KAPOL.ID – Peristiwa penggeledahan Kantor Dinas PUPR Kabupaten Sumedang pada 12 September 2022 membuat heboh warga Kota Tahu.
Tentu saja, para pelaksana proyek yang menjadi mitra Dinas PUPR Kabupaten Sumedang, panik.
Karena, dimasa itu pula sedang berlangsung pemeriksaan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Sumedang, terkait kasus korupsi peningkatan Keboncau-Kudangwangi 2019.
Masyarakat saat itu menduga, penggeledahan berkaitan dengan informasi tentang adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat pusat, oleh KPK.
Hal itu, tentu dibantah oleh Kajari Sumedang saat itu I Wayan Riana yang menyatakan bahwa penggeledahan terkait dengan kasus Citengah-Cisoka 2019.
Dalam penanganan hukum di Kabupaten Sumedang terbilang lamban.
Dimana, untuk kasus korupsi peningkatan jalan Keboncau-Kudangwangi 2019 saja, belum ada keputusan final (inkrah) hingga saat ini.
Ini tentu saja membuat berbagai spekulasi muncul yang berawal dari pengembangan opini masyarakat.
Pasalnya, dalam menjerat kasus korupsi, pihak Kejari Sumedang berdasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP-BPK) Perwakilan Jawa Barat.
Dimana, dalam LHP-BPK itu, sedikitnya sebanyak 7 paket pekerjaan yang spesifikasi mutu betonnya ditemukan ketidaksesuaian.
Berdasarkan LHP BPK Perwakilan Jabar
Adapun 7 dari total nilai proyek peningkatan jalan ini sejumlah Rp. 454.887.299,06 terdapat ketidaksesuaian mutu beton dan kekurangan volume sebesar Rp. 3.460.100.411,92.
Antara lain :
1. Proyek peningkatan jalan Keboncau-Kudangwangi harus dikembalikan sebesar Rp. 999.470.692.68 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton. Pelaksana Pekerjaan PT. Makmur Mandiri Sawargi.
2. Proyek peningkatan jalan Citengah-Cisoka harus dikembalikan sebesar Rp. 785.031.832,34 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton.
Pelaksana kegiatan PT Gibran Pratama Perkasa.
3. Proyek peningkatan jalan Ujungjaya-Conggeang harus dikembalikan Rp. 631.688.071,51 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton. Pelaksana Proyek CV.Kencana.
4. Proyek peningkatan jalan Cijeungjing-Lebaksieuh harus dikembalikan Rp. 325.094.105,58 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton. Pelaksana kegiatan CV. Putra Jaya Mandiri.
5. Proyek peningkatan jalan Alternatif Cadas Pangeran harus dikembalikan Rp. 366.857.438,51 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton dan kurang volume dan pelaksana kegiatan CV. Avicena Makmur.
6. Proyek peningkatan jalan Sanca-Nanggerang harus dikembalikan Rp. 271.625.039,46 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton. Pelaksana kegiatan CV.Tekad Berkembang.
7. Proyek peningkatan jalan Hariang-Cisumur harus dikembalikan Rp. 227.687.767,70 karena terdapat ketidaksesuaian mutu beton dan kurang volume. Pelaksana kegiatan CV.Polkrim Mandiri
Dari 7 kasus ketidaksesuaian mutu beton itu, sejumlah pelaksana kegiatan harus mengembalikan uang kepada negara dengan total Rp. Rp. 3.460.100.411,92.
Dengan jala penjerat LHP-BPK ini, Kejari Sumedang, baru satu kasus yaitu Proyek peningkatan jalan Keboncau-Kudangwangi pada Dinas PUPR Kabupaten ini tahun 2019, yang berhasil ditangani dan digiring 6 terdakwa ke PN Tipikor Bandung.
Sementara baru 2 orang yang sudah menjalani hukuman dan 4 orang terdakwa masih belum ada keputusan tetap, masih menunggu putusan Banding.
Saat dikonfirmasi kepada pihak Kejaksaan Negeri Sumedang pada Senin malam 11 September 2023, wartawan hingga tulisan ini diterbitkan, belum mendapatkan konfirmasi terkait kelanjutan dari penanganan kasus lanjutan keenam dari tujuh kasus dugaan korupsi kurangnya volume dan mutu beton di Kabupaten Sumedang dalam proyek di tahun 2019 lalu itu.
Menyikapi hal tersebut, tokoh masyarakat Sumedang yang juga mantan Ketua DPRD Periode 2004-2009, Ismet Suparmat mengatakan itu terjadi menunjukan bahwa masih lemahnya pengawasan.
Imbasnya, ada kasus kebocoran APBD Kab. Sumedang dan Provinsi Jabar hingga bersentuhan ke ranah hukum, disoroti.
“Kebocoran uang rakyat tersebut terjadi diduga akibat lemahnya pengawasan dari legislatif,” ujar Ismet.
Dikatakan, DPRD Kabupaten Sumedang memiliki alat kelengkapan yaitu Komisi-komisi yang memiliki fungsi pengawasan ke setiap SKPD yang ada.
“Yang layak dipertanyakan, yakni seberapa jauh fungsi pengawasan dari tiap komisi?, apakah sudah dijalankan dengan baik?,” ujarnya.
Menurut dia, atau bisa juga dipertanyakan terkaitnya seberapa jauh pola kemitraan yang dibangun oleh setiap komisi dengan SKPD terkait. ***