Oleh Dinar Amanda
Mahasiswa Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam proses pemilu 2024. Dari sistem pencalonan hingga kampanye politik, teknologi digital dan media sosial kini menjadi sarana utama bagi partai politik, calon legislatif, dan calon presiden untuk berinteraksi dengan pemilih. Namun, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan teknologi, ada sisi gelap yang perlu diwaspadai. Potensi manipulasi dan penyalahgunaan informasi.
Menyikapi hal ini, kita perlu menilai secara objektif bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan dengan bijak dalam Pemilu 2024. Serta bagaimana risiko manipulasi dapat dikendalikan.
Teknologi memberikan kemudahan yang luar biasa dalam mempercepat alur informasi selama pemilu. Salah satu contohnya adalah sistem e-voting yang dapat mempercepat proses penghitungan suara dan mengurangi potensi kecurangan. Di samping itu, media sosial menjadi platform yang memungkinkan pemilih untuk dengan mudah mengakses informasi tentang calon dan program-program yang diusung oleh para kandidat. Melalui media sosial, kampanye politik dapat dilakukan lebih langsung dan lebih merata. Mencapai pemilih yang sebelumnya terisolasi atau kurang terjangkau oleh media konvensional.
Lebih jauh lagi, teknologi memungkinkan pemilih untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi. Dengan menggunakan aplikasi dan platform daring, mereka bisa lebih mudah memperoleh informasi. Baik terkait partai, calon legislatif, atau calon presiden yang akan mereka pilih, maupun memberikan masukan langsung kepada para kandidat. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas partisipasi pemilih, khususnya di kalangan generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.
Penggunaan data besar (big data) dan analitik memungkinkan partai politik dan calon untuk lebih memahami karakteristik pemilih dan merancang strategi yang lebih tepat sasaran. Melalui analisis data pemilih, kampanye dapat lebih terarah, memungkinkan komunikasi yang lebih personal dan relevan. Teknologi ini dapat mempercepat proses demokrasi dengan membuatnya lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Risiko
Namun, dengan segala kemajuan yang ditawarkan teknologi, kita tidak bisa mengabaikan risiko-risiko yang menyertainya. Salah satu risiko terbesar adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks. Media sosial sering digunakan untuk menyebarkan narasi yang menyesatkan. Baik dengan tujuan mendiskreditkan calon tertentu maupun untuk memecah belah opini publik. Dalam beberapa kasus, hoaks bisa sangat efektif dalam memengaruhi keputusan pemilih. Terutama jika disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan sulit untuk dilacak.
Salah satu contoh nyata dari bahaya hoaks dalam politik adalah bagaimana berita bohong atau disinformasi dapat dengan cepat viral dan mengubah persepsi masyarakat tentang calon tertentu. Dengan algoritma media sosial yang mendukung konten yang banyak dibagikan, hoaks yang menarik perhatian atau menimbulkan emosi. Seringkali lebih mudah ditemukan oleh banyak orang, meskipun berisi informasi yang tidak benar. Ini bisa merusak kualitas pemilu dan membuat pemilih membuat keputusan berdasarkan informasi yang keliru.
Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan manipulasi suara atau cyber attack terhadap sistem pemilu. Kasus peretasan dan pemanipulasian data bukanlah hal baru, dan ancaman terhadap sistem e-voting atau platform digital lainnya patut menjadi perhatian. Dalam Pemilu 2024, kita harus mewaspadai potensi serangan dunia maya yang dapat merusak integritas pemilu dan mempengaruhi hasil secara tidak sah. Keamanan siber yang lebih kuat perlu diterapkan di setiap tahap pemilu, dari pencalonan hingga penghitungan suara.
Selain manipulasi suara, ada juga potensi penyalahgunaan data pemilih. Jika data pribadi pemilih jatuh ke tangan yang salah, bisa digunakan untuk memanipulasi pilihan mereka melalui iklan politik yang sangat terarah. Bahkan upaya manipulasi perilaku yang lebih halus. Dalam skala yang lebih besar, ini bisa mengarah pada pengaruh yang tidak sah terhadap proses demokrasi.
Menjaga Keamanan Pemilu
Untuk mengoptimalkan potensi positif dan mengurangi risiko manipulasi, kolaborasi antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sangat penting. Pertama, regulasi yang ketat terhadap penggunaan teknologi dalam kampanye politik perlu diterapkan. Pemerintah harus memastikan bahwa data pribadi pemilih terlindungi dengan baik dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik. Regulasi yang mengatur iklan politik online dan transparansi dalam pengumpulan data pemilih harus ditingkatkan agar pemilu tetap adil dan bebas dari campur tangan pihak luar.
Pendidikan media harus menjadi bagian penting dalam proses pemilu. Pemilih perlu dibekali dengan keterampilan untuk memverifikasi informasi yang mereka terima dan tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu. Kampanye literasi digital yang melibatkan masyarakat luas bisa menjadi langkah awal. Untuk menciptakan pemilih yang cerdas dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan.
Penyelenggara pemilu juga harus meningkatkan kapasitas teknologi mereka untuk mencegah manipulasi. Hal ini termasuk memperkuat sistem e-voting, memastikan transparansi dalam proses penghitungan suara, dan menyediakan mekanisme pengawasan yang independen. Dengan demikian, teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pemilu tanpa mengorbankan integritasnya.
Lebih lanjut, masyarakat juga harus dilibatkan dalam pengawasan. Partisipasi masyarakat dalam memantau jalannya pemilu, misalnya melalui gerakan pengawasan pemilu berbasis teknologi, dapat meningkatkan akuntabilitas. Platform berbasis teknologi yang memungkinkan pemilih melaporkan kecurangan secara langsung. Atau melacak data hasil pemilu dapat membantu mencegah tindakan manipulatif.***