KANAL

Kepala Daerah Perempuan, Kenapa Tidak?

×

Kepala Daerah Perempuan, Kenapa Tidak?

Sebarkan artikel ini

Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Aktivis Perempuan, Direktur Taman Jingga

Refleksi hari kartini tahun ini bertepatan dengan tahun politik. Setelah pemilu 14 Februari lalu, beberapa bulan kedepan akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah di beberapa kota, kabupaten juga propinsi di Indonesia. Maka peringatan hari kartini tahun 2024 ini relevan dengan merefleksikan pikiran-pikiran kartini dalam emansipasi perempuan. Termasuk diantaranya adalah kepemimpinan perempuan. Pemikiran dari seorang perempuan jawa yang pada masa itu yang terkungkung oleh budaya patriarki, feodalisme, dan kolonialisme.

Kita merayakan hari Kartini bukan lagi soal memakai kebaya atau diperingati dengan lomba memasak. Lomba berjalan semampai ala perempuan Jawa atau dengan lomba lomba lainnya. Sebab kartini tidak pantas hanya dinilai dari sosok pakaiannya, melainkan ide-ide perlawanannya yang cemerlang tentang kesetaraan dan kebebasan perempuan. Kemudian kemajuan perempuan juga kontribusi perempuan, itu yang penting kita rayakan.

Segala keresahan bentuk dominasi patriarki, pembodohan, feodalisme, serta penindasan terhadap perempuan Jawa waktu itu dituangkan oleh kartini dalam bentuk tulisan. Yang dia kirim dalam surat-suratnya kepada sahabat sahabatnya di Belanda. Yakni Tuan EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain.

Surat-surat Kartini tersebut diterbitkan di negeri Belanda pada tahun 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armin Pane pada tahun 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Hingga pikirannya menggegerkan dunia, menggoncang epistemik, menggentarkan intuitif. Kartini berhasil mengemukakan ide-ide pembaharuan masyarakat yang melampaui zamannya.

Perhatian Kartini saat itu bukan hanya soal emansipasi perempuan saja, tetapi juga yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam pandangan Kartini perjuangan perempuan guna memperoleh kebebasan otonomi, dan persamaan hak sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Cita-cita kartini terhadap perempuan adalah keinginan agar perempuan bisa bebas, berdiri sendiri. Dan membebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari kungkungan adat yang mengikat.

Akan tetapi tidak cukup kuat melawan dominasi patriarki oleh Kartini seorang diri. Maka perempuan haruslah sadar, bersatu, dan melawan untuk mencapai kondisi idealnya. Kartini 100 tahun yang lalu sudah memulai dan membuka jalan dengan gagasan gagasannya yang brilian. Kita sebagai perempuan Indonesia sekarang tinggal melanjutkan dan mengimplementasikan gagasan gagasan kartini yang tentu sangat bermanfaat untuk kemajuan perempuan.

Dahulu Kartini menuntut perbaikan kedudukan derajat wanita agar jangan hanya mengekor kepada adat istiadat yang patriakal. Perempuan Indonesia harus sadar akan kondisinya yang pada masa itu tertindas oleh dominasi patriaki. Serta harus menjadi orang-orang terpelajar dan bersatu untuk melawan dominasi itu. Seperti perkataan Nawal El Sadawi, salah satu aktivis feminis mesir berkata “Unity is power; without unity women cannot fight for their rights anywhere.” Persatuan juga perlu untuk melawan dominasi yang besar itu.

“Saya putus asa, dengan rasa pedih-perih saya puntir-puntir tangan saya menjadi satu. Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu….” (Kartini, surat kepada, N.Van Kol, 19 Agustus 1901).

Kartini menyadari bahwa ketidakmampuan dia untuk melawan dominasi itu sendirian. Kartini adalah refleksi kritis dari stratifikasi sosial yang hierarkis feodalistik. Gagasan ini merupakan embrio dari munculnya ide emansipasi sudah selayaknya untuk saat ini perempuan ditempatkan dalam proporsi yang semestinya, termasuk dalam kepemimpinan.

Kepala daerah

Jumlah pemimpin perempuan yang ada hingga saat ini di Indonesia masih sangat minim dibandingkan dengan pemimpin laki-laki. Padahal pada dasarnya perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menduduki kursi kepemimpinan. Memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin tentu didasari dengan kompetensi dan integritas yang mumpuni dari para perempuan.

Kemarin di bulan Februari telah dilaksanakan pemilu untuk pemilihan presiden dan juga pemilihan anggota legislatif. Tidak lama lagi kabarnya di bulan november di tahun ini kita akan mengikuti pemilihan kepala daerah. Baik tingkat propinsi, kota dan kabupaten yang ada di Indonesia maupun kota dan kabupaten Tasikmalaya.

Sudah terdengar beberapa calon kandidat bersosialisasi ke tengah masyarakat. Dan memasang baliho dengan foto diri terpajang di pinggir-pinggir jalan protokol. Bahkan beberapa sudah mendaftar penjarangan ke partai politik untuk dapat diusung menjadi calon kepala daerah. Siapakah kali ini yang akan berhasil meraih suara terbanyak pilihan masyarakat?

Kita tunggu saja tanggal mainnya. Semoga memang pasangan yang terbaik yang akan membawa Tasikmalaya menjadi kota dan kabupaten maju dan sejahtera di Jawa Barat.

Namun dibalik itu semua, kita masih penasaran, kenapa belum ada perempuan yang menjadi kandidat? Apakah memang menjadi kepala daerah itu menakutkan bagi perempuan? Atau karena rimba perpolitikan itu belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan? Ataukah tidak adanya figur perempuan yang layak menjadi pemimpin di kota santri ini.

Sepertinya kita tidak benar-benar tidak memiliki figur perempuan yang layak jadi pemimpin. Hanya saja banyak kendala dan stigma di masyarakat yang menciutkan nyali perempuan untuk ikut berkompetisi menjadi kepala daerah. Sehingga meskipun kesempatannya sama tapi peluangnya akan sangat berbeda dengan laki-laki untuk menjadi kepala daerah. Jangankan mencapai pucuk pimpinan kepala daerah memenangkan pilkada, menjadi kandidat atau sekedar bursa calon kepala daerah saja sepertinya sangat rumit perempuan hadapi.

Tantangan

Perempuan telah lama menjadi objek diskriminasi melalui pembedaan perlakuan dan stereotip gender dalam berbagai bidang kehidupan. Stereotip gender menjadi keyakinan dalam kehidupan masyarakat yang memilah secara tegas peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi sosok yang identik dengan menjadi seorang pemimpin dan memiliki power dalam kepemimpinan. Sedangkan perempuan hanya bertanggung jawab dalam rumah tangga dengan mengurus suami, anak, dan keluarga yang kita kenal dengan urusan domestik. Ketimpangan gender di mana perempuan sering dianggap tidak memiliki kapasitas atau kemampuan yang sama dengan laki-laki. Selain itu, perempuan yang mengurus rumah tangga dinilai tidak strategis karena dianggap terlalu rentan posisinya di dalam kepemimpinan.

Sekarang ini, kita melihat rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat disebabkan beberapa alasan. Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik.

Kedua kurang dukungan keluarga, ketiga kurang percaya diri, keempat kurang modal karena realitanya kontestasi politik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kelima institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan.

Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif kemarin perempuan oleh parpol yang kerapkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu. Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.

Keunggulan perempuan

Jika kita melihat refleksi kepemimpinan perempuan dalam peningkatan perannya jika menjadi pemimpin. Perempuan tersebut memimpin dengan telaten, sabar mampu menjadi teladan bagi masyarakat. Implementasi kepemimpinan perempuan sebagai madrasah pertama bagi anaknya maka perempuan juga merangkap peran. Mulai dsri sebagai pendidik, pengasuh, pendamping, penuntun, hingga pendorong/motivator dalam keluarga. Ini sesungguhnya bisa menjadi modal perempuan dalam kepemimpinan sehingga bisa mengayomi masyarakat.

Kepemimpinan perempuan sangat penting bagi kesejahteraan bangsa. Menurut riset oleh lembaga McKinsey tahun 2018-2021, mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan mampu menciptakan organisasi yang lebih sehat, egaliter. Serta menghasilkan keputusan yang komprehensif dan inklusif karena melihat dari berbagai aspek.

Maka mengapa perempuan untuk menjadi pemimpin sangat bisa dipertimbangkan. Karena bukan saja sebuah langkah yang tepat tetapi secara riset juga membuktikan pencapaian yang akan dihasilkan akan jauh lebih baik. Jika keberadaan perempuan lebih setara dalam pengambilan keputusan juga pengambil kebijakan.

Berkaitan dengan itu, dalam hal membangun relasi, pemimpin perempuan secara konsisten dinilai lebih tinggi daripada laki-laki. Menjadi terampil dalam membangun hubungan di dalam rumah. Perempuan juga sangat mungkin berhasil dalam membangun hubungan di luar rumah termasuk dalam memipin sebuah daerah.

Dari fakta-fakta tersebut sebetulnya tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan lagi kaum perempuan untuk maju menjadi calon kepala daerah. Karena sesungguhnya kualitas dan keberhasilan dari sebuah kepemimpinan bukan berdasarkan tolak ukur jenis kelamin dari pemimpinanya. Namun atas dasar kualitas, kompetensi dan integritas personal pemimpin tersebut.

Selamat hari Kartini, semoga dimasa penjaringan calon kepala daerah sekarang ini muncul sosok calon kepala daerah perempuan. Tentu yang visioner, inovatif, humanis yang berkeadilan gender siap berkontestasi dalam pilkada yang akan datang. Urusan menang belakangan yang penting perempuan siap maju dulu. ”habis gelap terbitlah terang”.***