Dalam perjuangannya, Rasulullah Muhammad Saw. melakukan sebanyak 27 peperangan, baik yang terjadi pertempuran disana ataupun yang hanya selesai dengan diplomasi. Adapun peperangan yang sampai terjadi pertumbahan darah diantaranya adalah Badar, Uhud, Khaibar, Khandaq dan Hunain.
Sementara yang selesai dengan diplomasi diantaranya adalah perang Tabuk.
Dengan banyaknya peperangan yang dilakoni Rasulullah Saw., banyak orang, terutama di Barat, yang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam.
Karen Armstrong memaparkan hal ini sekaligus melakukan kritik, ia menulis dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, “… setelah hijrah, Muhammad mencapai keberhasilan yang spektakuler, secara politis maupun spiritual. Inilah yang selalu sulit diterima oleh Barat Kristen.
Muhammad menjadi pemimpin politik yang kharismatik yang bukan saja mengubah Arab, tetapi juga sejarah dunia… Muhammad dan Kaum Muslim pertama berperang demi hidup mereka dan mereka juga menjalin kehidupan dimana kekerasan tak terelakkan.
Tak ada perubahan sosial politik yang radikal tanpa pertumpahan darah. Karena Muhammad hidup pada masa kebingungan dan perpecahan, kedamaian hanya bisa dicapai melalui pedang.”
Sekali lagi, “kedamaian hanya bisa dicapai melalui pedang”. Artinya, yang dicita-citakan adalah kedamaian, dan pedang atau perang hanyalah cara yang tak terhindarkan yang harus dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Itu sebabnya dalam Alquran kisah perang dikisahkan demi mempertahan diri.
Sebagaimana terbaca pada ayat-ayat perang dalam Alquran, di antaranya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (Q.S. Al-Hajj: 39). “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci.” (Q.S. Al-Baqarah: 216).
Dalam perjuangan politiknya, Rasulullah Saw pernah membuat satu perjanjian damai, dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, yaitu perjanjian antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum musyrik Mekah.
Perjanjian ini ditandatangani di lembah Hudaibiyah, pinggiran Mekah, terjadi pada tahun ke-6 setelah Rasulullah hijrah. Pada saat itu rombongan kaum Muslimin yang dipimpin langsung Rasulullah Saw hendak melakukan ibadah haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh kaum musyrik Quraisy warga Mekah.
Rasulullah pun mengajak mereka bernegosiasi sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai.
Nah, sesaat selepas perjanjian itu disepakati, pihak Muslim Madinah diwakili oleh Rasulullah Saw. sementara dari pihak Musyrik Quraisy diwakili Suhail ibn Amar, turunlah ayat al-Quran, “Sungguh, ini adalah kemenangan yang nyata bagimu (Muhammad).” (Q.S. Al-Fathu: 1).
Kemenangan adalah ketika perdamaian tercapai. Padahal tatkala perjanjian disepakati, banyak sahabat yang memprotes, salah-satunya adalah Umar ibn Khathab ra, karena dipandang merugikan kaum Muslim Madinah.
Tetapi Rasulullah Saw tak bergeming, beliau kuat akan pendiriannya, karena kemenangan itu tiadalah lain adalah ketika perdamaian tercapai, disamping kuatnya visi Rasulullah yang bisa melihat jauh kedepan.
Menarik, dalam Alquran, sekalipun perang Badar, Khandak, Khaibar, Hunain, dan yang lainnya, kaum Muslim mendapat “kemenangan”, tak pernah disebut sebagai “kemenangan”. Seolah-olah, sekali lagi “seolah-olah”, kemenangan dalam pertempuran-peretempuran itu hanyalah kemenangan semu belaka. Karena sejatinya kemenangan adalah perdamaian.
Sudah akrab di telinga kita bahwa politik itu cendrung kotor. Bisa jadi. Hanya saja Rasulullah sebagai teladan kita semua telah membumikan politik bersih. Benar ada perang dalam perjuangan politik beliau, hanya saja ini dilakukan untuk mempertahan diri.
Melawan adalah kehormatan. Dan Tuhan tak menyebut “kemenangan yang nyata” ketika Rasul-Nya menang dalam melawan, menang dalam pertempuran.
Dari kisah ini, kita bisa menarik pelajaran bahwa politik punya tugas berat dan maha mulia, yaitu membangun kedamaian. Politik yang bermakna “seni untuk mempengaruhi” mesti dilakoni dengan cara-cara damai karena memang dimaksudkan untuk meraih perdamaian.
Seperti satu kaidah fiqih berujar, lil-wasail bi qadril-maqâshid, sebuah cara itu ditentukan oleh maksudnya. Jika maksudnya baik, yaitu membumikan perdamaian, maka caranya harus dengan baik kembali.
Penetapan final pemenang pilpres dan pileg sekarang, kedamaian akan menjadi kemenangan kita bersama, kemenangan Bangsa Indonesia. [ ]