KAPOL.ID — Kasus dugaan korupsi Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja Indramayu (BPR KRI) beraroma politik yang cukup kental, hingga menelan kerugian negara Rp139 miliar.
Belasan mahasiswa dari Universitas Wiralodra (UWI) Indramayu kini menyorot hal yang selama ini dianggap tabu: peran Bupati sebagai pemilik modal utama BPR KRI yang diduga turut bertanggung jawab atas hancurnya keuangan bank daerah tersebut.
Kedatangan mahasiswa ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar), Selasa (21/10/2025), bukan sekadar menyerahkan laporan tambahan.
Mereka membawa satu pesan politik yang kuat agar Kejati Jabar berani mengusut kemungkinan keterlibatan pemodal utama, yakni Bupati Indramayu saat itu, Nina Agustina, dalam skandal korupsi yang mengguncang keuangan daerah.
Perwakilan mahasiswa, Muhammad Daffa, menegaskan bahwa fakta hukum tidak boleh berhenti di jajaran direksi bank.
“Kalau BPR KRI adalah BUMD milik Pemkab Indramayu, artinya secara hukum pemilik modal terbesar adalah kepala daerah. Maka, tidak logis bila kerugian Rp139 miliar bisa terjadi tanpa sepengetahuan atau tanggung jawab pemodal utamanya,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa dalam beberapa sidang sebelumnya, nama Bupati sempat muncul dalam kesaksian, namun tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan.
“Kami pertanyakan, kenapa pemanggilan terhadap Bupati tidak jadi dilakukan. Padahal perannya sebagai pemegang saham mayoritas jelas tercantum dalam laporan keuangan BPR KRI,” ujar Daffa lagi.
Laporan Resmi Diterima, Kejati Janji Dalami Arah Dana
Rombongan mahasiswa diterima langsung oleh Kasipenkum Kejati Jabar, Nur Scahyawijaya, yang mengonfirmasi bahwa laporan tambahan dari mahasiswa sudah diterima.
“Benar, laporan sudah kami terima dan tentu akan didalami. Semua laporan dari masyarakat akan kami tindaklanjuti,” ujarnya singkat.
Meski demikian, mahasiswa menilai jawaban itu belum cukup tegas.
Mereka berharap Kejati Jabar tidak hanya memeriksa tiga tersangka dari kalangan direksi, tetapi juga menelusuri arah aliran dana yang diduga menembus lingkar kekuasaan.
Kasus Panjang: Tiga Direksi Sudah Jadi Tersangka
Kejati Jabar sebelumnya telah menetapkan tiga pejabat utama BPR KRI sebagai tersangka:
SGY, Direktur Utama periode 2012–2022
MAA, Direktur Operasional periode 2012–2019
BS, Direktur Operasional periode 2020–2023
Ketiganya dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor karena diduga menyalurkan kredit fiktif selama hampir delapan tahun.
Namun, dari fakta persidangan, terungkap bahwa 121 fasilitas kredit senilai Rp129 miliar justru diterima oleh pihak luar bank — disebut sebagai koordinator eksternal.
Dari sinilah mahasiswa menduga kuat adanya keterlibatan figur berpengaruh yang tak tersentuh hukum.
“Tidak mungkin uang sebanyak itu keluar tanpa dukungan politik. Kami mendesak Kejati Jabar berani menyentuh pihak pemodal yang punya kewenangan di atas direksi,” kata Eka, salah satu mahasiswa lainnya.
Secara hukum, BPR KRI merupakan badan usaha milik Pemerintah Kabupaten Indramayu.
Artinya, kepala daerah selaku pemegang saham utama (pemodal) memiliki kewenangan strategis terhadap kebijakan, pengangkatan direksi, hingga pengawasan operasional bank.
Sejumlah ahli keuangan daerah bahkan menilai, Bupati seharusnya dimintai keterangan sebagai bentuk tanggung jawab politik dan administratif.
Jika terbukti ada pembiaran, atau bahkan penerimaan keuntungan dari aliran dana korupsi, maka posisi pemodal bisa berubah menjadi pihak yang turut serta dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP jo. Pasal 3 UU Tipikor.
“Skandal BPR KRI ini bukan sekadar soal penyalahgunaan wewenang, tetapi juga soal etika dan moral seorang pemodal publik. Jika pemilik modal lepas tangan, bagaimana rakyat bisa percaya lagi pada lembaga keuangan daerah?,” ujar seorang pengamat hukum dari Bandung, yang enggan disebut namanya.
Kerugian akibat kasus ini tidak hanya berhenti di angka Rp139 miliar.
Ribuan nasabah kecil kehilangan tabungan, pelaku UMKM kehilangan akses kredit, dan kepercayaan terhadap lembaga keuangan daerah runtuh.
Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mencabut izin operasional BPR KRI pada 12 September 2023, setelah menemukan kredit macet senilai lebih dari Rp230 miliar.
Namun hingga kini, publik belum pernah mendengar ke mana aliran uang hasil korupsi tersebut mengalir, dan siapa yang menikmati hasilnya.
Mahasiswa menegaskan bahwa mereka tidak menuduh sembarangan, tetapi menuntut transparansi penuh dan keberanian hukum tanpa pandang jabatan.
“Kejati Jabar harus menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Bila memang ada keterlibatan pemodal utama, jangan takut untuk memanggilnya. Rakyat Indramayu berhak tahu kebenarannya,” tegas Daffa di hadapan awak media.
Mereka pun berjanji akan terus mengawal perkembangan kasus ini hingga tuntas, bahkan siap menggelar aksi lanjutan di Kejaksaan Agung bila Kejati Jabar tidak menindaklanjuti laporan tersebut dalam waktu dekat.***






