“Semua Amal anak Adam akan Kembali kepada dirinya sendiri kecuali Puasa. Puasa itu untukKU dan AKU sendiri yang akan membalasnya” HR. Bukhari Muslim
Hari ini Jumat 24 April 2020 kita sudah mulai menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1441 Hijriah. Puasa Ramadan kali ini terasa berbeda. Karena berada dalam suasana wabah pandemi corona. Secara nasional bahkan dunia.
Guna menanggulangi dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Pemerintah mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa membentuk gugus tugas penanggulangan dan berbagai aksi dan langkah-langkah kebijakannya.
Kebijakan dan anjuran pemerintah untuk #Hindari Kerumunan #Jaga jarak #Physical Distancing #Larangan Mudik # Selalu Pake Masker #Membiasakan cuci tangan dan berbagai upaya menanggulangi dampak ekonomi dan sosialnya.
Segala situasi dan kondisi itu sangat terasa jika dikaitkan dengan ibadah ramadhan kali ini. Suasana sosial ekonomi masyarakat begitu melorot. Diksi munggahan, mudik, bahkan ibadah taraweh berjamaah juga menjadi sesuatu yang traumatik dan paranoid bagi sebagian publik. Apalagi MUI juga mengeluarkan anjuran untuk menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya seperti taraweh dan tadarus Alquran di rumah saja.
Wabah Covid19 yang merenggut ratusan nyawa dan ribuan positif dan di rawat tapi juga pasien sembuh semakib menunjukan trend peningkatan yang luar biasa.
Kita meyakini sepenuhnya bahwa jika pemerintah melakukan upaya dan langkah-langkah yang tepat, masyarakat juga taat dan patuh serta disiplin dengan anjuran pemerintah dan protokol kesehatan penanganan covi19, maka semua keadaan ini akan berlalu.
Apalagi dengan dimulainya pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Kita seharusnya dapar menangkap makna ibadah puasa itu sendiri dalam konteks upaya penanggulangan covid19.
Ibadah puasa inti halikatnya adalah menahan diri. Dalam bahasa agama istilahnya Imsyak. Definisi Secara sederhana adalah bagaimana kita menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang akan membatalkan ibadah puasa itu sendiri seperti makan, minum, hubungan suami istri dan lainnya semenjak terbit fajar hingga terbenar matahari. Semenjak masuk waktu shubuh hingga datang waktu maghrib.
Hakikat ibadah puasa itu adalah kerelaaan untuk Iman akan perintah Allah untuk ibadah puasa, rela dan ikhlas menderita haus dan lapar dalam batas waktu tertentu, rela menderita untuk mengembalikan nilai kemanusiaan sejati kita agar emphaty dab peduli terhadap sesama melalui makna kelaparan dan kehausan.
Lapar haus ibadah puasa kita berbatas hingga datang magrib, berbatas hingga selesai 30 hari kita melaksanakannya. Hingga selesia kita menggapai Iedul Fitri Hari Kemennagan dan Kesucian. Saat kita kembali menjadi pribadi yang bersih dan suci terbebas dari segala noda dan dosa.
Kesamaan Corona dan Ibadah puasa dalam hal bagaimana kita sama-sama mampu menderita, menahan diri untuk stay safe stay at home, belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan kalaupun terpaksa keluar rumah selalu memakai masker dan cuci tangan.
Ketaatan untuk menahan diri, adalah sejatinya hakikat ibadah puasa dan juga upaya penanggulangan covid-19. Sehingga dalam sebulan Ramadhab ini kita berharap si covid-19 ini segera berlalu dari bumi ini.
Melalui ibadah puasa sebulan penuh kita mendekatkan diri kepada Alloh, mengakui akan betapa lemahnya kita sebagai mahluk dan betapa kuasa dan perkasanya sang Khalik.
Puasa kita, sholat kita, tadarrus Alquran kita, lirih rintih jeritan dan air mata do’a kita di bulan mulia ini, semoga menjadi jalan segera berlalunya penderitaan sosial kita saat ini.
“Tiga kelompok yang tidak akan di tolak do’anya: orang yang berpuasa hingga ia berbuka, Imam yang adil dan orang yajg di dzalimi ” HR. Ahmad dan Tirmidzi.
Mari terus berdoa agar puasa kita membebaskan noda dan dosa kita. Agar virus corona juga segera musnah binasa, agar kehidupan kita kembali normal dan biasa. Belajar, bekerja dan bercengkrama dengan keluarga tercinta. Sebagaimana kemarin kira melewati dan melaluinya bersama.
Ketua LTN NU Kab Tasikmalaya
mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Unpas Bandung