OPINI

Isu Perubahan Pasangan Anies-Muhaimin Adalah Asumsi

×

Isu Perubahan Pasangan Anies-Muhaimin Adalah Asumsi

Sebarkan artikel ini

Asep Lukman Abu Arkansya
Aktivis dan pemerhati sosial politik

Perubahan adalah dambaan setiap orang karena ia merupakan fitrah manusia. Atau sudah menjadi kodratnya jika semua manusia selalu menginginkan hal yang baik terlebih dalam soal nasib hidup.

Kontestasi pilpres 2024 saat ini pasangan Amin satu-satunya capres cawapres yang keras menggaungkan soal perubahan. Namun benarkah suara aspirasi perubahan total terhimpun di pasangan Amin?

Menurut data yang dirilis iembaga-lembaga survei, rupanya pasangan Amin menempati urutan terakhir. Artinya suara pemilih itu terbagi, ada yang terhimpun di pasangan Ganjar-Mahfud. Ada pula yang terhimpun di pasangan Prabowo-Gibran dan sebagian di pasangan Anies-Imin.

Fenomena di atas membuktikan bahwa “Tagline Perubahan” yang digaungkan pasangan Amin tidak sepenuhnya mendapat dukungan publik. Atau umumnya publik tidak tertarik oleh “Slogan Perubahan”.

Aspirasi perubahan dalam kontestasi pilpres 2024 saat ini terbagi beberapa segmentasi. Ada aspirasi perubahan menurut perspektif para elite politik, perspektif para ekonom. Kemudian perspektif para praktisi hukum, para akademisi, ormas, agamawan dan seterusnya dengan berbagai kepentingannya masing-masing.

Dan yang terakhir, aspirasi perubahan menurut perspektif masyarakat yang tidak terafiliasi dengan organisasi dan institusi manapun. Aspirasi ini murni, steril dari kepentingan pribadi ataupun golongan. Fokus tuntutan aspirasi masyarakat tersebut mutlak menyangkut hal yang mendasar. Yakni ingin segera terlepas dari ketertekanan kemiskinan yang sehari-hari selalu digeluti dalam hidupnya. Dan nasib masyarakat seperti demikian jumlah suaranya terhitung mayoritas.

Lagi-lagi, yang jadi pertanyaannya kenapa suara aspirasi perubahan tersebut tidak dapat merekrut mayoritas untuk mendukung pasangan Anies-Muhaimin? Bukankah Anies sosok atau figur capres yang gemar berjanji tentang perubahan?

Jawabanya, rupanya seawam apapun masyarakat, cukup saja berdasar pada pengalamannya yang lambat laun dapat menjadi cerdas dengan sendirinya. Dan saat ini masyarakat yang tidak berafiliasi pada oraganisasi apapun itu dapat mengetahui dengan kepekaan nalar dan rasanya, bahwa “tagline Perubahan” tidak lain hanya sebuah asumsi.

Asumsi itu terbangun akibat sosok yang menggaungkan perubahan masih banyak bicara dalam tataran janji-janji manis. Bahkan saat dicerna oleh pikiran masyarakat terasa samar, alhasil masih dianggap sangat meragukan.

Presiden

Cara Anies dalam meyakinkan publik dengan membanggakan track record dirinya ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Padahal semua masyarakat paham bahwa masalah track record itu nyatanya acapakali tidak berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Selain itu masyarakat pun tahu, bahwa tupoksi gubernur itu sangat jauh berbeda dengan tupoksi presiden.

Masyarakat pun bisa menggambarkan melalui perbandingan, misalnya antara gubernur Jakarta dan Jawa Barat. Anies ibarat seorang gubernur yang kaya raya memiliki APBD Rp 82 triliun (2022) dan hanya diberi tugas mengurusi warga yang berjumlah 10 juta jiwa.

Sementara Ridwan Kamil Gubernur Jabar dengan APBD Rp 37 triliun (2022) namun diberi tugas mengurusi warganya yang hampir berjumlah 49 juta jiwa.

Dengan perbandingan di atas, sehebat apapun kecerdasan Ridwan Kamil tetap akan banyak merasakan kesulitan dalam mengurus warganya yang berjumlah empat kali lipat dibanding Anies. Sementara APBD-nya hanya kurang dari setengah provinsi Jakarta.

Logika kita dapat mengukur, jika APBN Indonesia Rp 3.400 triliun, dengan jumlah penduduk yang harus diurus 278 juta jiwa. Artinya sehebat apapun track record seorang gubernur itu bukan suatu jaminan dapat menyelesaikan tupoksi Presiden. Karena faktor keuanganlah yang sesungguhnya menjadi penyebab janji-janji manis terkait kesejahteraan yang diucapkan oleh semua calon sejak dulu sulit terealisasi. Setelah dirinya terpilih dan resmi menjabat sebagai presiden.

Artinya, untuk menjadi seorang presiden NKRI yang kondisinya seperti demikian, mau tidak mau butuh kecerdasan yang super. Super karena bukan hanya harus mampu mengatur anggaran, tapi dituntut mampu pula mengedukasi semua lapisan masyarakat. Agar bisa hidup rukun bersatu padu meski dalam kondisi keterbatasan APBN.

Jika diumpamakan suatu keluarga yang kondisi finansialnya pas-pasan namun mampu hidup rukun dan bersatu. Keluarga yang dikepalai seorang ayah yang arif dan bijak serta selalu mengedukasi semua anak-anaknya dengan edukasi yang logis realistis. Sehingga semua anggota keluarganya mampu menerima sepenuhnya jika harus hidup dalam kesederhanaan. Dan karena kita adalah manusia, maka ibarat keluarga yang hidup dalam kondisi kesederhanaan, kita pun pasti bisa menerima. Namun seraya terus berjuang demi mengubah keadaan menjadi benar-benar lebih baik.***