KAPOL.ID – Tiga organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis) menanggapi pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi soal wacana larangan bercadar dan bercelana cingkrang di lembaga pemerintah.
Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis), Ustaz Jeje Zaenudin mengakui secara sosiologis, penggunaan cadar di lingkungan masyarakat tertentu telah menimbulkan kekakuan bahkan kegaduhan karena terlalu jauhnya jarak perbedaan antar budaya pengguna dengan tradisi masyarakat setempat. Sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan berlebihan bahkan kekhawatiran terjadinya clash budaya.
“Fenomena belakangan ini, cadar telah menjadi salah satu isu yang menjadi fitnah,” katanya.
Menurut dia, Persis tentu menolak dan menentang pelarangan pemakaian cadar secara sepihak dan sewenang-wenang. Karena, kata dia, meskipun menurut mayoritas ulama itu tidak wajib dan bukan sunah muakkadah, tetapi pelarangan cadar secara sewenang-wenang bertentangan dengan hak dan kemerdekaan individu dalam mengamalkan keyakinannya yang dijamin oleh konstitusi Negara.
“Namun kita juga dapat memahami jika dalam kondisi, situasi, ruang dan tempat tertentu ada pelarangan pemakaian cadar dengan alasan yang jelas dan objektif,” katanya kepada republika.co.id
Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, memandang soal pakaian cingkrang atau menggupai ke tanah bukan masalah utama. Menurutnya, yang utama sekarang adalah keberagamaan masyarakat Indonesia yang harus ditingkatkan, toleransi, dan kebersamaan harus digalakkan,” katanya.
Dadang tetap menghormati jika institusi tertentu membuat tata aturan berpakaian sebagai suatu keseragaman. Namun, kata dia, seperti yang dilansir CNN, pemerintahan merupakan milik berbagai golongan, etnik, dan kepercayaan. Walhasil, yang harus dijaga bukan soal pakaian.
Namun ditandaskan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, jika aturan itu jadi diterapkan, maka tidak ada syariat yang dilanggar.
“Kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar (bila terealisasi) tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM,” katanya kepada wartawan di Jakarta tempo hari.
Menurutnya, Muhammadiyah melihat kajian pelarangan cadar di instansi pemerintah adalah usaha pembinaan pegawai. Tujuannya, membangun relasi sosial yang lebih baik. Ada hal yang menurut Muhammadiyah perlu dilihat terkait rencana kebijakan pelarangan cadar di kantor pemerintah.
“Alasan kode etik kepegawaian. Kalau dia adalah pegawai, maka siapapun dia harus mematuhi kode etik pegawai,” ujarnya.
Sementara Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, seperti yang ditulis detik.com menyatakan mendukung setiap kebijakan positif yang dilakukan pemerintah. “Ya kalau itu memang positif laksanakan. Kita setuju saja,” ucapnya pada Rabu (30/10).
Kiai Said juga merespons pernyataan Menag Fachrul Razi yang menganggap sistem khilafah lebih banyak mudaratnya. “Ya memang istilah khilafah yang bersifat monopolitik itu di Quran tidak ada. Khilafah yang arti politik loh. Dalam Quran ada kata khilafah, ya kita pengelola bumi ya atau yang menerima amanat untuk memakmurkan kehidupan di bumi ini. Itu khilafah di Quran itu maksudnya,” katanya.