KAPOL.ID – Ketua Penasehat Paguyuban Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jabar, Saepudin mengupas kilas balik aktivitas sadapan getah pinus di Sumedang.
Sepengetahuan dia sejak bergabung dengan Perhutani di LMDH sekitar tahun 1997, bahwa ada salah satu usaha BUMN Perhutani membidangi sadapan selain wisata dan tebangan.
Sadapan getah pinus melalui Perhutani, menurut dia, memang legal serta jelas payung hukum soal undang undang produksi terbatas.
Sadapan getah pinus, kata Saepudin yang juga Ketua Forum Komunikasi Petani Gunung Geulis itu mengatakan, di Sumedang pun pada saat itu sadapan hanya ada di Manglayang Timur serta Cakrabuana melalui Perhutani KPH Sumedang.
Sadapan pun, kata dia, sebagian ada dari masyarakat sekitar hutan dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Seiring waktu ngeri juga, kata dia, ternyata sadapan getah pinus kini seolah menjadi kewenangan/kebijakan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar?.
“Ini pendapat saya yang sedikit tahu aturan soal masalah hutan, bahwa BBKSDA atau taman nasional itu hanya sekelas konservasi. Jadi jangan ada budi daya didalamnya, kecuali wisata, penelitian dan pemanfaatan hayati,” ujarnya, Kamis (29/9).
Namun, bisa saja manusia masuk di dalamnya, tapi itu pun tetap tak boleh, apalagi ada pemanfaatan, karena itu kelas konservasi?.
Heran, kenapa BBKSDA bisa mengelola getah pinus?, apa karena ada potensi pinus atau ada peralihan hak pengelolaannya?.
Karena, memang awalnya Perhutani masuk ke kelas hutan produksi terbatas.
Dibawahnya, ada zona pemanfaatnya hutan lindung dan konservasi sejak dulu.
Kemudian, dikala diambil alih pengelolaan oleh kementerian, maka pinus pun disana sudah ada.
Seharusnya, disesuaikan dulu karena pinus bukan tanaman BBKSDA, semestinya vegetasi diganti secara bertahap untuk jenis kayunya.
“Ini kelihatannya, karena disana sudah ada pinus yang dikelola Perhutani, lalu diusulkan masyarakat yang tak paham aturan,” ucapnya.
Ia heran, kenapa ada penyadapan getah pinus, sudah jelas itu penyalah gunaan kebijakan dibawah BKSDA.
Menurut dia, wajar jika ada pihak-pihak yang mengusut, karena bukan fungsinya BBKSDA ikut campur dalam pemanfaatan sadapan.
Menyikapi muncul pengepul hasil getah pinus, ia berpendapat jika memegang aturan sesuai tupoksi BBKSDA yang hanya menguatkan lahan konservasi, itu tetap tak boleh dan tak bisa ditawar lagi.
Bisa, kata dia, kecuali ada regulasi baru yang diusulkan
dan apa pun alasannya tak boleh jika bersandar olpada perundang undngan.
“Apa pun bentuk kemitraan, harus ada payung hukumnya
Dan, usaha apa pun soal pemanfaatan hasil hutan harus ada aturannya,” kata dia.
Ia mengaku berani berbicara karena berpegang pada aturan.
“Jika ada dalih untuk kesejahteraan masyarakat soal sadapan, ya tetap harus sesuai aturan,” ujarnya.
Misalnya, terkait pemanfaatan hutan dibawah tegakan ditanam rumput untuk sapi perah, nah itu tumpang sari yang jelas secara pemanfaatan, artinya pemanfaatan hutannya ada.
“Terkait siapa pengepul getah pinus dan dijual kemana, saya kira itu patut diduga ada oknum. Karena, sudah jelas tak boleh dan wajar juga ada berbau dugaan terjadi perputaran upeti,” ujarnya.
Menurut dia, jika ada perusahaan pengepul getah pinus, biasanya pelakunya hanya pendatang yang membawa nama masyarakat.
Ia meminta agar masalah diurai agar tak berlarut-larut dan masyarakat sekitar hutan pun bisa tetap hidup dengan usaha sesuai aturan.
Regulasi soal itu harus dirubah dulu agar warga bisa bermata pencaharian dari sudut yang lainnya, tapi tetap mengacu aturan.
Ketika dikonfirmasi ke pihak BBKSDA Jabat, petugas disana menyebutkan jika para petinggi sedang tugas di luar kantor.
Sadapan Getah Pinus
Diketahui, penangguhan Perjanjian Kerja
Sama (PKS) antara masyarakat penyadap getah pinus di wilayah Kab. Sumedang dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar menuai keprihatinan.
Ratusan orang warga penyadap getah pinus di Kawasan Konservasi Hutan Buru Gunung Masigit dan lainnya di Kabupaten Sumedang, menjadi pengangguran.
Diketahui, anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) penyadap getah pinus ada tersebar di tiga wilayah desa.
Diantaranya, di Desa Jayamekar Kecamatan Cibugel, Desa Sindulang Kecamatan Cimanggung, dan Desa Sundamekar Kecamatan Cisitu.
Dibenarkan Kepala Kepala Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel, kepada awak media belum lama ini.
Menurut informasi, sejak beberapa tahun ke belakang, sebagian masyarakat disana menggantungkan hidupnya dari usaha sebagai buruh penyadap getah pinus.
Warga penyadap getah pinus disana berharap agar pihak BBKSDA segera kembali melanjutkan PKS pengelolaan getah pinus dengan masyarakat.
Tujuannya, agar perekonomian warga di sekitar hutan pun kembali berjalan. ***