Oleh Erlan Suwarlan
(Dosen FISIP Universitas Galuh)
Isu Presidential Treshold (ambang batas pencalonan presiden) seringkali muncul menjelang pemilu. Pada pemilu 2004 ada yang menyebut bahwa Presidential Treshold merupakan agenda untuk “menjegal” salah calon pada saat itu, yakni Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski akhirnya bersama Jusuf Kalla terpilih juga menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Memang saat itu posisi Partai Demokrat besutan SBY masih terbilang partai baru sekaligus partai kecil. Namun, dalam perjalanannya ketika memasuki pemilu 2009 dan 2014, SBY disebut-sebut juga menjadi salah satu pihak yang menginginkan Presidential Treshold tetap 20%. Belakangan dikabarkan bahwa SBY untuk pemilu 2024, menjadi salah pihak yang menghendaki Presidential Treshold 0%.
Meski gugatan Judicial Review mengenai Presidential Treshold sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak tiga belas dan semuanya ditolak. Kali ini merupakan gugatan yang keempat belas diajukan oleh beberapa nama, misalnya: Ferry Joko Yuliantono selaku Wakil Ketua DPP Gerindra, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dan dua anggota Dewan Perwakilan Daerah Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung.
Substansi yang dipersoalkan adalah Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu terdapat pula sejumlah pernyataan dari beberapa pejabat negara yang mendukung ditiadakannya Presidential Treshold, misalnya pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri dan Anggota DPR Komisi II dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus yang mendorong agar ambang batas pencalonan presiden ini dihapus demi mencegah politik transaksional.
Pada pihak yang tidak setuju misalnya terdapat nama Muhaimin Iskandar yang beralasan bahwa Presidential Treshold itu untuk memberi ruang ekspresi dan kompetisi, semua punya hak yang sama. Ia hanya setuju di angka 10%.
Sementara menurut Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi memandang bahwa ambang batas presiden yang digagas selama ini sebagai upaya menghargai partai politik. Ia mengingatkan bahwa pemerintahan membutuhkan peran parlemen sehingga ambang batas parlemen menjadi penting untuk diatur.
Perkembangan saat ini, nampaknya isu Presidential tersebut boleh jadi melahirkan dua pandangan dalam tubuh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Hal tersebut tercermin dari dua pandangan Hakim Mahkamah Konstitusi, yakni Prof. Saldi Isra dan Suhartoyo yang berpendapat bahwa, “Presidential Treshold merusak daulat rakyat”. Meski kita masih harus melihat pendapat dari tujuh hakim lainnya.
Dalam sebuah regulasi pertarungan ide dan kepentingan adalah dua hal yang akan berkecamuk, tidak akan terhindarkan. Sekaligus pertarungan integritas dan hati nurani. Presidential Treshold 20% kursi parlemen atau 25% suara sah nasional, selama ini memang banyak dicurigai sebagai praktik oligarki politik yang berkolaborasi dengan oligarki ekonomi.
Kita saksikan saja bagaimana hasil putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu ke depan.
Bukan dunia politik kalau tidak terjadi pro dan kontra atas isu-isu yang berkembang. Pro dan kontra adalah romantika dan dinamika yang menarik untuk disimak sepanjang berlandaskan objektivitas, argumentasi yuridis, dan terutama argumentasi akademis. Bukan praktik politik jangka pendek-transaksional.
Melihat fenomena tersebut, saya mencoba melihatnya dari perspektif akademis, yaitu berdasarkan ciri sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia saat ini yakni sistem presidensial. Tentunya kita sudah sama-sama mafhum bahwa secara umum (yang banyak dianut oleh banyak negara di dunia) terdapat dua sistem pemerintahan, yakni parlementer dan presidensial. Dimana Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah dua hal yang berbeda.
Bukan merupakan tesa atau antitesa yang kemudian melahirkan sintesa. Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam norma dan tata cara penyelenggaraan pemerintahannya.
Dalam kesempatan ini, ulasan akan difokuskan pada sistem presidensial. Agar kita bisa sama-sama berkontemplasi menyikapi soal polemik Presidential Treshold berdasarkan ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial. Makna yang sudah logis/relevan, makna yang belum.
Sebelumnya mari kita ingat kembali “Kesepakatan Dasar” saat terjadinya amandemen I-IV Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001, 2002.
Saat itu terdapat lima kesepakatan, yakni: pertama, Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, Tetap Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, Mempertegas Sistem Presidensiil. Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif dimasukan ke dalam pasal-pasal, dan kelima, Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
Di dalam poin ketiga kesepakatan tersebut jelas dinyatakan, “Mempertegas Sistem Presidensiil”. Poin ketiga inilah yang mesti dilihat korelasinya dengan isu Presidential Treshold dan dilaksanakannya pemilihan Presiden secara langsung sebagaimana dinyatakan dalam perubahan ketiga UUD 1945 pada Pasal 6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ayat (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Sependek pengetahuan penulis, sekurang-kurangnya ada dua argumentasi yang sempat mengemuka berkaitan dengan dilaksanakannya pemilihan presiden secara langsung, pertama menyatakan bahwa, “ketika banyak hal diurus oleh elit politik, maka biarkan rakyat menentukan pemimpinnya sendiri”. Kedua, pemilihan presiden secara langsung adalah sebagai perwujudan dari “Sistem Presidensial” (baca: Mempertegas Sistem Presidensial).
Berkaitan dengan argumentasi yang kedua, yakni soal pemilihan langsung oleh rakyat, penulis termasuk yang masih mempertanyakan, ”apakah ini sudah tepat untuk konteks Indonesia?” Mari kita komparasikan dengan sistem pemilihan yang pernah berlaku di negara kota (polis) jaman Yunani Kuno.
Saat itu pemilihan langsung dengan luas wilayah kira-kira setingkat Desa, sehingga memungkinkan dilaksanakan secara langsung. Selanjutnya kita komparasikan dengan pemilihan presiden di Amerika, di sana dilaksanakan oleh Électoral College. Artinya melalui perwakilan, tidak langsung oleh rakyat.
Soal Electoral College pernah diwacanakan oleh Prof. Jimly Asshidiqi, meski wacana ini tidak masuk/tidak menarik bagi parlemen di kita. Dengan mengkomparasikan pada dua kasus di atas, pertanyaan buat kita, sebenarnya pemilihan langsung dan serentak yang saat ini dilakukan argumentasi scientific-nya mengacu ke mana?
Ciri-ciri Sistem Presidensial
Kembali ke soal Presidential Treshold, mari kita review kembali dengan menarik relasinya dengan sistem presidensial. Ciri yang paling menonjol dalam sistem presidensial adalah sesuai dengan namanya, bahwa obyek utama yang diperebutkan, adalah presiden. Peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai.
Tidak ada alasan yang bisa membatasi bahwa calon presiden harus berasal dari partai. Calon presiden bisa saja berasal dari perorangan sebagai figur independen. Kompetisi antar calon presiden dalam sistem presidensial adalah pada tataran kapabilitas, performansi, karakter kepemimpinan, dan wawasan kenegaraan yang dimiliki figur calon.
Sebagai pelaksana fungsi pemerintahan Presiden adalah figur yang memperoleh mandat untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan periode waktu yang ditentukan konstitusi. Presiden adalah jabatan yang memiliki dua fungsi, fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan. Selaku kepala negara, presiden adalah simbol representasi negara dan simbol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan.
Dengan adanya kedua fungsi dalam satu figur maka kedudukan presiden dalam pemerintahan menempati posisi sentral. Dengan kedua fungsi tersebut logis bila kedudukan presiden lebih kuat dan lebih berwibawa dibanding dengan dua lembaga Trias Politika lainnya yang masing-masing mengemban satu fungsi.
Kendati awalnya berasal atau dicalonkan partai, presiden tidak boleh lagi berorientasi kepada partai karena selaku kepala negara ia telah menjadi figur milik bangsa, maka secara etika dan moral, presiden harus bukan lagi anggota apalagi pengurus partai. Presiden yang merangkap jabatan kepresidennya dengan jabatan fungsionaris partai, apalagi ketua partai, sudah tentu akan menurunkan derajat kewibawaannnya sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri.
Presiden sebagai fungsionaris/ketua partai adalah produk pengaruh sistem parlementer yang memang menetapkan kepala pemerintahan harus dari partai. Terpilihnya presiden dalam pemilu substansinya adalah pengakuan dan persetujuan rakyat atas visi dan program yang ditawarkan.
Presiden adalah pengemban kontrak sosial, maka rakyat perlu jaminan agar kontrak sosial tersebut dapat diwujudkan. Sementara fungsi legislatif adalah mengemban mandat rakyat untuk mensukseskan misi dan program eksekutif.
Peran legislatif adalah mentransformasikan kontrak sosial ke dalam kebijakan negara yakni dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang pro rakyat. Artinya fungsi lembaga legislatif dalam sistem presidensial adalah lembaga yang harus ikut mensukseskan misi presiden dengan cara mempertajam program dan melakukan sejumlah koreksi.
Presiden terpilih berkewajiban melaksanakan kontrak sosial yakni melaksanakan apa yang sebelumnya dijanjikan kepada rakyat dalam pemilu. Kontrak sosial adalah landasan etika dan moral bagi presiden untuk mengangkat dan/atau memberhentikan pembantu-pembantunya berdasarkan pilihan dan putusannya.
Hak presiden untuk memilih menteri tidak boleh diartikan sebagai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Terhadap jabatan menteri strategis yang dampak kebijakannya langsung berkait performansi negara, Presiden perlu berkonsultasi dengan lembaga legislatif.
Kewajiban presiden berkonsultasi kepada legislatif tidak berarti legislatif memiliki hak mengajukan calon menteri. Komposisi kabinet dalam sistem presidensial bukan terjadi dari proses tawar-menawar dengan partai, tidak juga dengan partai tempat presiden sebelumnya bernaung.
Dalam sistem presidensial peran partai lebih sebagai fasilitator pemilu. Isu atau materi perdebatan di lembaga legislatif umumnya lebih bersifat menyoroti kebijakan yang menyangkut kepentingan umum, tanpa diembel-embeli kepentingan partai karena visi dan program pemerintah memang tidak didasarkan atas visi dan program partai.
Eksistensi partai diukur dari sambutan atau apresiasi publik terhadap kader-kadernya di legislatif maupun di eksekutif yang nyata berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara. Sistem presidensial hakekatnya tidak mengenal partai oposisi.
Banyak negara penganut sistem presidensial kurang berhasil melaksanakan sistem ini antara lain karena terjebak pada pola kediktatoran. Kokohnya kedudukan presiden lebih memberikan kepastian masa jabatan yang pada gilirannya lebih memberikan ketenangan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan.
Namun, kepastian masa jabatan juga bisa disalahgunakan karena presiden memiliki cukup waktu untuk secara bertahap melakukan rekayasa untuk terus memperkuat kedudukannya. Kediktatoran yang melanda sejumlah negara terjadi melalui tahap-tahap semacam itu. Bermacam cara bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan kediktatoran, dengan menggunakan label demokrasi, yang hanya mungkin dilakukan pada sistem presidensial.
Menyikapi Sistem Pemerintahan
Dengan adanya fakta empirik terhadap kegagalan sistem dapat disimpulkan bahwa semua sistem (sistem presidensial maupun sistem parlementer) berpotensi menjadi sistem yang buruk, semuanya memiliki kelemahan utama yakni tidak mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang terjadi dengan keberhasilan sistem parlementer negara-negara Eropa Barat (dan Jepang) dan keberhasilan sistem presidensial Amerika Serikat yang keduanya juga fakta empirik. Sistem pemerintahan parlementer model Inggris dan (Eropa Barat) dan Jepang demikian pula sistem presidensial model Amerika Serikat, terbukti bahwa sistem yang mereka pilih tetap eksis untuk kurun waktu yang cukup panjang.
Model parlementer Eropa Barat dan Jepang telah berlangsung beberapa dekade, bahkan model presidensial Amerika Serikat telah berlangsung untuk kurun waktu lebih dari dua ratus tahun.
Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun keberhasilan sejumlah negara dalam melaksanakan sistem parlementer dan sukses negara yang lain dalam melaksanakan sistem presidensial harus menjadi pelajaran bahwa kegagalan ternyata tidak terletak pada sistem parlementer atau presidensial.
Tidak ada yang salah dalam sistem parlementer demikian pula tidak ada yang salah dalam sistem presidensial, sejauh penganut dan pelaku sistem mengikuti logika aturan main yang berlaku pada masing-masing sistem.
Kegagalan yang melanda sejumlah negara lebih disebabkan karena sistem parlementer ataupun presidensial umumnya tidak dipahami secara utuh. Kegagalan pelaksanaan demokrasi lebih terletak pada inkonsistensi antara ide dengan implementasi.***