KANAL

Jelang Aksi di Bandung Barat, Aktivis dan Media Dibungkam! Siapa Takut Terbongkar?

×

Jelang Aksi di Bandung Barat, Aktivis dan Media Dibungkam! Siapa Takut Terbongkar?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Demo/suara.com

KAPOL.ID – Menjelang aksi unjuk rasa besar yang dijadwalkan Senin, 13 Oktober 2025, tensi politik di Kabupaten Bandung Barat (KBB) memanas. Kelompok Masyarakat Peduli Bandung Barat (MPBB) bersama sejumlah aktivis Jawa Barat tengah bersiap turun ke jalan menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, di balik semangat perlawanan itu, muncul aroma tekanan, bujuk rayu, dan ancaman halus yang menandakan ketakutan di lingkar kekuasaan.

Sejumlah aktivis mengaku menerima pesan misterius melalui WhatsApp dan telepon, berisi imbauan agar aksi dibatalkan.

“Tidak usah demo, nanti kita bicarakan baik-baik,” bunyi pesan yang berulang kali diterima oleh mereka. Bahkan, sebagian pesan disertai janji pertemuan tertutup dan “perhatian khusus” bagi yang mau menunda aksi.

Bukan hanya aktivis, jurnalis di wilayah KBB juga mulai merasakan tekanan.

Salah satu wartawan lokal yang dikenal kritis mengungkap bahwa dirinya diingatkan agar tidak memberitakan kasus korupsi secara tajam. Pesannya halus tapi jelas: “Pelankan tekanan terhadap penguasa.”

Langkah ini dinilai sebagai upaya membungkam suara publik dengan cara yang terselubung namun sistematis.

Sumber internal menyebut gelombang tekanan meningkat setelah serangkaian pemberitaan tentang dugaan permainan anggaran, mutasi jabatan sarat kepentingan, dan dominasi empat figur berpengaruh di lingkar kekuasaan Pemkab KBB: Sekda AZ, anggota dewan DAM, Kepala BKAD HBP, dan aspri bupati berinisial R.

Mereka disebut sebagai “poros kekuasaan di balik layar” yang menentukan aliran uang dan jabatan.

Kini, setelah publik mulai menyoroti peran mereka, muncul manuver politik untuk menenangkan situasi lewat pendekatan personal dan iming-iming keuntungan.

Meski surat pemberitahuan resmi aksi damai telah dikirim ke Polres Cimahi oleh KKPMP, tekanan terhadap massa terus meningkat.

Beberapa aktivis melaporkan adanya bujukan, ancaman, dan tekanan psikologis agar mereka menarik diri dari aksi.

“Ini bukan lagi sekadar bujuk rayu. Sudah masuk tahap intervensi terhadap hak konstitusional warga,” tegas salah satu aktivis senior.

Ia menambahkan, indikasi kuat menunjukkan perintah pembatalan aksi datang langsung dari pejabat tinggi Pemkab KBB.

Tak berhenti di situ, sejumlah media lokal yang sebelumnya vokal kini terlihat melemah. Beberapa redaksi mengaku mendapat pendekatan dari pejabat daerah agar narasi berita dibuat “lebih seimbang.”

Bahkan, ada yang mengungkap ancaman pemutusan kerja sama media jika terus kritis terhadap kebijakan pemerintah daerah.

Fenomena ini memperlihatkan gejala pembungkaman pers secara halus. Padahal, kebebasan pers adalah fondasi utama demokrasi dan pengawasan publik terhadap kekuasaan.

Pengamat menilai, meningkatnya bujuk rayu terhadap aktivis dan media merupakan tanda jelas adanya kepanikan di lingkar elit KBB.

Mereka khawatir aksi besar nanti akan menyeret nama-nama penting dalam dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Publik sudah lama mendengar kabar tentang bancakan APBD, SILPA misterius, dan proyek dadakan yang dimainkan menjelang akhir tahun anggaran. Kini, saat rakyat mulai bersuara, kekuasaan tampak kelabakan.

Namun upaya pembungkaman itu tampaknya gagal.

Para aktivis menyatakan tetap akan turun ke jalan membawa tuntutan moral untuk menyelamatkan Bandung Barat dari tangan-tangan kotor.

“Kami sudah terlalu lama diam. Saatnya Bandung Barat dibersihkan dari mafia anggaran,” tegas salah satu koordinator aksi.

Mereka juga menegaskan akan meminta perlindungan hukum bagi jurnalis dan aktivis agar tidak menjadi korban intervensi politik selama aksi berlangsung.

Gelombang protes yang akan mengguncang Bandung Barat bukan sekadar aksi biasa. Ini adalah seruan moral melawan korupsi, kolusi, dan intimidasi.

Senin nanti akan menjadi ujian terbesar bagi aparat penegak hukum: apakah mereka berdiri di sisi rakyat dan konstitusi, atau justru tunduk pada tekanan kekuasaan?

Publik kini menunggu apakah Bandung Barat masih punya ruang bagi kebenaran dan keadilan, atau telah dikunci rapat oleh ketakutan dan kepentingan segelintir elite.***