Oleh Dr. Erlan Suwarlan, S.IP., M.I.Pol.
(Dosen FISIP Universitas Galuh)
Pendaftaran bakal calon merupakan salah satu tahap dari rangkaian tahapan seleksi. Tahap ini menjadi tahap yang bisa membuat “renghap-ranyug” para bakal calon yang selama ini sudah mensosialisasikan dirinya.
Ada yang percaya diri, ada yang “susuganan”, ada yang “ambon sorangan” dan lainnya. Fenomena yang (selalu) paling menegangkan adalah pendaftaran yang diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik.
Manuver-manuver, intrik-intrik, akrobat-akrobat politik bisa terjadi secara tak disangka. Salah kalkulasi bisa fatal akibatnya bagi karir seseorang. Terus berkibar atau karam tenggelam.
Pada sisi ini saya ingin mengatakan bahwa politik bukan melulu urusan menang-kalah, melainkan benar-salah juga harus menjadi ukuran.
Salah satu yang cukup mengejutkan bagi penulis, misalnya fenomena munculnya nama K.H. Asep Maosul yang mendeklarasikan/ dideklarasikan beberapa waktu lalu sebagai salah satu alternatif yang hendak diusung.
Fenomena itu bisa merepresentasikan eskalasi politik yang terjadi atau bahkan variabel inilah yang bisa mengubah konfigurasi politik yang selama ini terjadi di Kabupaten Tasikmalaya.
Demikian pula kabar mengejutkan lainnya adalah soal SK PKB yang jatuh ke tangan Iip Miftahul Paoz yang menegasikan posisi Haris Sanjaya, yang sudah mencoba melaju kencang dengan Azis Rismaya Mahfud.
Jika ini benar, maka ini adalah salah satu fenomena mengejutkan dalam sejarah pilkada Kabupaten Tasikmalaya. PKB tetap solid atau bubar jalan. Jika tetap solid di tengah persaingan internal tanpa mempersoalkan siapa calon yang diusung, maka untuk saat ini hal tersebut adalah pemandangan politik yang patut diacungi jempol di tengah banyaknya yang bubar jalan.
Pilkada mesti dijadikan kesempatan oleh partai politik untuk berbenah dan mempercantik diri, bukan mempertajam friksi. Mungkin masyarakat akan sedikit terhibur dan menjadi celah tumbuhnya kembali kepercayaan dari masyarakat.
Fenomena “calon dadakan” bukan barang baru dalam kontestasi politik di negeri ini, misalnya dalam pemilihan presiden tahun 2009 tidak ada yang menyangka bagaimana Presiden SBY menggaet Boediono dan berhasil memenangkan pemilu.
Dalam konteks pilkada fenomena seperti itu lebih banyak lagi. Semua masih serba mungkin, serba bisa, tidak ada yang tidak bisa. Itulah realitas politik yang seringkali tidak didapatkan dalam bangku-bangku kuliah.
Seminggu menjelang pendaftaran masih berpotensi terjadi kejutan-kejutan. Perubahan bisa terjadi dalam hitungan hari bahkan jam mungkin juga menit.
Persaingan internal parpol dan antar parpol lagi “kejam-kejam”nya terjadi. Lobby-lobby tingkat tinggi sedang bekerja, saling merangkul atau bahkan saling mengecoh.
Konsentrasi parpol terpecah dan berpotensi terjadi perpecahan internal parpol seperti halnya pernah terjadi pada beberapa parpol beberapa waktu lalu yang menimpa Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan di tingkat pusat.
Kondisi terburuk adalah ketika konflik internal parpol akibat berebut kursi dalam pilkada meluber ke luar. Sisi ini berpotensi semakin meruntuhkan kepercayaan terhadap parpol. Tentunya hal ini adalah keadaan yang tidak dikehendaki semua pihak.
Jika ditarik dengan salah satu agenda reformasi ’98, yakni soal Desentralisasi, maka desentralisasi saat ini masih diletakkan pada tingkat entitas pemerintahan saja, tidak sampai pada partai politik.
Kondisi ini sesungguhnya tidak berbanding lurus. Di satu sisi ada desentralisasi dalam pemerintahan, di sisi lain terjadi sentralisasi dalam partai politik. Fakta yang terjadi selama ini, siapa calon kepala daerah yang diusung masih ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai politik.
Mekanisme ini pun memberi kontribusi terhadap banyak terjadinya kejutan-kejutan, yakni munculnya calon yang tidak disangka-sangka, baik itu yang berasal dari partai itu sendiri maupun dari luar.
Sehingga Ketua Umum partai politik seakan menghegemoni semuanya. Pada sisi lain, problem “calon dadakan” ini juga merefresentasikan persoalan lainnya dalam tubuh partai politik, yakni lemahnya leadership dan miskin calon.
Sehingga parpol sering gamang, bingung hendak mengusung siapa. Saat bersamaan di tengah liberalisasi politik saat ini, kondisi tersebut juga memungkinkan kekuatan-kekuatan finansial “membeli” partai politik, yang ujungnya merubah peta dan wajah demokrasi itu sendiri.
Melihat fenomena ini penulis termasuk yang berpikir bagaimana desentralisasi politik ini juga bisa diletakkan pada tingkat partai politik, bukan hanya dalam entitas pemerintahan.
Jika desentralisasi diletakkan pada tingkat partai politik dalam konteks pilkada, maka biarkan Calon Gubernur ditentukan Dewan Pimpinan Wilayah, beri kesempatan kepada Dewan Pimpinan Daerah atau Dewan Pimpinan Cabang untuk menentukan calon Bupati/Walikota.
Ini alternatif yang bisa dicoba dalam membangun demokrasi dan memberi kepercayaan kepada daerah. Meski kedua cara tersebut, tidak bisa menjamin nihil politik transaksional. Namun sekurang-kurangnya daerah diberi kesempatan, sebagai bagian dari upaya reformasi dalam tubuh partai politik.
Di tengah persaingan internal dan antar partai politik, calon perseorangan dapat dikatakan relatif tenang berjalan, ia bisa juga menjadi kuda hitam dalam Pilkada Kabupaten Tasikmalaya.
Lebih mengejutkan lagi jika calon perseorangan mampu menjadi pemenang di tengah underestimate-nya sebagian masyarakat terhadap calon perseorangan, seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Garut dengan Dicky Chandra dan Aceng Fikri yang bisa memenangkan pilkada meski memerintah seumur jagung.
Kabupaten Garut memang berbeda dengan Kabupaten Tasikmalaya, namun dalam politik bisa jadi “nothing impossible in the world”.
Beralih dari soal pendaftaran calon, tahap berikutnya yang lebih penting adalah bagaimana setelah semuanya resmi dinyatakan sebagai calon adalah bagaimana pilkada Kabupaten Tasikmalaya bisa dipastikan mampu mengkonversi pilkada dengan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan melahirkan kepala daerah yang benar-benar dicintai dan mencintai masyarakatnya.
Hati nurani kita bisa menilai calon mana yang melakukan berbagai cara, calon mana yang menghalalkan segala cara, calon mana yang nothing to lose. Persoalan bersama hari ini adalah runtuhnya integritas segenap elemen bangsa oleh politik transaksional. Dari pejabat sampai rakyat.
Persoalan itulah yang membunuh demokrasi secara perlahan namun pasti. Kita rindu pilkada yang benar-benar sesuai dengan asasnya, yakni “Luber dan Jurdil”. Bukan slogan semata. Akhir kata, mari wujudkan pilkada yang berintegritas demi anak-cucu dan masa depan Kabupaten Tasikmalaya.
Harapan perlu terus untuk dirawat. Lawan semua praktik kecurangan dan politik uang. Tolak uangnya, jangan pilih calonnya, laporkan!!!***