KAPOL.ID – Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKS, Siti Muntamah, menanggapi hangatnya polemik mengenai wacana vasektomi sebagai salah satu strategi pengendalian angka kelahiran di Jawa Barat.
Ia menegaskan bahwa bantuan sosial (bansos) tidak seharusnya dikaitkan secara langsung dengan partisipasi masyarakat dalam program Keluarga Berencana (KB), apalagi dijadikan syarat penerimaan bantuan.
Menurut Siti Muntamah, bantuan sosial harus tetap berjalan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa diseret dalam kebijakan program vasektomi.
“Jangan dihubungkan bansos sama vasektomi. Bansos itu sudah ada syaratnya sendiri yang berlaku dan diberikan untuk kesejahteraan masyarakat miskin dan sudah diatur dalam Undang-undang. Kalau dijadikan syarat vasektomi, itu malah bisa menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya. Rabu (7/5/2025).
Ummi Oded, sapaan akrabnya menyoroti adanya informasi bahwa program vasektomi digulirkan sebagai salah satu upaya untuk menekan angka kelahiran di Jawa Barat yang disebut-sebut mencapai 900 ribu kelahiran per tahun.
Namun, ia mengingatkan bahwa penerapan vasektomi tidak bisa dilakukan sembarangan, mengingat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah menyatakan bahwa tindakan vasektomi dilarang kecuali atas indikasi dan rekomendasi medis yang jelas.
“Kita harus adil melihat ini. MUI sudah punya pandangan bahwa vasektomi itu haram kecuali karena alasan medis. Jadi kalau ini dijadikan syarat bansos, itu sangat problematik,” tambahnya.
Lebih lanjut, dia menyayangkan bahwa wacana vasektomi yang dilontarkan oleh Gubernur Jabar, langsung sampai ke media tanpa terlebih dahulu dikonsultasikan atau dikomunikasikan secara matang dengan DPRD atau dinas-dinas terkait.
Menurutnya, hal itu membuat program yang masih berupa wacana menjadi polemik di tengah masyarakat.
“Programnya belum dijalankan, tapi sudah ramai di media. Seharusnya dinas-dinas membantu Pak Gubernur menterjemahkan wacana itu ke dalam mekanisme yang jelas. Ini belum ada mekanismenya, tapi sudah disorot publik,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya peran penyuluh KB yang selama ini sudah bekerja di tingkat RW dan aktif mengedukasi keluarga-keluarga usia subur.
Dia mengingatkan bahwa pendekatan program KB selama ini dilakukan secara sukarela dan berdasarkan edukasi, bukan paksaan.
“Penyuluh KB itu setiap tahun terus berjalan. Mereka kampanye ke keluarga usia subur, baik pria maupun wanita. Jadi bukan tiba-tiba masyarakat ikut vasektomi hanya karena ingin dapat bansos. Itu tidak seperti itu mekanismenya,” jelasnya.
Ummi Oded juga menyoroti pentingnya data yang akurat dan pendekatan yang komprehensif. Menurutnya, pemerintah perlu duduk bersama dengan pihak-pihak terkait seperti DPRD, BKKBN, dinas kependudukan, DP3AKB, dan MUI untuk merumuskan solusi yang adil dan bijak dalam menangani isu ledakan penduduk dan kemiskinan.
“Kita harus tahu dulu, berapa sebenarnya keluarga prasejahtera yang punya anak lebih dari tiga, empat, lima atau bahkan sampai sebelas? Berapa dari mereka yang benar-benar usia subur? Itu harus jelas,” ujarnya.
Ia juga melihat bahwa wacana ini sebenarnya lahir dari niat baik Gubernur untuk melindungi perempuan dan mempercepat kesejahteraan keluarga. Namun, menurutnya, semangat tersebut harus dibarengi dengan komunikasi yang terbuka dan kebijakan yang berpijak pada data dan hukum, termasuk hukum agama.
“Pak Gubernur mungkin ingin membela perempuan. Karena selama ini program KB banyak menyasar perempuan. Beliau ingin laki-laki juga terlibat. Tapi sekali lagi, perlu duduk bersama dulu sebelum bicara ke publik,” ujarnya.
Sebagai anggota legislatif, dia menegaskan bahwa tugas DPRD adalah melakukan fungsi pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan program pemerintah, bukan ikut mengintervensi teknis kebijakan. Ia meminta agar semua pihak tidak terburu-buru menilai sebelum mekanisme kebijakan itu jelas dan disepakati bersama.
“Kita ini tugasnya mengawasi. Kita kawal kebijakan ini,” pungkasnya. ***