KAPOL.ID –
Banyak produk AMDK yang menawarkan air dalam kemasan yang berbeda-beda. Seperti Polipropilen (PP) atau gelas plastik, polikarbonat (PC) alias galon guna ulang biru dan polyethylene terephthalate (PET) atau galon sekali pakai.
Pakar Industri Plastik, Wiyu Wahono menjelaskan kemasan AMDK apapun yang dipakai di Indonesia sudah pasti aman. Baik kemasan PC, PP atau PET telah mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.
“Semua aman. Kalaupun ada luluran zat ke dalam air, itu semua masih dalam batas-batas yang ditentukan,” kata konsultan industri plastik di Jerman ini.
Seluruh kemasan AMDK yang ada di Indonesia telah mengikuti Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nomor 86 tahun 2019.
Regulasi ini mengatur lebih lanjut penyelenggaraan keamanan pangan. Salah satunya adalah pengaturan standar Kemasan Pangan mulai dari sanitasi, standar kemasan pangan, mutu hingga jaminan produk halal.
Begitu pula Peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang kemasan pangan. Secara detil mewajibkan produsen untuk menggunakan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
Seperti mengatur ketentuan terkait zat kontak pada pangan yang dilarang dan yang diizinkan. Dengan atau tanpa batas migrasi, bahan kontak pangan yang diizinkan dengan batas migrasi.
Serta penetapan tipe pangan dan kondisi penggunaan untuk pengujian persyaratan batas migrasi.
Tak hanya sampai di situ, kemasan AMDK juga harus memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memastikan kualitas dan keamanannya.
SNI 3553:2015 tentang air mineral diberlakukan secara wajib oleh Kementerian Perindustrian. Produk air mineral yang beredar di pasar domestik dan diproduksi oleh industri dalam negeri maupun impor harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan.
Kemudian keamanannya dan teruji oleh Lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Menurut studi yang diterbitkan dalam “Journal of Food Protection”, standar kebersihan yang tinggi selama proses produksi dapat meminimalkan risiko kontaminasi mikroorganisme dan bahan berbahaya pada kemasan.
Industri AMDK juga secara rutin melakukan pengujian kualitas pada kemasan mereka. Pengujian ini mencakup ketahanan terhadap tekanan, ketahanan terhadap suhu ekstrem, dan pengujian lainnya.
Data dari The International Bottled Water Association (IBWA) menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen AMDK mematuhi atau melebihi standar yang ditetapkan.
Wiyu menjelaskan, dibutuhkan banyak sekali konsumsi air yang sudah terpapar zat pembentuk plastik AMDK agar memberikan dampak kesehatan bagi tubuh.
Dosen ilmu plastik di universitas Jerman ini melanjutkan, hal tersebut juga telah menjadi perhatian seluruh badan kesehatan dunia sehingga menetapkan ambang batas aman.
Secara keseluruhan galon PC dipilih sebagai kemasan AMDK lantaran bisa digunakan berulang kali. Hal ini membuat galon guna ulang biru lebih ramah lingkungan dibanding galon sekali pakai.
Galon PC juga lebih fleksibel, sehingga lebih tahan dari risiko pecah/retak. Lebih tahan gores dan benturan sehingga tahan untuk dicuci dengan suhu panas antara 60-80 derajat celcius dengan penyikatan menggunakan sikat plastik tanpa menyebabkan kerusakan pada permukaan kemasan.
Berbeda dengan galon PET sekali pakai, galon PET guna ulang tidak menyumbang jumlah sampah ke lingkungan.
BPA
Sementara, saat ini masyarakat tengah ditakut-takuti dengan isu BPA dalam galon guna ulang biru. BPOM bahkan ingin membuat aturan label bebas BPA pada kemasan galon.
Aturan tersebut hanya menyasar galon saja. Meskipun BPA dipakai pada banyak kemasan pangan kaleng untuk menjaga agar tidak korosi atau karat sehingga membuat makanan tercemar.
Agar tidak rusak, kemasan kaleng diberi pelapis atau epoksi agar makanan tidak langsung mengalami kontak dengan kaleng. Epoksi inilah yang mengandung BPA.
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha Edhi Suyatma mengungkapkan, International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari organisasi kesehatan dunia (WHO) belum mengklasifikasikan BPA dalam kategori karsinogenik pada manusia.
Berangkat dari data WHO, otoritas keamanan pangan Amerika Serikat (FDA) juga mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus.
Pakar hukum persaingan usaha, Profesor Ningrum Natasya Sirait melihat bahwa isu dan dorongan labelisasi BPA sarat dengan persaingan usaha. Pasalnya, hal tersebut hanya menyasar pada satu kemasan pangan, yakni galon guna ulang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu pun meminta pemerintah dalam hal ini BPOM tidak memaksakan untuk memberikan label bahaya BPA pada galon guna ulang.
Dia menambahkan, terlebih bahaya BPA dalam dunia kesehatan sebenarnya juga masih pro dan kontra alias ambigu.
“Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban para konsumen nantinya. Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa?” katanya.***