justru akan sangat membahayakan, karena saat ini saja utang sudah ada pada tanda merah. Serba dilematis, bantuan digenjot tapi utang membengkak, pajak diturunkan tapi membuat sumber pemasukan negara menjadi defisit. Baik pajak maupun utang berbunga keduanya dilarang dalam ekonomi Islam.

Dalam sejarah, peradaban Islam pernah mengalami krisis, namun berbeda penyebabnya. Sistem Islam tidak mengenal bahkan tidak memperbolehkan pengembangan sektor keuangan seperti ribawi dan aktivitas spekulatif lainnya. Maka, krisis yang terjadi lebih disebabkan karena adanya wabah atau bencana alam.

Penanganan krisis ketika wabah akan memprioritaskan penyelesaian wabah tanpa memperhitungkan untung dan rugi. Dalam kasus wabah Corona akan dilakukan karantina lokal, artinya melakukan karantina terhadap yang sakit dan tetap membuka wilayah yang belum terjangkit penyakit.

Langkah awal adalah melakukan tracing dengan cepat dan menutup wilayah yang sudah terkena wabah. Negara membiarkan aktivitas di wilayah yang masih hijau. Negara memberikan dukungan keuangan sepenuhnya untuk menyehatkan kembali orang sakit supaya nanti dapat beraktivitas kembali.

Ada beberapa pengaturan dalam ekonomi Islam yang akan menghindarkan dari krisis berulang, di antaranya adalah:
1. Melarang aktivitas riba dan spekulasi yang menyebabkan kelimbungan ekonomi sampai saat ini.
2. Larangan menimbun harta (kanzul maal) karena mengakibatkan problem dalam sirkulasi perekonomian.
3. Pengaturan kepemilikan untuk menjamin agar harta tidak berputar di kalangan orang kaya (tidak dibuka akses privatisasi terhadap sumber daya alam dan negara hadir untuk mengelola kemudian mengembalikannya untuk kepentingan masyarakat).
4. Menerapkan moneter emas dan perak untuk menjamin kestabilan mata uang, serta menutup celah memanipulasi negara lain melalui sistem mata uang.
5. Penerapan zakat mal yang akan melancarkan sirkulasi harta.

Islam sejatinya tidak memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan resesi karena resesi terjadi bukan disebabkan penerapan aturan Islam. Krisis yang terjadi sekarang disebabkan penerapan sistem ekonomi kapitalis yang rakus, tamak, dan tidak mengindahkan aturan Ilahi.

Mengobati krisis ini dengan menerapkan ekonomi Islam saja tidak akan paripurna kesembuhannya. Selama ini dorongan kembali pada ekonomi Islam sudah sangat kuat tetapi sayangnya diarahkan pada sisi financing (bahasan mikro ekonomi) saja. Padahal, ada cakupan yang lebih besar dan sangat penting yaitu aspek makroekonomi.

Ekonomi makro mengatur masalah anggaran negara seperti APBN yang sangat menentukan sumber pendapatan negara. APBN dalam sistem ekonomi syariah tidak memperbolehkan penerimaan dari utang ribawi dan pajak, tapi justru dari pengelolaan sumber daya alam, kepemilikan negara, dan pos zakat infak yang jumlahnya sangat melimpah. Faktor makro lainnya yang juga diatur adalah fiskal, moneter, praktik ribawi, dan spekulatif.

Menerapkan sistem ekonomi syariah hanya pada financing saja tidak akan menyelesaikan masalah, karena pasti negara tidak akan memiliki keuangan yang cukup untuk memenuhi dan melayani kebutuhan rakyatnya. Mengubah ekonomi makro dengan ekonomi Islam mengharuskan mengadopsi ideologinya yaitu aturan Islam, karena riba, pajak, dan spekulasi tidak akan ada dalam sistem ekonominya.

Adanya fenomena resesi yang berujung pada krisis berulang menjadi tanda bagi orang yang berpikir. Ekonomi kapitalis telah nyata menyebabkan kerusakan dan kerugian yang besar pada manusia dengan adanya resesi yang terjadi berulang kali. Sementara ekonomi yang berlandaskan syariat, secara nyata berhasil menghantarkan manusia mencapai kesejahteraannya selama tiga belas abad dengan sistem keuangannya yang tangguh.

Fakta ini seharusnya semakin meyakinkan kita sebagai Muslim, syariat Islam adalah solusi dan pasti memberikan kebaikan, tidak hanya di dunia tetapi juga mendatangkan keridaan-Nya. Resesi yang berujung pada krisis bisa jadi akan pulih, tapi entah kapan. Namun ingat, selama masih mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, krisis akan kembali berulang.

Sebagai manusia yang normal, fitrahnya pasti enggan terperosok pada lubang yang sama. Masa depan Indonesia dan dunia tergantung apakah mengambil Islam secara kaffah ataukah tidak. Untuk mengakhiri penderitaan umat ini tidak ada jalan lain, kecuali kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah dan membuang ekonomi kapitalis pada tempatnya. Berharap segalanya akan membaik dengan ekonomi kapitalis adalah kesia-siaan yang berujung kekecewaan. Wallahu a’lam bishshawab. ***