Oleh Amang S. Hidayat )*
Butuh waktu yang tak sedikit untuk menakar kegelisahan. Ketika mencoba mengingat kembali apa yang dapat dicatat dari pengalama hidup di tengah kota baru.
Membaca kembali Kota Tasikmalaya dengan bercermim pada sudut-sudut kampung, gang-gang becek, bukit-bukit gundul, sawah kering, bak sampah, gedung bertingkat, etalase toko, hiruk-pikuk kesibukan penghuninya, yang makin tak ramah.
Barangkali secara acak tersimpan penggalan-penggalan kenangan, yang membekas bisa jadi membentuk karakter masarakat Kota Tasikmalaya ini.
Membaca jejak Tasikmalaya dari ruang kosong dengan wawasan alakadarnya, Tasikmalaya seperti jeruji penjara atau rumah tua dengan atap bocor dihuni pesakitan, bagaimana Tasikmalaya dalam sudut pandang mata berkaca-kaca bocah terlantar, anak pengemis di kisaran masjid agung.
Apa pendapatnya tentang kota ini, atau sudut pandang anak sekolah, siswa siswa naka, dan geng motor, yang menuliskan kemarahan dan ketidakpuasannya menjadi coretan di dinding atau grafiti protes sebagai bentuk ekspresi yang dianggap melumuri wajah kota dengan bikin malu keluarga dan almamaternya.
Atau mencoba menerjemahkan Tasikmalaya, dalam pemikiran para koruptor yang tanpa perasaan bersalah, merampok uang rakyat yang diperuntukan pembangunan sarana umum atau kepentingan sosial lainnya. Entahlah. Mungkin Tasikmalaya seperti sebuah catatan yang disusun secara serampangan.
Lalu bagaimana Tasikmalaya dalam sudut pandang para santri. Konon katanya kota ini adalah Kota Santri, padahah bukan lagi rahasia umum, kota ini hanya kedatangan santri, puluhan pesantren di kisaran Kota Tasikmalaya. Santrinya kebanyakan para pendatang dari kota lain.
Tasikmalaya seperti buku harian usang yang catatannya itu-itu saja. Bagaimana pembangunan hanya berkisar pada pembangunan yang dirancang para pengembang sulwasta pendatang. Atau etnis tertentu yang membangun kota menjadi pusat perdagangan, glosir.
Sedang pembangunan yang inisiatifnya datang dari pemerintah bisa dihitung dengan jari. Bahkan bangunan sarana pemeritahan pun masih berkutat pada bagaimana berebut aset antara kota dan kabupaten, yang proses tukar gulingnya saja masih tumpang-tindih antara kepentingan politik dan golongan semata.
Lalu bangunan-bangunan yang memiliki histori sejarah diperjualbelikan atau dibiarkan terbengkalai, bahkan hancur dimakan usia.
Tasikmalaya seperti potret usang pada sobekan arsip koran harian di pedagang kaki lima, bercampur dengan majalah porno dan catatan utang-piutang, di mana kebijakan dan perda yang bertebaran menjadi slogan yang relevansinya masih bisa diperdebatkan.
Misalnya, perda pornografi, dalam aksinya , mestinya tidak melulu memonis atau merajia pergaulan bebas atau PSK yang berkeliaran di taman taman kota.
Tapi hal porno mestinya juga bisa diterapkan jika tampa rasa malu para birokrat memfasilitasi yayasan-yayasan gaib, atau LSM yang tak jelas kiprahnya.
Bahkan, memberi citra buruk di tengah masyarakat dan berkeliaran hampir di tiap instasi. Melakukan transaksi proyek dengan keuntungan terselubung atas nama pemberdayaan masarakat
Selalu ada garis dosa, bolong-bolong dan cacat di setiap progam yang diluncurkan pemerintah, yang membuat meringis rakyat miskin, BLT, PKH yang bermasalah pendataannya, pembagian beras raskin dengan kulitas pakan ternak, perencanaan dan pelaksanaan program kampung madani yang tak jelas juntrungnya, bedah rumah yang jadi proyek sunat anggaran, atau berbagai program pemberdayaan yang justu makin mempertegas bahwa rakyat miskin makin tak berdaya.
Apalagi di tengah pandemi seperti saat ini,di mana segala jenis aktivitas serba dibatasi.
Tasik oh Tasikmalaya, lama-lama makin tak asyik, kota yang dulu berjuluk Kota Resik. Kini mejadi kota konflik, dimana kepentingan-kepentingan sesaat berseliweran, seperti sebuah jerat jaring-jaring kekuasaan yang samar-samar mengendap ngendap memberi ancaman, di tengah-tengah rakyat yang selalu dituntut harus siap ditumpahdarahkan tanah air, sementara lahan penghidupan sudah lama dikebiri.
Program kota yang selalu didengung-dengungkan di mimbar-mimbar diskusi seminar dan perhelatan politik, rakyatnya hanya sekadar wayang yang dipermainkan para dalang untuk sekedar pemuas napsu serakah.
Rakyat yang biasa diumbar mulut-mulut politikus diperjualbelikan partai dan propaganda para elit. Rakyat yang senantiasa dicabuli para koruptor, hanyalah sekumpulan rakyat yang dimiskinkan kebijakan.
Yang terbaca dari kota yang mengapung mengawang-ngawang, sebelum kemarahan rakyat yang mengandung bom tak terbendung menjadi letusan waktu,bseperti masa lalu yang suram di mana gambaran api, batu, dan reruntuhan perebutan kekuasan, atau konflik SARA meledak jadi bencana kemanusiaan.
Bacalah Tasikmalaya, ada suara dari sisa arak oplosan, tulang kering para pemulung di pasar-pasar tradisional, di cerobong asap pabrik, ada pesan dari suara para buruh, keluh kesah tukang beca, pedagang kaki lima yang selalu waswas lapak dagangannya digusur, sopir angkot yang kehilangan penumpang, tukang ojeg pangkalan, atau buruh tani yang kehilangan pekerjaannya karena sawah sawah garapannya diurug jadi perumahan, kuli bangunan yang honornya disunat mandor, atau pengemis dan anak jalanan. Bagaimana kabar kesehatan pengepul sampah plastik di TPA?
Bacalah Tasikmalaya, wahai para penentu kebijakan, dengan sepenuh hati, di mana kota seribu bukit jadi seribu sakit, nama-nama genung terpartri jadi monumen perkampungan penduduk, perambahan bukit-bukit galian pasir yang meninggalkan limbah industi, di setiap kelokan sungai sungai dan dan selokan yang tersumbat sampah, bacalah dengan sepenuh hati, dengan belalak mata atau bacalah dengan diam-dian sambil berpikir atau sekadar berzikir, akan seperti apa kelak kota ini?
Ketika papan-papan iklan, reklame atas nama PAD membiarkan paru-paru kota diganti dengan pohon-pohon plastik yang seolah-olah merias wajah kota jadi etalase imitasi.
Wajah kota yang coreng-moreng menjarah mata anak-anak kita, hatinya diimami tehnologi kapitalis, mencitai Tasikmalaya seperti mengiris jari di ulu hati
Membaca KotaTasikmalaya dengan sampul mukanya Kota Santri, lembaran sejarahnya mengusam dalam kubangan darah para suhada, kota tanpa musium yang dapat memandu anak cucu belajar pada pengorbanan para pahlawan.
Namanya hanya dipajang jadi etalase jalan yang makin kumuh, KH. Zaenal Musthafa, SL Tobing, dr. Sukarjo, Dewi Sartika, Tanu lwijaya, RE. Martadinata , Ir Haji Djuanda, Tentara Pelajar, Veteran dan yang lainnya, hanya jadi lebel jalan.
Sedang para penghuninya para cukong yang bercokol, anak-anak pribumi hanya jadi pramusaji.
Memandangi patung Mak Eroh dan Abdul Rojak di tengah alun-alun yang di arcakan, melihat tugu Kalpataru yang digusur dan dipindahkan ke ujung jalur dua jalan HZ Musthafa Padayungan berdampingan dengan patung simbol yang menurut beberapa kawan dekat seperti paha perawan yang telapak kakinya di balik ke atas.
Lalu menyambangi bundaran semangat perjuangan KH Zaenal Musthafa di ujung jalan bundaran bypass, asma Allah yang dibaluri debu dan asap kenalpot kendaraan yang lewat.
Kemudian berjalan ke bundelaran perempapatan jalan Yudanegara, melihat tugu yang mirip es lilin, lalu berputar kembali menuju perempatan Panyingkiran ujung jalan bypass menuju Indihiang melihat patung payung mirip properti ronggeng monyet.
Selanjutnya mampir di simpang lima di mana tugu selamat datang yang diharapkan memberi citraKota Santri bagi para pendatang, lebih mirip kubah melasjid atau kemaluan laki laki dengan besi berkarat saling-silang entah simbol apaan.
Selanjutnya masuk ke dalam kota di perempatan Nagarawangi. tugu Asmaulhusna yang dikepung megatron dan pernah diranjah megatron video porno, tepat di jantung kota di depan masjid agung taman kota bekas gusuran gedung DPR tampak suram seperti payung-payung besi yang tertutup enggan melindungi warga kepe/anasan atau sekeladar pedagang makanan kaki lima yang kerap kali diusir dianggap menghalangi jalan kendaraan masuk kota, atau sekadar tempat demonstran berorasi setelah Jumatan.
Kemudian bekas gedung bupati yang suram seperti sarang hantu, masih juga ku ingat penangkapan anggota dewan sewaktu pelantikan, atau kala Wali Kota diseret KPK, waktu ditandai kabar pelacur yang disatroni aktiplvis berkedok agama, preman disatroni Satpol PP, geng motor serta pengedar narkoba diseruduk buser
Kita, tentu saja bukan malaikat penyelamat bangsa, Roh Santa Klaus, atau Dewi Fortuna , bukan pula keturunan Dewi Sri, tapi menyadari betul, anak-anak kita tanpa sadar atau mungkingkin saja dengan penuh kesadaran, telah kita rekatkan pada nasib buruk jadi pecundang, di kota yang yang telah lama tergadai pada keserakahan segelintir kekuasaan pengusaha asing yang memutus rahim tanah air dengan penghuni penduduk asli dan kita sebagai keturunan ahli warisnya.
Kota yang digadang-gadang paling maju di Priagan Timur, kota persinggahan, kota pemasaran, di mana mal-mal , super market, swalayan, mini marke, mengepung pasar tradisional sampai ke pelosok perkampungan, nyaris tak dibatasi.
Kemudian bank-bank menjamur, sampai bank emok, namalain dari kosipa atau rentenir moderen, perguruan tinggi swasta betebaran yang anehnya ketika pertama didirikan ada yang sarana perguruan tinggi kuliahnya nebeng atau sewa tempat.
Bahkan ada yang lebih parah dari madrasahi btidaiyahyang kalau didirikan pasti harus ada aset lahan atau bangunan yang dimiliki.
Itulah sebslagian kecil sejarah pendidikan di Tasikmalaya yang memberi dampak tak lebih positif pada perkembangan budaya di tengah masyarakatnya.
Kemudian peristiwa peristiwa budaya, hanya menjadi pertujukan hambar dan ajang propaganda, para pemimpin, perayaan-perayaan yang diadakan pemerintah, terkesan memaksakan diri, cenderung hanya menghabiskan anggaran, dengan tender yang di berikan pada EO yang hanya cari untung dengan memeras para pelaku budaya sesugguhnya, pesta pesta rakyat yang jadi ikon kota, dan rumah rumah industri kreatif seolah dipromosikan dengan even berbasis anggaran APBD.
Festival-festival yang diadakan instansi kebudayaan dan pendidikan hanya berkisar seperrti seremoni penghargaan adu prestasi, yang seolah-olah seperti turut membina mengembangkan atau berdalih memajukan, tapi pada pelaksanaanya, para pelaku budaya, seniman, para peleku industri kreatif, para pekerja seni, hanya dijadikan bemper atau topeng kemajuan kota, padahal tak memberi dampak pada prestasi dan karya kreativitas dalam bentuk penghargaan yang layak, pelaksana iven intansi layaknya EO, yang mencari tambahan penghasilan sebagai panitia bayangan dengan honor, yang gelap tanpa keterbukaan, sementara para peserta pesta-pesta perayaan diharuskan mengerahkan ide-ide cemerlang, karya-karya kreatif unggulan, tanpa diperhatikan dan dihargai karyanya selayaknya karya seni.
Tasikmalaya kembali akan kukenang dalam catatan buruk masa lalu, atau rasa kehilangan harapan pada masa datang. Sebab sebentar lagi, akan kudengar dan kusaksikan, barisan para pembual menawarkan kandidatnya secara paksa, atau sembunyi-sembunyi dengan bekal bingkisan janji muluk, memperbaiki taraf hidup pada masa akan datang, seakan lebih baik dan sejahtera, sambil mengibarkan bendera dan panji-panji partainya ke pelosok kampung, sambil memanggul sepikulan dusta, atau sekadar remah-remah dibungkus keresek pelastik hitam, sehitam maksud terselubung yang diembannya.
Lalu masihkah kita berharap atau percaya menitipkan pesan pada mereka. Entahlah sebab kita sudah terjebak dalam kubangan lingkaran kekuasaan yang dipropagandakan, sekali lagi setelah ini akan berbenah atau bersolekkah Tasik atau akan bertambah coreng-moreng yang menghiasi wajah kota ini.
Entahlah, yang terpenting rasanya sebagai pribadi pribadi warga Tasikmalaya yang terbiasa sebagai pekerja keras, tak mesti kehilangan harapan atau terus berusaha, sambil berdoa, memaknai kiprah masing-masing dan semoga memberi dampak baik bagi orang di sekitar kita.
Syukur-syukur bisa lebih, mewarnai wajah kota Tasikmalaya dengan prestasi yang membanggakan.
Amang
Sanggar Seni Teater Bolon
Tasikmalaya 3 Oktober 2021