OPINIPESANTREN

Tangisan Langit di Malam Perpisahan Ramadhan

×

Tangisan Langit di Malam Perpisahan Ramadhan

Sebarkan artikel ini
Tangisan Langit di Malam Perpisahan Ramadhan. Foto: Unsplash

Oleh Ujang Jamaludin
Santri Pesantren Nurul Huda Cikandri Kabupaten Pangandaran
Aktivis Muda Nahdlatul Ulama

Setiap awal pasti ada akhir. Begitu pula dengan Ramadhan, bulan penuh keberkahan yang kini perlahan meninggalkan kita. Selama sebulan penuh, kita merasakan suasana yang berbeda—pintu-pintu surga terbuka, dosa-dosa diampuni, dan pahala dilipatgandakan berkali-kali lipat.

Namun, waktu terus berjalan. Ramadhan yang datang membawa keberkahan, kini bersiap untuk pergi. Tidakkah hati ini merasa kehilangan?

Saat Langit, Bumi, dan Malaikat Menangis

Bulan Ramadhan bukan hanya ditunggu kedatangannya, tetapi juga diratapi kepergiannya. Bahkan, di malam terakhir Ramadhan, langit, bumi, dan para malaikat pun menangis. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عن جابر عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال:
“إذا كان آخر ليلة من رمضان بكت السموات والأرض والملائكة مصيبة لأمة محمد عليه الصلاة والسلام، قيل يا رسول الله أي مصيبة هي؟ قال عليه الصلاة والسلام: ذهاب رمضان، فإن الدعوات فيه مستجابة والصدقات مقبولة والحسنات مضاعفة والعذاب مدفوع.”
(Durratun Nasihin, hlm. 11 | Pustaka Islamiyah)

Artinya: Dari Jabir, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Apabila malam terakhir bulan Ramadhan, langit, bumi, dan para malaikat menangis sebagai musibah bagi umat Nabi Muhammad ﷺ.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, musibah apakah itu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Perginya Ramadhan, karena doa-doa di dalamnya dikabulkan, sedekah diterima, pahala dilipatgandakan, dan azab ditahan.”

Bayangkan, jika langit dan bumi saja meratap, bagaimana dengan kita? Sebulan penuh kita diberi kesempatan emas untuk memperbanyak ibadah, mendekatkan diri kepada Allah, serta meraih ampunan dan pahala berlipat ganda. Kini, semua itu akan pergi meninggalkan kita.

Mengapa Kita Harus Bersedih?

Jika seseorang kehilangan sesuatu yang berharga, tentu ia akan merasa sedih. Maka, kehilangan Ramadhan—bulan yang penuh dengan rahmat dan keutamaan—seharusnya membuat hati kita pilu. Seperti disebutkan dalam Durratun Nasihin:

فأي مصيبة أعظم من ذهاب رمضان؟ فإذا بكت السموات والأرض لأجلنا فنحن أحق بالبكاء والتأسف لما تنقطع عنا من هذه الفضائل والكرامات.
(Durratun Nasihin, hlm. 11 | Pustaka Islamiyah)

Artinya: “Musibah apa yang lebih besar daripada perginya bulan Ramadhan? Jika langit dan bumi menangis karena kepergiannya, maka kita lebih berhak untuk menangis dan menyesal atas terputusnya keutamaan serta kemuliaan yang ada di dalamnya.”

Namun, tangisan dan kesedihan kita atas perginya Ramadhan tidak boleh berhenti di air mata. Kesedihan ini harus menjadi pelecut semangat agar kita tetap istiqamah dalam kebaikan. Jangan biarkan amalan-amalan yang telah kita bangun di bulan Ramadhan luntur begitu saja setelah ia pergi.

Tentang Kitab Durratun Nasihin

Untuk diketahui, pengarang kitab Durratun Nasihin adalah Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi. Sebagian kalangan menyebutnya Al-Khubawi atau Al-Khubuwi, yang wafat pada tahun 1824 M. Nama lengkap kitab ini adalah Durratun Nasihin fi al-Wa’zhi wa al-Irsyad, yang ditulis sekitar abad ke-13 Hijriah.

Menjaga Semangat Ramadhan di 11 Bulan Berikutnya

Ramadhan memang akan pergi, tetapi semangat Ramadhan tidak boleh ikut hilang. Kita harus terus menjaga ibadah, memperbanyak doa, serta meningkatkan amal kebajikan di bulan-bulan setelahnya. Jangan sampai kita hanya menjadi hamba Allah di bulan Ramadhan, lalu kembali lalai setelahnya.

Semoga Allah menerima amal ibadah kita selama Ramadhan dan memberikan kita kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan penuh berkah ini di tahun mendatang. Aamiin.***