OPINI

Degradasi Gerakan Pemuda

×

Degradasi Gerakan Pemuda

Sebarkan artikel ini

Oleh Dhany Tardiwan Noor, S.IP
Calon Ketua DPD KNPI Kota Tasikmalaya

Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir tak lepas dari peran pemuda, tidak lah salah bahwa maju atau mundurnya suatu bangsa ada pada tangan kaum pemuda. Selayaknya kita pun mengingat dan kembali membaca lembar demi lembar gerakan pemuda hari ini.

Bersatunya kaum muda yang di ikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itu dijadikan torehan tinta emas kaum muda, bagaimana disaat itu identitas pemuda lebih dominan sebagai representasi pergerakan kaum muda yang mengedepankan kepentingan kolektif dengan spirit nilai – nilai persatuan, kebangsaan dan keindonesiaan.

Hari ini giroh itu kurang nampak terlihat dalam wajah pemuda saat ini, kini telah terjadi distorsi gerakan pemuda yang seakan kaum muda hari ini terkooptasi dan terbuai dalam lingkaran kekuasaan.

Sehingga sangat nampak jelas bagaimana kaum muda hari ini terjebak dalam kepentingan parsial, individual dan golongan. Masing-masing kepentingan golongan dan individual terkonsentrasi dalam ambisi perebutan founding – founding politik, yang kemudian hilanglah semangat kolektifitas kebangsaan dan kenegaraan.

Semangat kebangsaan, kenegaraan dan kolektifitas hanyalah sebatas pemanis dan semboyan semu sebagai “pencitraan publik”. Semua itu hanyalah nampak di permukaan untuk sebuah kemasan yang tidak jelas. Dalam kondisi yang lebih parah lagi bahwa semangat individual dan golongan itu tak segan mengorbankan sahabat seperjuangan.

Kondisi ini bisa dilihat bagaimana hari ini aspek persamaan, kebersamaan, kerelaan yang ada dalam kaum muda mulai luntur dan hilang. Yang kita saksikan justru adalah saling berebut kekuasaan demi kepentingan yang bersifat egoisme, jangka pendek dan sektoral.

Kita tak heran melihat kenyataan ini, secara historis sejarah tak akan lupa bagaimana kondisi hari ini terlahir dari gerakan pemuda era 1950-an yang banyak dimanfaatkan oleh kekuatan partai politik dan ketika pasca-1966 gerakan pemuda tampak begitu kuat dan mesra dengan kekuasaan Orde Baru.

Hal ini tentu sangat berdampak pada sikap dan independensi gerakan pemuda kedepannya. Inilah barangkali asal muasal primordialisme mengapa gerakan pemuda hari ini menampakan wajahnya atas ketidak jelasan arah gerakannya.

Akibat terjadinya proses kooptasi kekuasaan Orde Baru dan pasca-Reformasi kini gerakan pemuda dalam menentukan keberpihakan dan sikap politiknya selalu bergantung pada “ketiak” penguasa atau politik dominan (mainstream), baik ditingkat daerah maupun pusat. Kenyataan inilah yang terjadi di seluruh ruang gerakan pemuda.

Kita memimpikan kembali terbangunnya konstruksi mapan kaum muda yang memiliki spirit kebangsaan, solidaritas dan kesadaran kolektif secara masif, bukan sebaliknya terjebak untuk menyelamatkan kepentingan personal dan golongannya. Sebab jika gerakan kaum muda terus dibiarkan “bermesraan” dalam kooptasi kekuasaan kemudian mereka melebur menjadi bagian dari kekuatan politik kartel, oligarki, dan dinasti politik, maka yang dikhawatirkan tidak ada lagi pemuda yang peduli pada rakyat, bangsa dan negara.

Trend gerakan muda hari telah terjebak pada arus pencitraan semata, tanpa konsepsi yang jelas untuk membangun gerakan intelektual. Pada akhirnya mindset yang tercipta adalah cukuplah dengan memajang foto di media sosial tanpa mengeksplore kerangka berfikir yang nyata, membuli orang lain dan menjatuhkan orang lain itu dijadikan daya tawar sebagai bentuk sumbangsihnya.

Tidak adanya tawaran konsep manjemen organisasi, pelatihan-pelatihan basic organisasi, manajemen konflik atau menawarkan isu – isu stategis, yang mampu melahirkan jiwa kritis transformatif. Bukan pula budaya ABS (Asal Bapak Senang) dijadikan tameng agar kepentingan golongan mampu mengalahkan kemurnian gerakan yang sebenarnya.

Semoga tersadarkan, bahwa perjuangan membutuhkan sebuah kekuatan kolektifitas besar. Dan kekuatan kolektifitas besar tersebut tidak akan muncul jika mereka terpecah-belah secara primordial.

Di sinilah, mereka merasa sangat penting untuk segera melakukan rekonsiliasi dan melupakan luka-luka perpecahan yang pernah ada.

Di sinilah, Indonesia lahir tidak lepas dari kiprah kaum muda. Namun, yang harus diingat, Indonesia juga bisa ”tenggelam” oleh tangan- tangan serakah kaum muda apabila kepekaan sosial kepekaan intelektual tidak kembali ditanamkan dalam jiwa jiwa para pemuda.

Oleh karena itu, di sini, kaum muda harus mampu mengembalikan kesadaran gerakannya dengan cara membangkitkan, menjaga, dan menyemaikan nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan dalam berbagai bidang kehidupan.

Karena itu, butuh kesadaran kolektif kaum muda untuk melawan setiap bentuk ”peembohongan” ataupun ”pembiaran perampokan” sumber-sumber kekuasaan negara yang dilakukan oleh siapa pun.
Yang pada hakekatnya para pemuda harus tetap berpegang teguh pada komitmen dasar yaitu “Khoirunnas Anfauhum Linnas” yang artinya Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.***