KAPOL.ID – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Ono Surono, melakukan sidak ke SMK Negeri 13 Kota Bandung usai adanya laporan terkait dugaan pungutan liar (pungli) kepada setiap siswa kelas 11 sebesar Rp 5,5 juta, Kamis (22/5).
Dalam kunjungan ini, Ono Surono menemukan fakta bahwa pungutan atau sumbangan tersebut terpaksa dilakukan oleh Komite Sekolah lantaran untuk menutupi kekurangan biaya untuk kegiatan praktikum di laboratorium.
Dia mengatakan, dari pengakuan komite, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Pemprov Jabar yang diterima sekolah tidak cukup untuk menutupi pembelian bahan-bahan praktikum.
“Ada kebutuhan dari sekolah terkait pembelajaran anak-anak tersebut karena memang tidak bisa di-handle oleh anggaran yang disiapkan oleh pemerintah daerah,” ujar Ono didampingi anggota Komisi V Fraksi PDI Perjuangan Tom Maskun, Christin Novalia Simanjuntak dan Diah Fitri Maryani.
Lebih lanjut, Komite Sekolah pun mengklaim tidak pernah memaksa orangtua siswa, khususnya yang berasal dari keluarga pra-sejahtera, untuk ikut menyumbang.
Bahkan, soal informasi orangtua yang belum membayar sumbangan tersebut sehingga siswa tidak diperbolehkan untuk ikut ujian, tidak benar.
“Tadi disampaikan Ketua Komite, sebenarnya tidak ada pemaksaan, tidak ada hal-hal yang dikaitkan dengan ujian. Namun, mungkin ini informasi yang belum tersampaikan,” kata Ono.
Ono baru mengetahui bahwa biaya pendidikan di SMK ternyata lebih mahal daripada SMA.
Apalagi, kata dia, untuk beberapa jurusan tertentu, semisal analis kimia, farmasi, dan lainnya, diibaratkan seperti fakultas kedokteran di tingkat perguruan tinggi.
Oleh sebab itu, perlu adanya pengkajian lebih lanjut soal struktur biaya sekolah SMA/SMK di APBD agar bisa efektif sehingga tidak membebankan para orangtua siswa.
“Struktur pembiayaan APBD di bidang pendidikan tentunya ini menjadi bahan bagi kami. Salah satunya, misalnya BOPD (Biaya Operasional Pendidikan Daerah) yang sekarang rata, ternyata di SMK itu biaya pendidikannya jauh lebih besar daripada SMA,” tutur Ono.
Meski begitu, Ono menyayangkan adanya penggalangan dana kepada orangtua siswa, meskipun dengan alasan yang rasional agar siswa tetap bisa menjalankan proses pembelajaran.
Dia mendorong Komite Sekolah untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menutupi kekurangan biaya tersebut dengan berwirausaha bersama dan menjual produknya.
Dengan demikian, keuntungan bisa digunakan untuk berbagai kegiatan sekolah lainnya.
“Misalnya, kalau harus disisir, (orangtua) yang mampu, yang sudah berkecukupan. Dari unsur luar, dari alumni, dari industri yang ada di sekitar sekolah. Dan yang lainnya, kreatif inovatif, misalnya, buat usaha. Hasil penjualannya, misalnya, disumbangkan untuk sekolah ini bisa saja, tetapi ini kan jarang sekali kita lakukan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komite Sekolah, Belinda Y Dwiyana, mengakui adanya pungutan sumbangan tersebut.
Setiap tahunnya, sekolah membutuhkan hingga Rp 1,5 miliar untuk keperluan menunjang proses pembelajaran.
Namun, total dana BOS yang diterima oleh pihak sekolah hanya Rp 600 juta atau 40 persennya.
“Jadi, akhirnya dibagi. Kepada yang tidak mampu, tidak dihitung. Jadi, dibagi, akhirnya mereka (orangtua) menghitung,” katanya.
Dia menegaskan bahwa dari awal pihaknya tidak pernah mematok jumlah Rp 5,5 juta.
Mengingat, dalam aturan yang ada, Komite Sekolah dilarang menentukan jumlah atau nominal apa pun untuk keperluan sumbangan.
“Angka saya serahkan kepada orangtua murid. Kami punya kebutuhan sekian. Silakan berapa pun. Memang saya harus membuat waktu itu surat pernyataan yang dimana supaya saya bisa menghitung program kerja, berapa dana yang kira-kira akan masuk. Jadi, itu ada yang Rp 5,5 juta, ada yang cuma Rp 500 ribu, ada yang Rp 1 juta,” tutur Belinda. ***