OPINI

Kota Jago Politik

×

Kota Jago Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh Ihya M Kulon

 

Tasikmalaya menjadi salah satu wilayah di Nusantara yang mendapat sebutan “Mutiara Dari Priangan Timur” –selain Pulau Maluku dan Papua–, yakni sebutan bangsa Eropa untuk suatu daerah di Indonesia yang banyak sekali memiliki rempah-rempah yang sangat laku di pasar Eropa.

Selain itu dijuluki “Delhi Van Java”, karena masyarakat Tasikmalaya suka sekali menari, menyanyi, dan berlari (olahraga lari pagi), disamping kontur jalan yang naik-turun serta berkelok-kelok dengan pemandangan alam perbukitan yang indah, mirip yang ada di Delhi, India.

Bukan hanya itu, secara keseluruhan Tasikmalaya disebut “Kota Seribu Bukit”, karena di masa lalu banyak bukit-bukit batu dan pasir yang terhampar di seluruh area wilayahnya; Disebut pula “Kota Santri”, karena menurut data memiliki jumlah pondok-pondok pesantren terbesar di dunia;

Lalu disebut “Kota Koperasi”, karena pertama kali Kongres Pertama Koperasi Indonesia diselenggarakan di Tasikmalaya pada 12 Juli 1947, dengan bukti adanya Tugu Koperasi;

Banyak lagi sebutan yang disematkan untuk Tasikmalaya, seperti “Kota Batik”, “Kota Bordir”, “Kota Kelom Geulis”, “Kota Literasi”, “Kota Dangdut, “Kota Kredit”, “Kota Cemilan/Kuliner”, dan bahkan ada yang menyebut sebagai “Kota Penyair”, karena banyaknya orang Tasikmalaya yang suka bersyair.

Bermacam-macam sebutan atau julukan bagi Tasikmalaya menandakan besarnya potensi sumber daya baik alam maupun manusianya.

Pilihan Kawasan
Baru kemudian sejak ditetapkan berdirinya Kota Tasikmalaya pada tanggal 17 Oktober 2001 lalu dengan melepas dari induknya Kabupaten Tasikmalaya melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, selanjutnya visi Kota Tasikmalaya yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Tasikmalaya 2005-2025, menyatakan “Dengan Iman dan Takwa Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Perdagangan dan Industri Termaju di Jawa Barat”, yang harus diterjemahkan dalam suatu rencana pengembangan kota melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2031.

Pilihan acuan Kota Tasikmalaya menjadi Kawasan Industri tidak begitu saja dapat diterima oleh banyak kalangan ketika itu. Karena dirasa aneh. Dianggap tidak cukup berdasar. Tidak sesuai dengan sebutan sebagai “Kota Santri” yang utama.

Sejak saat itu, tidak sedikit tulisan-tulisan yang menentang visi yang dianggap mimpi para pejabat baru Kota. Wilayah Kota yang tidak cukup luas dianggap tidak memungkinkan untuk disulap menjadi Kawasan Industri seperti di daerah Pulogadung, Jakarta; Bekasi dan Karawang, Jawa Barat; Surabaya dan Pasuruan, Jawa Timur; dan beberapa daerah lainnya.

Walau di satu sisi diakui, dengan adanya Kawasan Industri dipastikan dapat menyerap tenaga kerja secara besar-besaran, hingga menjadi solusi berkurangnya tingkat pengangguran masyarakat. Namun disisi lain, keberadaan Kawasan Industri akan banyak yang dikorbankan baik dibidang sosial dan kebudayaan, serta akan menggerus identitas masyarakat Tasikmalaya yang religius.

Pada umumnya, banyak kalangan yang mensarankan agar Kota Tasikmalaya diarahkan untuk dijadikan Kawasan Pendidikan. Itu lebih tepat dan masuk akal, mengingat sejarah panjang wilayah Tasikmalaya yang kaya dengan pondok-pondok pesantren sebagai cikal-bakal berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama formal yang kini sudah berjumlah ribuan.

Tetapi muncul pula gagasan untuk mensandingkan kedua Kawasan, Industri dan Pendidikan menjadi satu. Walau pun dalam kenyataannya nanti salah satu akan lebih unggul.

Jalan Tol
Para pendukung agar Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Perdagangan dan Industri Termaju di Jawa Barat, nampaknya mendapat ‘angin segar’ dengan akan bangunnya Jalan Tol dari Gedebage – Cilacap dalam waktu dekat, dimana empat wilayah kecamatan, Mangkubumi, Kawalu, Tamansari dan Cibeureum, akan dilewati.

Dengan adanya jalan tol dipastikan gairah usaha dan bisnis di Tasikmalaya akan lebih meningkat, akses yang lebih cepat, serta infratruktur pendukung yang akan lebih lengkap.

Karenanya mensiapkan 30% dari luas wilayah Kota untuk Kawasan Industri harus segera ditetapkan. Kebijakan pengembangan stuktur ruang Kota harus segera dibuat, dengan menitikberatkan pengembangan kawasan strategis dari 4 sudut kepentingan: Ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan keamanan wilayah.

Pembangunan kawasan industri diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan daerah Tasikmalaya dan sekitarnya, baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Perkebunan
Latarbelakang kuat pilihan sebagai Kawasan Industri, adalah sejarah antara kurun waktu 1832-1945 Tasikmalaya tumbuh sebagai sebuah Kota terpenting di daerah Priangan Timur. Yaitu dengan dijadikannya sebagai pusat pemerintahan bentukan kolonial karena letaknya yang strategis.

Ditambah lagi di seluruh wilayah Tasikmalaya terdapat tidak kurang dari 11 lahan perkebunan kolonial, dan menjadi yang terbanyak di seluruh Indonesia.
Maka tidak salah jika Tasikmalaya disebut sebagai “Kota Perkebunan”. Bahkan dengan banyak perkebunan itu tidak salah pula bila disebutkan sebagai “Kota Nyai-Nyai Belanda”

Kemudian antara tahun 1912-1926 Pemerintah Kolonial membangun pasar Tasikmalaya secara bertahap, hingga pasar Tasikmalaya merupakan yang paling besar di Priangan Timur. Berbagai produk ekonomi diperdagangkan, mulai dari hasil pertanian, perikanan, perkebunan, kerajinan, dan kebutuhan masyarakat lainnya.

Perkebunan, perdagangan barang dan jasa memegang peran penting pada perkembangan jantung perekonomian Tasikmalaya. Selama periode itu berkembang dengan pesat sampai hari ini. Maka wajar jika dahulu pasar diberi nama pasar Ageung (Besar).

Di samping banyaknya perkebunan, yang penting dicatat di sini, pusat kota Kecamatan Manonjaya dulunya merupakan markas militer Belanda, dimana nama asalnya adalah “Wangunjaya’, yang artinya “Markas Besar Militer”. Sampai saat ini kawasan di seberang Masjid Agung Manonjaya masih sering disebut ‘tangsi” (asrama tentara), dengan dua “patrol” (pos jaga) di batas ke arah Kota Tasikmalaya dan di arah batas jalan ke Cineam.

Dampak
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia dimana manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih rasional, atau setiap tindakan didasarkan atas pertimbangan  dan perhitungan efisiensi. Tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan, atau tradisi.

Industrialisasi telah menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi modern dan pesatnya peningkatan pendapatan masyarakat. Selain menimbulkan dampak positif terhadap perekonomian satu sisi, industrialisasi juga menyebabkan dampak negatif disisi lain.

Dampak positif industrialisasi yang terpenting dapat memutus lingkaran kemiskinan, dapat meningkatkan pendapatan daerah, standar hidup yang tinggi, stabilitas ekonomi, kemajuan sektor lain, meningkatkan peluang kerja, dan spesialisasi pekerjaan lebih beragam. Sedang dampak negatif industrialisasi, terjadinya urbanisasi, eksploitasi tenaga kerja, pencemaran lingkungan, dan adanya perubahan pada struktur keluarga.

Pendidikan
Harapan Kota Tasikmalaya akan menjadi “Kota Pendidikan” muncul kepermukaan setelah status Universitas Siliwangi (Unsil) menjadi negeri, dimana daerah kecamatan Cibeureum yang diperuntukkan menjadi satu kawasan pendidikan nantinya.

Untuk menjadikan Kota Pendidikan harus merujuk kepada pengembangan kota baru yang difungsikan sebagai kota pendidikan. Karena Kota pendidikan merupakan suatu kota yang mempunyai fungsi dan identitas khusus.

Paling tidak, suatu kota pendidikan harus didesain untuk memenuhi kriteria-kriteria, sebagai berikut: Dari segi institusi, harus sudah terdapat institusi-institusi pendidikan yang mampu menjadi faktor pendorong kesatuan dengan lingkungan sekitar; dari segi fungsi kegiatan, memiliki fungsi kegiatan sosial-ekonomi dan usaha yang berkaitan dengan pendidikan.

Dari segi sosial-budaya, dilakukan beragam upaya pensatuan fungsi pendidikan dengan pola sosial-budaya yang ada, seperti melalui pendekatan sektor agama atau kesenian daerah; dari segi ekonomi, dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi untuk perkembangan di sekitarnya; dan dari segi lingkungan, kemampuan kota tersebut untuk mensatukan unsur-unsur yang ada di dalam kota tersebut.

Di Indonesia belum ada kota yang secara khusus direncanakan untuk suatu kota pendidikan. Kalaupun ada, itu hanyalah sebutan yang disandang oleh suatu kota karena banyaknya lembaga pendidikan yang ada di kota tersebut. Merumuskan suatu konsep atau rencana kota pendidikan bukanlah yang mudah.

Fakta-Fakta
Tidak sedikit kalangan lebih antusias –bahkan begitu emosional– mendorong serta mewujudka Kota Tasikmalaya membuka lahan baru untuk kawasan pendidikan. Tidak sedikit fakta-fakta sejarah yang menjadi latarbelakang kuat pantasnya Kota Tasikmalaya menjadi Kota Pendidikan, ketimbang menjadi Kota Industri.

Sejarah pertumbuhan hingga perkembangan pondok-pondok pesantren sebagai lembaga-lembaga pendidikan informal masyarakat pada awalnya, yang kemudian terus menjamur dan membentuk lembaga-lembanga pendidikan formal, menjadi bukti potensi yang tidak bisa diabaikan.

Kemudian, yang dilupakan masyarakat Tasikmalaya dewasa ini, dalam bukunya berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinesen menunjukan bahwa Pesantren Wanita Pertama itu ada di Tasikmalaya, dengan pendirinya Ibu Zakiyyah –yang dilanjutkan oleh penerusnya Hj. Nonoh Hasanah–, yang berada di daerah Condong saat ini. Namun sayangnya kedua tokoh besar wanita ini dilupakan. Padahal sudah sepantasnya nama keduanya dijadikan “nama jalan”.

Bruinessen juga menujukan bahwa dulu Toko Buku Cairo di Pasar Cihideung, merupakan penerbit kitab-kitab kuning terbaik dan terbesar di Indonesia. Namun sayangnya sekarang ini hanya menjadi toko yang kecil saja. Bahkan dicatat, dunia literasi di Tasikmalaya sudah jauh ada.

Majalah-majalah serta penerbitan karya-karya para kyai seperti buku-buku nadoman (syair-syair) berbahasa Sunda sudah dikenal. Tidak salah jika kemudian ada pihak yang menyatakan Tasikmalaya pernah menjadi “Kota Literasi”.

Fakta-fakta tersebut yang menjadi tolak-ukur banyak pihak yang ingin Pemerintah Kota Tasikmalaya mengarah pada pembangunan kawasan pendidikan.

Kota Jago Politik
Para antropolog menyatakan, secara geneologi “Orang Sunda –khususnya Orang Tasikmalaya– tidak lebih dekat dengan saudara mereka dari Jawa Tengah. Justru Orang Sunda lebih dekat dengan Orang Sumatera, yakni suku bangsa Melayu, yang memiliki karakter dan kepribadian yang khas. Salah satu yang khas adalah ‘keras kepala’.

Kemudian secara geografis yang dihubungkan dengan kepemimpinan, konstur tanah di Jawa Barat yang berupa pengunungan, menjadikan suatu komunitas masyarakat yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok, hingga kepemimpinan di suatu tempat hanya dihargai oleh komunitas masyarakatnya saja. Kecil sekali kepedulian dari komunitas masyarakat di tempat lain.

Dua fwktor itu yang –boleh jadi– membentuk karakter Orang Sunda Tasikmalaya menjadi orang-orang yang tangguh dalam berdagang, disamping dukungan kekayaan alam yang tersedia. Hingga hebatnya dalam soal berdagang, Orang Sunda Tasikmalaya disederajatkan dua suku bangsa yang sama hebatnya dalam bidang dagang, yakni Orang Cina dan Orang Padang.

Ada pameo mengatakan, “Cinanya dunia itu Orang Cina, Cinanya Indonesia itu Orang Padang, dan Cinanya Jawa Barat itu Orang Tasikmalaya”.

Ketiga suku bangsa ini diakui sebagai padagang yang handal. Tidak jarang di lapangan ketiga jenis orang ini saling bersaing keras bahkan terjadi konflik.

Ada kesamaan yang dimiliki oleh ketiga jenis orang ini: Ulet dan tangguh, hemat (cenderung pelit), suka mensingkat-singkat kalimat jika bicara (misal Tasik, “mau ke HZ”, “menginap di WK”, “beli garfit”, dll; Padang: “Be kama ko ha ?” {mau kemana kamu pergi ?}, “bile ?” {kapankah itu ?}, dll; Cina, “Hayyaa” {ah kok begitu}, dll) gengsi tinggi, takhayul tinggi, dan cerdas. Dari kesamaan yang dimiliki oleh ketiganya, para ahli antropologi mensimpukan bahwa ketiga jinis orang ini kuat dan Jago di dunia politik.

Tasikmalaya, 14 Oktober 2020