Oleh: Jejep Falahul Alam
Saat ini isu skandal perselingkuhan yang diduga melibatkan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dengan Lisa Mariana tengah viral dan mampu mencuri perhatian publik.
Berita terkait peristiwa ini menjadi trending topic nyaris di semua platform baik media mainstream maupun sosial media (sosmed).
Teranyar, Sabtu, 13 April 2025 kemarin Lisa Mariana menggelar jumpa pers bersama awak media, menceritakan pengalamannya yang mengejutkan, bahwa ia pernah berhubungan badan dengan Ridwan Kamil selama tiga hari dua malam.
Hingga akhirnya ia mengklaim berbadan dua dan melahirkan anak, buah percintaanya dengan RK sebutan Ridwan Kamil.
Skandal perselingkuhan ini pun mampu mengalahkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ridwan Kamil. Ia diduga terlibat dalam pusaran kasus iklan Bank BJB yang kini tengah dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terbaru 13 April 2025 kemarin, KPK berhasil menyita beberapa barang dan dokumen lainnya, termasuk motor mewah milik mantan Wali Kota Bandung tersebut.
Akan tetapi pertanyaan mengapa fenomena perselingkuhan pejabat publik sering kali lebih menarik perhatian masyarakat ketimbang kasus korupsi? Meskipun kita tahu bahwa korupsi jelas merugikan negara dan rakyat, tapi realitanya isu perselingkuhan lebih hangat untuk dinikmati, ketimbang korupsi. Terlebih dibumbui dengan drama, cerita adegan ranjang dan kisah lainnya.
Isu Perselingkuhan Lebih Baper?
Salah satu alasan utama isu perselingkuhan lebih menyentuh ranah pribadi karena sangat dekat dengan kehidupan kita, terutama yang sudah berkeluarga punya anak dan isteri.
Harus diakui perselingkuhan pejabat dipandang sebagai pengkhianatan, bukan hanya terhadap pasangan suami isteri, tapi terhadap norma dan nilai yang dijunjung masyarakat.
Hal ini berkaitan langsung dengan kehidupan pribadi dan keluarga yang menjadi bagian dari identitas sosial kita.
Ketika seorang pejabat terlibat dalam perselingkuhan, perasaan kecewa dan rasa kehilangan kepercayaan itu lebih mudah dipahami dan diterima banyak orang. Termasuk kita.
Apalagi jika sebelumnya ia di citrakan sebagai sosok pemimpin yang amanah, cerdas, ganteng dan bertanggung jawab. Tapi ternyata dibalik semua itu begitu mengecewakan dan tidak menduga sebelumnya.
Isu Korupsi Membosankan?
Sebaliknya, meskipun kasus korupsi memiliki dampak yang jauh lebih besar bagi bangsa dan negara, serta merampas hak-hak rakyat, isu ini cenderung dianggap lebih teknis dan sering kali terasa membosankan bagi masyarakat.
Setiap hari, masyarakat disuguhkan dengan beragam kasus korupsi yang terus muncul, hingga tak jarang membuat masyarakat merasa apatis.
Korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa, dan bisa jadi bagian dari rutinitas politik yang tak terhindarkan.
Dan lagi prilaku korupsi ini hampir terjadi dan menimpa nyaris di semua sendi kehidupan.
Situasi ini berlawanan dengan skandal esek esek dan urusan birahi yang sarat dengan drama, kejutan, dan sensasi.
Perselingkuhan Jadi Komoditas Politik?
Isu perselingkuhan juga bisa jadi dijadikan alat untuk menyerang lawan politik. Dalam budaya politik Indonesia, moralitas pribadi seorang pejabat lebih mudah dijadikan senjata untuk meruntuhkan reputasi.
Isu ranjang atau perselingkuhan menyentuh nilai-nilai patriarkis dan sosial yang mendalam, di mana pengkhianatan dalam rumah tangga dianggap sebagai aib besar yang harus dihukum secara transparan dan mendapatkan sanksi sosial.
Pada akhirnya, meskipun korupsi jauh lebih merusak dan berbahaya bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, ketertarikan masyarakat pada skandal perselingkuhan tak bisa dipisahkan dari dorongan untuk mencari keburukan yang bersifat lebih pribadi dan emosional.
Inilah ironi dalam cara kita mengonsumsi informasi publik—kita lebih tertarik pada kekurangan pribadi pejabat ketimbang kegagalan mereka dalam menjalankan amanah negara.
Idealnya, kita lebih fokus pada perjuangan untuk melawan korupsi demi kebaikan bersama, daripada hanya terpaku pada kehidupan pribadi yang sering kali hanya menjadi sorotan sementara.
Hikmah dan Refleksi
Namun, ada pelajaran berharga di balik setiap skandal yang melibatkan pejabat—baik itu perselingkuhan maupun korupsi. Kita harus ingat bahwa roda kehidupan terus berputar.
Dulu, ketika pejabat masih berada di puncak, mereka dipuja dan dihormati bak seorang Raja dan Ratu. Namun, ketika mereka terjatuh, ia bisa terjerembab dalam lembah kehinaan.
Ini bagian dari takdir yang tak bisa dihindari. Kendati dalam kehidupan sekarang ini, kita sering kali menemukan para pejabat terlibat dalam pencitraan dan akting demi mencari validasi dan simpati rakyatnya. Selain itu pula, sebagai masyarakat, kita perlu menyadari bahwa setiap orang—baik pejabat maupun warga biasa—memiliki kelemahan dan dosa.
Namun, Allah SWT masih menutupi aib kita dengan rahmat-Nya. Sehingga aib kita belum diumbar di publik.
Kita harus menghargai kenyataan bahwa kehormatan dan kehinaan di dunia ini sifatnya sementara tak abadi, dan setiap ujian pasti ada jalan keluar. Semoga!!!.***