OPINI

Pilkada, Antara Proses Politik dan Kebijakan Publik

×

Pilkada, Antara Proses Politik dan Kebijakan Publik

Sebarkan artikel ini

Pilkada adalah momen konstitusional yang disediakan Negara bagi rakyat di daerah untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Prinsip one man one vote menempatkan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Rakyat di beri ruang dan kesempatan untuk memilih secara merdeka siapa sosok pemimpin yang akan memimpinnya mengelola jalannya pemerintahan melalui beragam kebijakan public yang di keluarkannya.

Politik dan kebijakan public memang tidak bisa di pisahkan, dalam konsep teori ilmu politik, politik selalu di kaitkan dengan distribusi sumber daya, seperti kekuasaan dengan pemaknaan yang luas. Output dari bekerjanya sistem politik adalah kebijakan public. Kebijakan public tidak mungkin tanpa melalui proses politik, sebaliknya proses politik pun tak memiliki nilai guna tanpa menghasilkan suatu kebijakan yang merupakan kesepakatan mewujudkan nilai-nilai politik tersebut

Pilkada merupakan salah satu proses politik yang pada ujungnya ketika melahirkan kepemimpinan politik pemerintahan di daerah harus merumuskan formulasi kebijakan publik yang sesuai dengan janji kampanyenya dan visi misi serta harapan yang di sampaikan kepada public selama masa kepemimpinannya.

Dalam prakteknya, hadirnya kebijakan yang baik akan sangat bergantung pula pada bagaimana proses politik itu terjadi. Apakah proses politik yang dijalaninya menggunakan pelibatan orang-per orang level elit dan pemodal, atau berangkat dari kesamaan nafas dan semangat bersama rakyat di bawah. Karena bisa jadi ketika seseorang menjalani proses politik di bawah kendali kekuatan kapitalisme an sich misalnya, bisa jadi kebijakan yang dikeluarkannya akan tersandera dengan kepentingan bisnis atau oligjarki tertentu. Akan terjadi hegemoni kekuasaan oleh kelompok tertentu, karena beban awal yang di ciptakannya sendiri. Baik itu dalam penyediaan regulasi daerah, perencanaan program dan anggaran hingga tumpulnya pengawasan.

Padahal Kebijakan Publik itu harus diarahkan untuk mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat (public) atau setidaknya mengurangi masalahnya. Masalah public tentu saja bisa menyangkut pembangunan infrastruktur, masalah ekonomi dan kesejahteraan, masalah pendidikan dan kesehatan dll. Kebijakan public akan effektif dan effisien apabila lahir dari kepemimpinan politik yang baik.

J.P. Kotler seorang pakar tranformasi budaya dalam bukunya Force for Change: how leadership differs from management mengatakan “management deals mostly with status quo, and leadership deals mostly with change”. Bahwa perubahan itu kebanyakan bisa dilakukan oleh kepemimpinan. Karena manajemen kebanyakan berurusan dengan status quo, dan kepemimpinan kebanyakan berurusan dengan dengan perubahan.

Mewujudkan kebijakan public yang baik tentu saja berangkat dari god will dan political will kepemimpinan politik yang secara teknis di jalankan oleh organ birokrasi. Oleh karena itulah seorang pemimpin pemerintahan di daerah penting juga untuk melakukan apa yang disebut dengan reformasi birokrasi, terlebih jika pemimpin memiliki niat dan semangat untuk melakukan perubahan. Karena ketika mendengar kata perubahan, ia akan banyak menghadapi ranjau-ranjau penolakan. Sehingga reformasi birokrasi harus menjadi bagian dari langkah-langkah kepemimpinannya.

Pertama-tama sebelum melakukan reformasi birokrasi, seorang pemimpin daerah harus memperhatikan empat permasalahan mendasar yang beraspek budaya, yaitu : pengelolaan perubahan (managing change), pengembangan kepemimpinan (develop leaders), pengelolaan SDM (managing people), dan budaya kerja (governance culture). Selama ini kita baru menyentuh reformasi birokrasi hanya sebatas pada perubahan aspek kelembagaan, sistem dan prosedur yang lebih mudah di identifikasi, sementara soft side of change yang berbasis budaya untuk mengubah mindset dan perilaku belum cukup tersentuh. (Lihat Sri Sultan Hamengku Buwono X. dalam Pengantar Buku Governance Reform Di Indonesia)

Karena Kebijakan Publik yang baik itu lahir dari kepemimpinan yang baik, maka tentu saja proses politik melahirkan kepemimpinan itu harus benar-benar di memperhatikan bacaan akan sosok pemimpin yang maju tersebut dan bagaimana track record kepemimpinannya baik secara kapasitas, moralitas pribadi maupun bastatan fil ilmi wa bastatan fil jismi dalam menjalankan kepemimpinannya.

Pemimpin yang dilahirkan dari, oleh dan untuk rakyat akan memiliki nafas dan nurani kepemimpinan yang selalu berpihak kepada kepentingan rakyatnya. Dia selalu mendengar keluh kesah rakyatnya, berfikir keras untuk bagaimana menyelesaikan maslah-masalah rakyatnya. Program dan Anggaran daerah (APBD) akan di arahkan semata untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan elit dan kelompoknya.

Dari sinilah kita harus membaca bahwa Pilkada menjadi momentum bagi rakyat dan masyarakat untuk melakukan tracking kualitas, kapasitas, integritas dan komitmen kepemimpinan seorang kandidat yang akan menjadi Bupati/Wakil Bupati Tasikmalaya periode kedepan. Pilkada yang dilakukan melalui proses politik yang baik dan sehat, akan melahirkan kepemimpinan yang baik dan sehat. Kepemimpinan yang baik dan sehat akan melahirkan kebijakan public yang baik dan sehat juga. Itulah wujud pemimpin yang bisa melahirkan kemaslahatan sebagaimana kaidah ushul fiqh mengatakan : Tasharruful imam ‘ala raiyyatihi manuutun bil maslahah” wallahu a’lam