BUDAYAOPINI

Kecanduan THR

×

Kecanduan THR

Sebarkan artikel ini

Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Pegiat Parenting Direktur Yayasan Taman Jingga

Ibadah Puasa Ramadan tinggal menyisakan beberapa hari lagi, tibalah waktunya Hari Raya Idul Fitri yang dikenal dengan hari kemenangan bagi umat islam.

Gegap gempita dalam menyambutnya meskipun tahun ini tahun ke-2 Hari raya masa pandemi namun tak meyurutkan semangat kaum muslimin dalam merayakannya.

Dari mulai tradisi mudik meskipun mudik dilarang tetap saja ada yang ngeyel keukeuh pulang kampung padahal ledakan pemudik sangat rentan tak terkendalinya wabah covid 19, tapi disini saya tidak membahas itu.

Balik lagi ke gegap gempita menyambut hari raya idul fitri atau uforia lebaran dari mulai menyiapkan macam macam makanan, baju lebaran, buah tangan cendra mata (hampers,parsel dll), zakat fitrah, zakat mall dan banyak hal lainnya dan yang tak kalah menarik adalah THR (Tunjangan Hari Raya).

THR menjadi salah satu yang sangat ditunggu menjelang Lebaran tiba. Ini karena pemberian THR sudah menjadi tradisi tiap tahun di Indonesia. Dari sejarah awalnya pemberian THR atau tunjangan hari raya hanya diberikan kepada PNS.

Pemberian THR pertama kali terjadi pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang dilantik pada tahun 1951. Soekiman adalah tokoh politik dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang juga dikenal sebagai tokoh Masyumi, ia merupakan seorang Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6 yang juga menjadi pencetus kebijakan pemberian THR kepada para pekerja di Indonesia.

Waktu berlalu THR menjadi kebijakan pemerintah juga pihak swasta tiap tahun dalam memberikan tunjangan di hari raya kepada karyawan atau pekerjanya. Hal tersebut diatur oleh undang undang yaitu PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 dan PERATURAN PEMERINTAH NO 63 tahun 2021 tentang THR dan gaji ke 13 juga surat edaran kemenaker nomor M/6/HK.04/IV/2021 terkait Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2021.

Hal itu adalah sesuatu yang positif sudah selayaknya memang para karyawan dan pekerja, buruh menerima tunjangan di hari raya. Namun ada hal ironi yang menggelitik ketika THR itu sudah berubah makna, sasaran dan tujuannya atau sampai pada level pemaksaan meskipun bukan penerima haknya.

Undang-undang mengatur masalah THR tentang siapa saja penerima haknya serta kewajiban pemberinya juga kisaran jumlahnya, namun substansinya secara umum adalah tunjangan hari raya untuk siapapun yang bekerja mengabdi di tempatnya mengabdi atau bekerja meskipun tidak tercantum did alam undang undang-undang tersebut.

Intinya THR adalah hak yang harus ditunaikan yang punya kewajiban kepada sipenerima hak tersebut. Tapi anehnya THR di zaman ini malah dijadikan alibi pemaksaan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab

“bagi THR dong.. Kan Lebaran.” Ucapan sok kenal sok deket semacam itu sudah sering kita dengar terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dari yang tidak pernah menyapa sampai yang pernah berseteru polos saja minta THR lucu memang.

Tak hanya teman jauh, mantan gebetanpun bisa jadi demikian. Seolah olah semuanya jadi dekat bersemi kembali. Demi sebuah pengharapan kecipratan THR.

Sekarang ini THR identik dengan ‘jatah-jatahan’. Semuanya ikut nagih, seolah olah berhak menerima halnya seperti mustahik zakat. Padahal aturan penerima THR jelas berbeda dengan penerima zakat. Ya kalau memang berhak masuk kategori tak usah maksa meminta, nanti juga dikasih sesuai porsi haknya.

Nah kalau sampai tidak menerima sesuai haknya maka tuntutlah pada yang berkewajiban memberi THR karena itu hak, tapi bilamana kita bukan kategori penerima THR lantas buat apa meminta? kan bukan haknya ini menjadi sebuah candu yang salah kaprah.

Kebiasaan meminta jatah THR padahal bukan hak tidak mengedukasi bagi generasi bangsa ini. Karena ada juga beberapa orang tua yang polos mengajari anaknya “sana minta THR” mohon maaf semestinya hal ini bisa diajarkan cara yang lebih baik kepada anak-anak kita bahwa jangan meminta duluan lain cerita kalau dikasih meski bukan ketegori penerima hak THR namanya juga dikasih itu adalah rizqi terima saja.

Baik itu untuk orang dewasa ataupun anak-anak juga lansia sebagai tanda kadeudeuh kanyaah juga berbagi berkah di hari raya Alhamdulillah.

Intinya adalah pelajaran etika agar tidak menuntut sesuatu yang bukan hak kita meskipun sudah tradisi dari tahun ketahun setiap hari raya ada bagi-bagi THR.

Berbagi THR adalah sesuatu yang baik tradisi yang menggembirakan dan membahagiakan banyak pihak dihari raya namun sejatinya tidak menjadi candu yang melanggar etika di luar batas kesopanan sampai mengejar ngejar seperti debt collector yang menagih hutang jika belum diberi semoga tidak sampai intimidasi.

Fenomena THR tidak lepas dari sipemaksa yang ingin menerima THR, adapun sipemberi yang memang bukan kategori yang berkewajiban memberikan THR mendadak terjangkit penyakit Pemberi Harapan Palsu (PHP).

Karena ternyata di lapangan yang terjadi tidak hanya oknum si pemaksa saja yang terlibat tragedi unfaedahnya THR si calon pemberipun tebar pesona mengobral janji, janji janji manis seperti abg sedang jatuh cinta.

Pada musim THR begini, orang-orang yang mendadak PHP selalu punya kata-kata sakti mandraguna, meski sudah klise . “Nanti kalau sudah cair, saya kasih THR.” Nah itu, cair adalah kata kuncinya. Semua mulut langsung terbungkam mendengar ajian pamungkas tersebut. Jadi kalau tidak jadi memberi THR cukup dengan jurus pamungkas “maaf tidak cair jadi tidak bisa memberi THR,” lah kalau bukan kategori yang berkewajiban memberikan THR gak musti obral janji.

Kalau memang niat baik tanpa argumentasi apapun eksekusi saja kasih yang memang mau kita kasih, ada kelebihan rizki mau memberi ya tinggal beri jika tidakpun itu bukan kewajiban sehingga tidak menambah rentetan kesalahan etika yang mengurangi makna keberkahan hari raya.

Berapapun kita menerima THR itu adalah rizqi Syukuri saja dan berapapun yang kita kasih yang penting niat baiknya sehingga tidak mengurangi nilai kebaikan dengan adanya pro kontra THR ilegal.

Mohon maaf tulisan ini adalah bahan renungan agar niat baik senantiasa dilakukan dengan cara yang baik dan tradisi baik harus pula diajarkan dengan cara yang baik. Sehingga turun temurun tahun ketahun setiap hari raya berbagi rizqi termasuk THR menjadi tradisi yang berfaedah, yang mewarnai gegap gempitanya kemenangan dihari raya Idul Fitri.

Ini sangat penting untuk mindset THR bagi generasi kita yang akan datang agar dapat menempatkan sesuatu sesuai porsi dan atuaran meskipun terlihat sepele hanya bab THR.

Sejatinya, bagi-bagi THR merupakan tradisi yang unik. Tradisi itu mungkin hanya ada di negara kita. Di luar negeri, semisal di eropa, sejauh yang saya tahu dari berbagai informasi, tidak ada yang namanya THR atau sejenisnya. Maka lestarikan terus tradisi baik ini tanpa harus memaksa minta tanpa harus PHP memberi, lakukan semuanya dengan niat baik dan juga cara yang baik yang menjaga etika.

“Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh, kecuali bagi salah satu dari tiga golongan. Pertama, orang yang memikul beban tanggungan yang berat di luar kemampuannya. Maka, dia boleh meminta-minta sampai sekadar cukup, lalu berhenti.”

“Kedua, orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya. Maka, dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya. Ketiga, orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar sangat miskin.”

“Maka, dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari ketiga golongan tersebut hai Qabishah maka meminta-minta itu haram, hasilnya bila dimakan juga haram.” (HR Muslim)

”Berikanlah pada orang yang lebih fakir dariku. Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku, maka kaupun berkata, “berikanlah pada yang lebih fakir dari aku.” Maka Rasulullah SAW bersabda ” Ambillah, dan bila kamu diberikan sesuatu harta sedangkan engkau tidak mengidam-ngidamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Dan jika tidak demikian maka janganlah kamu mengejarnya dengan hawa nafsumu.” (H.R.Bukhari – Muslim)

Jadi menurut hadits di atas, sudah jelas kalau minta THR baik itu orang dewasa atau ngajari anak-anak kita meminta itu tidak boleh? Kecuali kita termasuk ketegori hak menerima THR karena bekerja mengabdi di suatu tempat itu sudah selayaknya diperjuangkan agar THR kita cair sesuai hak kita.

Jikapun bilamana keadaan kita terdesak membutuhkan bantuan ada aturan aturan agama secara Syariat yang mengaturnya. Lembaga-lembaga filantrofi telah banyak bertebaran itu bisa menjadi salah satu solusi bila posisi kita terdesak dan layak ditolong apalagi jika masuk kategori mustahik zakat.

Kalau hanya ingin menerima THR padahal gak butuh-butuh amat, coba balikan posisinya ingin menjadi si pemberi THR yang berbagi kebahagian bagi orang lain di hari raya, karena berbagi itu memang membahagiakan. ”Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.***