KAPOL.ID – Bupati Garut, Rudy Gunawan mengatakan jika masih ada dokter di Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut yang tidak mau melayani orang miskin, maka dokter tersebut adalah dokter penghianat dan ia tidak akan segan-segan lagi untuk memecatnya.
Pernyataan tersebut disampaikannya, mengingat masih adanya dokter yang lebih mementingkan waktu untuk mencari uang diwaktu jam kerja.
Sehingga, masuk rumah sakit terkadang sekitar pukul 9 atau pukul 10 dan tidak bisa melayani pasien miskin, terutama yang BPJS.
“Dokter seperti itu adalah dokter penghianat. Makanya saya gak main-main lagi, nanti pecat saja,” tegas Rudy.
Seperti dijelaskannya, para dokter PNS yang bertugas di rumah sakit umum dan Puskesmas memiliki kewajiban utama bekerja di tempat yang telah ditentukan sesuai jam kerja.
Diluar jam tersebut lanjut Rudy, Dinas Kesehatan pun telah memberikan kerja tambahan melakukan buka praktek yang waktunya untuk praktek pertama mulai pukul 6 sampai pukul 7, dan praktek selanjutnya dimulai pada sore hari atau selepas tugas utamanya hingga malam hari.
“Tentu saya berharap dokter- dokter yang dari PNS bertanggungjawab terhadap rumah sakit dulu, terutama yang BPJS. Setelah itu jika ada pasien BPJS di rumah sakit swasta pergi gak-apa-apa, tapi beresin dulu di rumah sakit. Nanti itu katanya menteri kesehatan hanya memberikan satu ijin praktek tambahan. Dia bisa melaksanakan ijin praktek tapi tidak komersial, tidak pake plang,” tuturnya.
Untuk melindungi masyarakat miskin yang sakit lanjut Rudy, sekarang pihaknya pun telah memesan kurang lebih 10 dokter dari UNPAD dengan anggaran yang disiapkan untuk admisistratifnya sekitar Rp 2,5 miliar.
Mendatangkan 10 dokter juga lanjut Rudy, bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta mengantisifasi beberapa penyakit dalam yang banyak diderita penduduk Kabupaten Garut dengan obyek dokter anak, dokter spisialis penyakit dalam, dan spesialis lainnya, serta dokter umum.
Itu pun lanjut Rudy, dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka stanting yang cukup tinggi di Kabupaten Garut, termasuk tingginya angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi.
Meski demikian Rudy mengaku belum percaya benar akan data yang ada. Masalahnya lanjut ia berdasarkan data dari Dinkes, jumlah ibu melahirkan di Garut sebanyak 50.000, tapi berdasarkan data dari KB tercatat sebanyak 26.000.
“Jadi bingung, mana yang benar. Tapi kita tetap upayakan, karena sekarang angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Garut itu ada sekitar 156 orang. Seharusnya, berdasarkan teori kesehatan, kalau 50.000 yang melahirkan maksimal yang meninggal itu sebanyak 50 orang,” ujarnya.***