Oleh Nizar Machyuzaar
Esai ini merupakan lanjutan dari esai “Narasi Subversif, Mitos Baru di Era Medsos” yang telah dipublikasikan di kolom opini Kapol.Id. di bulan November 2020. Dalam esai tersebut saya mencoba menggambarkan sebuah pola baru dalam penerimaan kita, baik sebagai cityzen maupun netizen, atas informasi digital atau konten yang dikonsumsi dan diproduksi. Namun, esai ini tetap berangkat dari anggapan bahwa media internet adalah media yang netral, bergantung pengguna dengan tujuannya masing-masing.
Karakteristik internet yang cepat, luas, dan massif dalam menyajikan informasi telah menyasar kedirian sesiapa pun, kapan pun, dan di mana pun asal memiliki akses internet. Platform penulisan berita cetak, misalnya, akhirnya harus menyesuaikan dengan luasnya layar digital smartphone atau tablet yang tentunya berhubungan dengan susunan paragraf berita yang ringkas, ringan, dan cenderung instan agar nyaman dibaca.
Di satu sisi, gejala ini berkaitan dengan konsekuensi kemasan informasi hasil kreativitas para pemroduksi konten yang sadar betul konten mereka harus menyesuaikan dengan karakteristik media digital beserta kelebihan dan kekurangannya. Hasilnya adalah keberlimpahan informasi digital. Mari kita bayangkan, mungkin dalam hitungan detik, “berapa ratus ribu informasi yang diunggah di Indonesia?”
Hal ini telah mendorong munculnya monster baru berbentuk semesta teks dan berupa Si Molek Maya. Sebabnya, sesiapa pun, kapan pun, dan di mana pun dapat memproduksi informasi tanpa terkendala legalitas lembaga penyiaran formal. Gejala berikutnya adalah lalu lintas konten dengan media berbagi konten yang mungkin juga, dalam hitungan detik, berapa ratus ribu konten dibagikan ulang.
Di sisi lain, monster baru ini begitu ampuh mengonstruksi pola pikir, pola ucap, dan pola tindak penerima informasi digital. Karakter internet yang cepat, luas, dan massif dalam memproduksi konten telah memosisikan pengonsumsi konten yang juga dituntut untuk cepat, tepat, dan praktis (untuk tidak mengatakan instan) dalam memahami informasi. Mungkin, adagium “berselancar dengan Si Maya” memang ideal untuk menggambarkan situasi pola produksi-konsumsi konten.
Situasi ini terjadi dalam ranah faktual informasi. Meskipun demikian, beberapa jenis informasi faktual tetap mempertahankan platform penulisan teks faktual yang ketat acuan dan logis proposisinya, seperti pada konten e-paper, jurnal ilmiah digital, dan konten-konten yang memang terikat dengan kegiatan keilmuan.
Dalam ranah faksional informasi (seperti artikel atau opini) dan ranah fiksional informasi (seperti karya sastra), gejala penyesuaian platform penulisannya pun patut dicurigai terjadi. Sekali lagi, asumsi ini berdasar karena tidak sekadar perkara luasnya layar digital smartphone atau tablet Anda, tetapi juga pertimbangan selera kenyamanan penerimaan dalam mengonsumsi konten yang lagi-lagi, serbacepat-tepat-praktis. Tentunya, ujung dan pangkal dari mekanisme produksi-konsumsi konten ini adalah selera pasar yang erat kaitannya dengan distribusi kapital.
Pesona Mitis
Gambaran di atas menandai betapa pentingnya prosedur penafsiran atau interpretasi yang harus dimiliki oleh sesiapa yang ingin berselancar dengan Si Maya yang kadang kala, sesekali, menampakkan rupa aslinya sebagai monster. Sebabnya, sebagai peselancar, kita tidak ingin jatuh kemudian berenang, bahkan tenggelam dalam semesta teks ditinggal Si Maya yang berubah menjadi monster itu.
Dalam esai pertama, saya mencoba menggambarkan bagaimana konten membangun narasi simbolik. Sebabnya, karakteristik media internet yang serba cepat-luas-masif cenderung memerangkap penafsir dalam medan penafsiran teks fiksional. Tak perlu ada perjumpaan dengan tokoh, lembaga, atau sumber berita konten untuk mempertanyakan kebenaran peristiwa dan makna konten. Teks begitu melimpah dan kita diposisikan memilih dan memilah, kemudian memahamkannya dalam penampang waktu linear sebagai peselancar. Setiap detik ratusan ribu teks diproduksi dan dibagikan kembali, sementara kapasitas waktu kita terbatas dalam mengonsumsinya.
Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, kemelekan kita atas konten telah memerangkap prosedur penafsiran yang ketat dan logis ala filsafat dan sains ke dalam prosedur penafsiran sebelum lahirnya filsafat dan sains, yakni mitos. Narasi simbolik konten yang tersimpan dalam pengetahuan kita membangun narasi subversif karena kesalahan prosedur penafsiran.
Keberlimpahan dan sekaligus kesemrawutan lalu lintas teks/konten di dunia maya menjadi paralel dengan keberlimpahan dan kesemrawutan lalu lintas teks/konten yang membangun pengetahuan dan pemahaman sesiapa pun yang akrab dengan Si Maya. Kita terperangkap oleh pesona Si Maya yang lagi-lagi, dalam menafsir konten pun serba cepat-luas-masif dan cenderung abai dengan refleksi kritis.
Dalam situasi seperti ini, “mana yang lebih awal ada, pikiran atau bahasa?”
Pertanyaan retoris ini dapat disejajarkan dengan pertanyaan “mana lebih awal ada, manusia atau teks?” atau “mana lebih awal ada, Adam atau kun?”Jika kita percaya bahwa pengetahuan dan pemahaman kita dibangun oleh teks, kita kembali masuk dalam mitologi. Kuasa teks atas manusia menempatkan manusia sebagai subordinat dari sesuatu di luar dirinya, bisa alam, tuhan, bahasa, bahkan mitos itu sendiri.
Dalam ranah mitos, kepercayaan mendahului pembuktian. Sebuah mitos hadir karena kerelaan kita menganggapnya sebagai mitos. Korelasi mitos mengacu pada dua acuan, yakni (1) acuan keyakinan dalam sistem agama dan (2) acuan keyakinan dalam narasi fiksi. Ambivalensi acuan mitos ini dapat kita temukan dalam narasi-narasi simbolik konten. Bahkan pun, adagium berselancar di dunia maya adalah narasi subversif yang hampir menjadi mitos.
Sesiapa menyebarkan begitu saja sebuah konten informasi yang diterima tanpa mengecek kebenaran beritanya boleh dikata adalah gejala mitos baru di era kecanggihan teknologi informasi. Tentunya, kita dapat berkilah bahwa pemroduksi, baik pribadi atau lembaga resmi, dapat menjadi jaminan integritas dan kredibilitas sebuah konten. Namun, objektivitas pemroduksi bisa bias karena ada tujuan (bisa motifnya kepentingan) dibalik produksi konten, semisal ekonomi, politik, agama, dsb.
Hal ini terjadi karena memang Si Maya begitu memesona sebagai sebuah narasi simbolik yang dikonsumsi dan dibagi-ulang (reshare). Dalam tahap ini, share dan reshare menjadi sebuah perilaku yang sudah biasa dilakukan. Bahkan pun, kita dengan enjoy me-reshare konten berita digital ke rekan, grup, jejaring sosial, dan jurnal pribadi kita tanpa tahapan interpretasi kritis.
Gejala ini yang saya maksud dengan kodifikasi massif narasi subversif dalam esai kesatu. Ada ekuivalensi model intepretasi narasi subversif dengan model interpretasi narasi ambivalen bernama mitos sebagai narasi fiksi yang tidak menuntut pembuktian faktual. Ambivalensi referensi-diri (self reference) mitos, antara kepercayaan tanpa pembuktian faktual seperti dalam narasi simbolik agama dan kepercayaan tanpa pembuktian faktual seperti dalam narasi fiksi, menjadi pesona mitis Si Maya.
Meskipun demikian, kecenderungan gejala ini tidak menafikan bahwa masih banyak pengguna internet yang tidak terjebak dalam medan interpretasi mitos. Pudarnya pesona mitis Si Maya yang dibangun melalui nasari-narasi simbolik yang subversif ini, dibangun oleh kesadaran kritis atas “berselancar dengan Si Maya”. Maksudnya, kesadaran rasionalisasi pengonsumsi konten yang disusun dari logika deduksi abstraksi atas deskripsi-analisis-interpretasi sebuah konten.
Unggah dan Unggah Ulang
Sekarang mari kita hampiri konteks kekinian yang menghubungkan bagian di atas dengan keseharian kita yang konkret. Model komunikasi internet yang cepat, luas, dan massif mengakibatkan komunikasi yang dikemas dengan tampilan konten yang serbapraktis. Selain itu, berbagai aplikasi penyedia menu konten berlomba menawarkan beragam isi, mulai dari jurnal pribadi, berbagi konten, jejaring sosial, dsb. Bahkan, kita sangat dimanjakan mendesain sebuah konten stiker, kostumisasi situs atau blog, dan dokumen rekam pesan, suara, atau video hanya dengan mengunduh layanan aplikasi template.
Selain itu, bagi kita yang tertarik dengan sebuah konten yang dikonsumsi, kita bisa saat itu juga mengunggah ulang (reshare) sebagai pesan pribadi atau umum dalam berbagai layanan aplikasi media sosial. Gejala unggah dan unggah ulang menjadi hal yang biasa kita lakukan sebagai warganet.
Apalagi, tradisi tutur masyarakat kita begitu kuat sampai-sampai seorang akademisi dari Universitas Indonesia menduga bahwa teks seperti karya sastra yang seharusnya hadir dari tradisi tulis (maksudnya berpikir rekfektif dan kritis), masih didominasi oleh tradisi tutur atau kelisanan (maksudnya praktis dan fungsional). Padahal, ulasan ini ditemukan dalam objek teks cetak sebelum marak berkembang teks digital versi internet.
Di bagian sebelumnya, saya telah menyinggung bahwa produksi-konsumsi konten begitu melimpah. Layanan penyedia data yang di-hidden oleh setidaknya tiga monster Si Maya, yakni Google, Microsoft, dan Facebook, telah memindahkan segala aktivitas dan pengetahuan kita dalam bentuk digital. Sebagai homo simbolikum, kita sangat bergantung pada mereka. Bahkan, boleh jadi, globalisasi informasi yang diendors oleh ketiga penyedia layanan data ini telah andil mengonstruksi cita rasa, karya, karsa kita sebagai warganet, terutama di perkotaan.
Mungkin, kita dapat menandai gejala sederhana yang menyertai melimpahnya informasi ini dan sekaligus dapat menjadikannya pangkal ulasan, yakni share ‘unggah’ dan reshare ‘unggah ulang’ konten. Sebabnya, fenomena ini menandai masyarakat yang terbuka dan dinamis dalam menerima dan melakukan perubahan. Masyarakat yang memiliki multiacuan, mulai dari acuan kehidupan sehari-hari yang konkret, acuan bidang kehidupan yang menjadi perhatian atau pekerjaannya, acuan simbolik transmisi analog radio dan televisi, sampai ke acuan transmisi digital (superanalog) internet yang menyasar ke kedirian per individu.
Khusus dua acuan terakhir, kita dapat menandai perubahan aktivitas kehidupan kita sehari-hari yang mungkin tidak terasa, yakni ditinggalkannya media radio dan televisi analog untuk memperoleh informasi. Transformasi kedua produk komunikasi transimisi analog ini ke transmisi digital juga menandai kebebasan kita dalam memilih dan memilah informasi atau konten yang ingin kita dapatkan. Meskipun media televisi dan radio sudah berubah dalam layanan transmisi digital, karakter kedua media komunikasi ini tidak memberi kebebasan kita dalam memperoleh informasi karena konten keduanya adalah hasil konstruksi sekelompok orang yang dinamakan redaksi.
Catatan kaki dari kedua produk media komunikasi ini adalah mesin komunikasi propaganda yang kita sebut dengan iklan. Para kreator iklan memahami betul potensi internet untuk menjadi sarana mengenalkan produk dan jasa. Setiap kita berpotensi menjadi pengiklan atau setidaknya mengendors iklan orang lain. Bahkan pun, kita dapat membuat televisi dan radio sendiri dengan membuat channel di aplikasi Youtube dan Podcast untuk menarik masuknya iklan.
Sampai di sini, gambaran unggah dan unggah ulang ini menandai ratusan ribu bahkan jutaan ribu transaksi ekonomi. Sebabnya, fasilitas internet bukan perkara gratis. Kita mengakses internet tentu membeli paket data. Simbiosis mutualisme terjadi manakala sesiapa mampu memformulasikan ide kreatifnya dan menjadi perkara yang dimaui khalayak ramai, Si Maya akan mempersunting Anda dengan mahar yang superrealis, melampaui kerja formal di lembaga atau instansi resmi. Dapatlah dikatakan bahwa lalu lintas komunikasi internet (traffict log in) menandai bukan sekadar transaksi konten belaka, melainkan juga transaksi kapital dalam bentuk digital.
Kleptoteks
Gambaran di atas bisa menjadi lanskap esai ini untuk sampai pada bagian inti tulisan ini. Dalam bagian ini gejala unggah dan unggah ulang yang biasa kita lakukan dalam berkomunikasi di internet dapat menandai gejala psikis masyarakat, khususnya warganet yang doyan share ‘berbagi’ dan reshare ‘berbagi ulang’ konten. Hal ini dapat menguatkan asumsi bahwa konten adalah informasi yang dimiliki bersama oleh, dari, dan untuk bersama.
Konten yang berisi tindakan yang direpresentasikan melalui sistem tanda bahasa verbal dan nonverbal dapat dikatakan dengan istilah teks. Teks sendiri dapat dibatasi sebagai segala tindakan yang terbakukan dalam bentuk tulisan (rekam suara dan rekam gambar). Konten sebagai teks telah memisahkan referensi diri dan maknanya dari peristiwa pertama yang berkaitan dengan ruang dan waktu temporal atau terbatas.
Konten sebagai teks telah mencukupkan referensi diri dan maknanya melalui sistem tanda bahasa dan gambar yang ditransmisikan dalam bentuk digital. Sesiapa pun, kapan pun, dan di mana pun dapat kembali masuk dalam peristiwa yang terbakukan tersebut yang berbeda dengan peristiwa pertama ketika konten itu dibuat atau peristiwa pertama terjadi.
Dengannya, dapatlah dikatakan bahwa konten adalah teks yang dapat berbentuk dokumen atau rekaman visual, auditorial, atau audiovisual. Di media sosial, konten dapat berbentuk rekam pesan (percakapan tulis atau chat pesan), rekam suara (percakapan lisan atau chat suara), dan rekam video (percakapan audio visual atau chat video) di media sosial.
Konten juga menyertakan aspek-aspek yang melingkungi teks dibuat. Singkatnya, konten menyertakan konteks, yakni (1) aspek pembuat/pemroduksi, (2) konten, (3) penerima/pengonsumsi (pembaca, pendengar, atau penonton), dan (4) aspek referensi indeksikal konten dengan peristiwa sosial-budaya saat konten itu dibuat.
Dari konteks atas konten tersebut, terkhusus aspek terakhir, konten dapat dianggap sebagai produk sosial yang mengambil bentuk ekspresi simbolik melalui media sistem tanda bahasa. Konten dibuat dengan referensi peristiwa nyata yang dituliskan, dilisankan, dan divideokan, seperti pada teks berita. Namun, konten juga dapat dibuat dengan referensi jejaring konten yang melingkunginya tanpa harus mengacu pada peristiwa nyata. Singkatnya konten hadir dari keberjamakan konten yang telah ada.
Sampai di sini, dengan perilaku unggah dan unggah ulang, konten mendapatkan energi replikasi yang takterbantahkan. Sebagai contoh, konten yang kemudian mendapat banyak apresiasi warganet (viral) dapat merangsang warganet lainnya untuk mereplikasinya dalam bentuk utuh, dalam bentuk pengurangan atau penambahan, atau membuat baru, seperti pada aplikasi Tiktok. Gejala replikasi konten ini sejajar dengan re-kreasi konten yang kemudian dikenal dengan istilah meme.
Dapatkah dikatakan bahwa meme adalah plagiasi? Hal ini sangat mungkin terjadi.
Namun, saya mau mengulasnya bukan dari peniruan kontennya, melainkan dari kebiasaan mereplikasi konten dalam peristiwa mengunggah dan mengunggah ulang konten yang dikonsumsi. Dalam hal ini saya menduga bahwa dalam perilaku berkomunikasi di internet, boleh jadi, kita telah mewajarkan replikasi dan re-kreasi konten ini.
Boleh jadi, semesta teks yang terentri di Si Maya memang memosisikan kita, untuk tidak mengatakan menginginkan, menjadi memiliki kebiasaan unggah dan unggah ulang konten. Sebabnya, konten yang dimaui pasar adalah konten yang viral, yang banyak dikunjungi warganet. Dari sini, kalkulasi kapital muncul dan sesiapa bergegas masuk ke aras ini, dia mendapat imbalan finansial.
Gejala psikis ini dapat menimpa sesiap pun, di mana pun, dan kapan pun. Gejaja psikis yang diendors oleh budaya populis ini memang menjanjikan untuk serius ditekuni sebagai profesi atau sekadar iseng dengan tujuan tertentu. Bolehlah kita katakan gejala psikis yang sadar atau taksadar seperti virus ini menjadi pandemi kita bersama. Virus baru ini mungkin kita katakan kleptoteks.
The Show Must go On
Meski beberapa penyedia aplikasi konten membuat mesin pencari plagiasi, mungkin ungkapan The Show Must Go On dari grup band terkenal itu pas untuk menggambarkan bahwa kegiatan akademik bisa dikebawahkan untuk kegiatan pasar. Kasus sederhana bisa kita dapatkan selain dari konten meme. Kita ambil contoh konten quotes ‘kutipan’ yang begitu banyak tersedia di internet dalam bentuk caption.
Kutipan bisa berbentuk peribahasa, bidal, kata-kata mutiara dsb. Kutipan bisa bersumber dari tradisi tutur yang dimiliki bersama suatu komunitas atau bersumber pada perkataan seseorang atau karya tulis seseorang. Kutipan dapat berbentuk caption, dokumen kamus, dsb. Kutipan lebih spesifik pengertiannya karena objek replikasinya adalah perkataan dalam bentuk klausa, kalimat, atau paragraf.
Replikasi dan re-kreasi konten kutipan semakin menegaskan bahwa semesta teks yang terentri di internet adalah perkara kita membuat salin rekat dengan atau tanpa menyebut sumbernya. Mungkin hal inilah yang membedakan seorang kleptoteks sebagai pengutip karena menyertakan sumber dan pengutil yang tidak menyertakan sumber.
Mungkin inilah maunya Si Maya, bahwa kita sebagai cityzen dan netizen menjadi seorang kleptoteks karena dengannya energi kapital diendors. (Mangkubumi, 03/01/2021).***