BALI, (KAPOL).- Industri kopi saat ini termasuk salah satu industri yang sedang “sexy,” luas sekali penggunaannya. Sehingga orang dapat memanfaatkan ruangan tersisa di halaman rumahnya saja yang hanya berukuran 3×3 meter persegi.
Mengingat semua mesin yang dipergunakan di warung kopi modern, lebih luas kafe, saat ini menggunakan listrik, sehingga pasokan listrik sepenuhnya mendukung perkembangan ekonomi kreatif.
Ketua Penyelenggara Festival Kopi, Pambudi Prasetyo mengatakan, sejalan dengan tema Electricity Lifestyle, yang mengemuka dalam penyelenggaraan Bali Collection Festival 2019 (BCF 2019), pihaknya bertujuan memperkenalkan dan menggabungkan antara kemampuan seniman lokal setempat, dengan keindahan Bali beserta kuliner, dan tampilan produk kerajinan lokal kepada para wisatawan yang berkunjung ke Bali.
“Agustus adalah musim puncak kunjungan turisme kedua di Bali setelah Idul Fitri, sehingga kami menyelenggarakan event yang sudah berlangsung selama 5 tahun ini. Dimana di dalamnya kami masukkan event Festival Kopi,” jelas Pambudi.
Data dari Ditjen Industri Agro Kemenperin menyatakan, pertumbuhan konsumsi produk kopi olahan dalam negeri meningkat rata-rata 7 persen per tahun.
Pertumbuhan ini didorong oleh bertumbuhnya masyarakat kelas menengah dan perubahan gaya hidup masyarakat.
Indonesia adalah negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Ini menjadi potensi pengembangan industri pengolahan kopi di dalam negeri.
Produksi kopi indonesia sekitar 639.000 ton tahun 2017 atau 8 persen dari produksi kopi dunia dengan komposisi 72,84 persen merupakan kopi jenis robusta dan 27,16 persen kopi jenis arabika.
Pada Festival Kopi yang berlangsung 16 – 18 Agustus 2019 di Nusa Dua, Bali, ditampilkan sejumlah acara, seperti perbincangan dan pengetahuan tentang kopi, serta pameran kopi yang menampilkan potensi kopi dari seluruh Indonesia.
Di sini para pengunjung dan investor dapat saling mingle, ataupun juga berkomunikasi langsung dengan para petani atau pemilik kebun kopi, demo sangrai (roasting) kopi, dan menyaksikan langsung buyer’s cupping.
Acara yang diikuti 48 booth ini, menampilkan wakil dari pemerintahan, market place, lembaga pembiayaan dan perbankan, serta para pemain di bidang industri perkopian.
Partisipan dalam pameran antara lain Kementerian Perindustrian, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Bandung,Terminal Coffee (binaan Pemda setempat), Kopi Nusantara, Coco Group, Tropical Group, Prada Group, The Paon Group, serta sejumlah pemilik brand kopi kekinian.
PT PLN (Persero) sebagai salah satu pengisi stand, juga mendukung bertumbuhnya industri kopi di Indonesia, melalui pemberian pelatihan dan penanaman kopi lewat anak perusahaannya Unit Pembangkit Mrica PT Indonesia Power di Desa Pengundungan dan Desa Krinjing, Jawa Tengah.
Melalui program CSR-nya dapat membawa dua kelompok petani Kopi Senggani dari Kelompok Tani (Poktan) Rising – Desa Pengundungan dan Kopi Krinjing dari Poktan Bumi Asih memberi nilai tambah bagi para anggota Poktan dan juga industri terkaitnya.
Menurut Pambudi, luasnya penggunaan listrik dimulai sejak dari kopi tersebut ditanam sampai siap diminum.
Proses penanaman kopi tidak hanya membutuhkan energi secara intensif, baik digarap dengan sistem tanam sederhana ataupun yang menggunakan mesin (mekanisasi pertanian).
Faktanya, hampir 60 persen energi yang dipergunakan untuk menghasilkan secangkir kopi, terutama terletak pada sisi distribusi (pengangkutan), roasting (proses sangrai), dan penyeduhan (brewing) kopi.
Mesin roasting beroperasi pada suhu temperatur 550 derajat Fahrenheit, dan setiap satu jam menghabiskan sekitar 1 juta BTU (British Thermal Unit). Dari semua proses, penyeduhan kopi yang membutuhkan energi paling besar.
Menggabungkan antara panas dari energi listrik itulah yang masuk dalam seni dan energi penyediaan kopi, termasuk berbagai mesin penyeduhnya.
Secara total energi yang dipergunakan untuk menghasilkan 100 mililiter kopi setara dengan 1,94 megajoules, atau setengah KwH.
Hal senada juga dikemukakan Ketua Indonesian Barista Association (IBA) Bali, Nyoman Suweca, yang secara organisasi berada di bawah Indonesian Food and Beverage Association Commitee (IFBAC) Bali.
Menurut dia, untuk mendirikan coffee shop kekinian yang menampilkan frame mural yang menarik, dengan investasi lampu, meja dan kursinya, serta sekitar 4 jenis mesin untuk membuat kopi diperlukan investasi awal berkisar antara Rp100 – 150 juta.
Biasanya satu coffee shop juga minimal mempekerjakan antara 4 -5 orang, termasuk barista dan waiter (pramusaji).
“Investasi terbesar adalah pada harga mesin-mesin seperti coffee grinder (mesin giling kopi), mesin espresso, french press (alat penghilang ampas kopi), milk steamer, dan kulkas untuk menyimpan susu dan campuran bahan kopi lainnya (chest freezer),” jelas dia.
Sebab harga satu jenis mesin saja berada sekitar Rp35 – 50 juta; kemudian juga jenis kopi yang banyak disukai saat ini adalah jenis kopi premium, yakni specialty coffee (jenis kopi khusus yang tumbuh di daerah tertentu).
Istilah specialty coffee merujuk pada kopi yang memiliki cupping test score di atas 80 poin. Penilaian ini berdasarkan aroma dan rasa yang khas dan istimewa di atas kopi rata-rata pada umumnya.
Berdasarkan data Kemenperin, Indonesia juga memiliki berbagai jenis kopi specialty yang dikenal di dunia, termasuk kopi luwak dengan rasa dan aroma khas sesuai indikasi geografis yang menjadi keunggulan Indonesia.
Hingga saat ini, sudah terdaftar 22 Indikasi Geografis (IG) untuk kopi Indonesia, di antaranya Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Toraja, Kopi Robusta Puputan Bali, Kopi Arabika Sumatera Koerintji, Kopi Liberika Tungkal Jambi, dan Kopi Liberika Rangsang Meranti.
Di bidang usaha coffee shop, daya listrik setiap jenis mesin berbeda-beda, bervariasi antara 1.200 watt sampai 1.300 watt, di luar daya boiler.
Biasanya setiap venue memiliki minimal 4 jenis mesin, serta pendingin ruangan (AC) sehingga untuk menyediakan daya listrik beserta spare daya tersedia, mereka perlu menyediakan sekitar 10.000 watt. (Aris Mohamad F/rls)***