KAPOL.ID–CV Trican menjawab tudingan beberapa pihak yang mengarah kepadanya beberapa waktu lalu. Salah satunya terkait proses izin. CV Trican dituding telah memalsukan tanda tangan sejumlah warga.
Melalui kuasa hukum sekaligus juru bicaranya, Andi Ibnu Hadi menegaskan bahwa dalam proses pengajuan izin, perusahaan sudah bertindak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Terkait tanda tangan palsu, sebetulnya menurut undang-undang, dari mulai tahun 2007, 2009, dan terakhir 2020; itu tidak ada yang mensyaratkan persetujuan masyarakat,” terang Andi, Senin (12/4/2021).
Mengurus izin tambang, lanjutnya, tidak seperti mengurus izin tower seluler yang mengharuskan ada HO (surat izin gangguan). Izin tambang butuh persetujuan pemerintah desa sebagai representasi masyarakat.
Sementara analisis gangguan dan sebagainya, termasuk potensi dampak lingkungan, kata Andi, sudah pihaknya serahkan sepenuhnya kepada lembaga berwenang. Yaitu melalui proses pengajuan izin pertambangan.
“Ketika izin ini ada, berarti secara proses segala sesuatunya sudah selesai. Persetujuan pemerintah desa ada, dan dampak-dampak lingkungan dan sebagainya juga sudah diperhitungkan,” lanjutnya.
Andi mempertanyakan sejauh mana kemampuan masyarakat umum dalam menganalisa dampak lingkungan aktivitas CV Trican. Toh dirinya yang berlatar keilmuan hukum juga mengaku awam dalam hal lingkungan hidup.
Kini CV Trican berada pada posisi ketidakpastian. Di satu sisi mengantongi izin penambangan, di sisi lain sama sekali mesti berhenti produksi. Pada konteks ini, menurut Andi, negara tidak hadir.
“Karena kalau bicara negara hukum, semestinya semua warga negara memiliki jaminan perlindungan hukum. Bukan hanya masyarakat, bukan hanya petani, tetapi termasuk kami sebagai pengusaha tambang,” tambah Andi.
Dari sudut konstitusi, bagi Andi, CV Trican dilindungi Undang-undang No 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Undang-undang tersebut jaminan negara bagi perusahaan tambang berizin.
“Pada pasal 160 sampai pasal 162 sudah jelas bentuk tindakan negara terhadap pelanggaran pertambangan; baik bagi pengusaha maupun bagi masyarakat umum,” papar Andi.
Pasal 162, misalnya, mengatur bahwa bagi siapa saja yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan berizin dapat dipidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Pada nyatanya, CV Trican merasa tidak mendapat perlindungan hukum itu dari negara. Karena perlindungan hukum sama dengan subpremasi hukum yang bersifat preventif dan represif.
Teknis subpremasi hukum tersebut sudah diterjemahkan dengan Peraturan Kapolri (Perkap). Salah satunya, secara preventif berarti melakukan pencegahan.
“Itu pun bukan tugas kami melakukan sosialisasi ini-itu, melainkan tugas kepolisian agar masyarakat tidak melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara pendekatan,” Andi menandaskan.