KASUS yang menimpa Kepala BKPSDM Kabupaten Majalengka, Irfan Nur Alam (INA), yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jabar, merupakan sebuah tragedi yang tidak hanya mengguncang individu yang bersangkutan, tetapi masyarakat Majalengka.
Pertama-tama, penting untuk mencatat bahwa setiap individu, termasuk Irfan, memiliki hak praduga tak bersalah.
Prinsip ini harus menjadi pijakan utama dalam menangani setiap kasus hukum, termasuk kasus korupsi.
Oleh karenanya, sebelum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam pengadilan, Irfan harus dianggap tidak bersalah.
Kedua, kita juga perlu mengakui bahwa setiap kasus hukum memiliki aspek-aspek yang kompleks.
Oleh karena itu, dalam menilai kasus ini, penting untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan secara transparan, adil, dan tidak dipengaruhi oleh faktor apapun.
Ketiga, sebagai Kepala BKPSDM Kabupaten Majalengka, Irfan telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengelolaan sumber daya manusia dan administrasi kepegawaian di Majalengka.
Ia telah terbukti memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, sebelum membuat kesimpulan terhadapnya, penting untuk mempertimbangkan rekam jejak dan kontribusi positif yang telah ia berikan untuk pembangunan SDM dan infrastuktur di Majalengka.
Sebagai bagian dari sistem peradilan yang demokratis, sangat penting bagi semua pihak untuk memberikan dukungan penuh terhadap proses hukum yang berjalan.
Ini termasuk memberikan hak kepada Irfan untuk mendapatkan pembelaan yang adil dan profesional, serta kesempatan untuk membuktikan dirinya dalam persidangan.
Dalam kasus ini, mari kita tetap teguh pada nilai-nilai keadilan dan praduga tak bersalah, tanpa melupakan hakikat bahwa setiap orang adalah innocent until proven guilty.
Innocent Until Proven Guilty
Ini adalah sebuah prinsip hukum yang menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah dari suatu tuduhan kejahatan sampai bukti yang meyakinkan menunjukkan sebaliknya melalui proses hukum yang adil dan terbuka.
Prinsip ini menempatkan beban pembuktian pada pihak yang menuduh untuk membuktikan bahwa tersangka benar-benar bersalah, bukan pada tersangka untuk membuktikan kebalikannya.
Prinsip ini merupakan salah satu fondasi utama dari sistem peradilan yang adil dalam banyak negara hukum.
Jalur Hukum yang Bisa Ditempuh
Aturan hukum yang dapat menjadi dasar pembelaan bagi Irfan dalam kasus ini adalah prinsip praduga tak bersalah, yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah dalam proses hukum sampai adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain itu, Irfan memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan yang layak dan profesional, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hak ini mencakup hak untuk memilih dan menghadiri penasihat hukum yang akan membantunya dalam proses hukum.
Jika terdapat dugaan adanya pelanggaran prosedur dalam penanganan kasus oleh penyidik atau kejaksaan, Irfan juga memiliki hak untuk mengajukan praperadilan sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Selain itu, dalam proses persidangan, Irfan memiliki hak untuk mengajukan pembelaan dan memberikan bukti-bukti yang mendukung klaimnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dengan demikian, Irfan memiliki sejumlah hak yang dijamin oleh hukum untuk memastikan bahwa proses hukum yang dihadapinya berlangsung secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Tulisan ini hanya sebuah pengingat akan pentingnya menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam setiap langkah penegakan hukum yang diambil.
Hanya dengan memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan benar dan adil, kita dapat menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kita.
Kasus Irfan
Irfan ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan secara sistematis dalam kegiatan bangun guna serah (Build, Operate and Transfer/BOT) Pasar Sindang Kasih, Cigasong, Kabupaten Majalengka.
Irfan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa barat Nomor: 682/M.2/Fd.2/03/2024 tanggal 14 Maret 2024 serta surat penetapan tersangka (PIDSUS-18) Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor : TAP- 28/M.2/Fd.2/03/2024 tanggal 14 Maret 2024.
Irfan diduga terlibat kasus tersebut saat masih menjabat sebagai Kepala Bagian Ekonomi di lingkungan Pemkab Majalengka.
Berdasarkan Perbup Majalengka Nomor 103 Tahun 2020, pada saat itu Irfan melaksanakan pemilihan mitra pemanfaatan barang milik daerah berupa bangun guna serah (Build, Operate and Transfer/BOT) atas tanah di Jalan Raya Cigasong-Jatiwangi, Majalengka.
Atas kasus tersebut Irfan dijerat Pasal 5, Pasal 12 huruf e, Pasal 11, Pasal 12 B Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. ***