Oleh Roni Mardyana
Ketua Umum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Tasikmalaya
YANG berdaulat itu rakyat, bukan dewan rakyatnya. Maka, setiap anggota dewan punya kewajiban moral untuk menghadirkan “pikiran rakyat” dalam merumuskan kebijakan, bukan menghadirkan kepentingan segelintir kelompok ataupun sebagian golongan.
Begitulah konsep dasar dari teori perwakilan mandat representatif. Sejalan dengan hal itu, perwakilan yang dimandatkan melalui lembaga legislatif merupakan konsekuensi dari berjalannya sistem pemerintahan yang menganut trias politica. Dasar pikiran inilah yang menjadi jalan interaksi antara rakyat dengan wakil rakyat/dewannya.
Sejatinya konsep perwakilan politik merupakan bentuk dari demokrasi tidak langsung. Mekanismenya dipilih melalui pemilihan umum. Dasar itulah yang menjadi acuan dipilihnya wakil rakyat yang duduk di parlemen, dan yang berdaulat tetaplah rakyat, bukan wakilnya.
Pemikiran dari J. J. Rousseau tentang Generale Will serta kontrak sosialnya memberikan pemahaman bahwa negara merupakan produk sosial antara rakyat dengan penguasa/dewan rakyat. Legitimasi dari seorang anggota dewan bukan hanya berurusan dengan lembaga legislatif dan tugas legislasi, tetapi ada sebuah legitimasi moral yang diwakilkan oleh rakyat dan itu menjadi tanggungan anggota dewan.
Pelaksana pemerintahan yang didasarkan pada dimensi normatif tata kenegaraan dapat diinterupsi oleh lembaga legislatif manakala ada kejanggalan dalam melaksanakan roda pemerintahan. Karena dulu anggota bangsawan yang melakukan kesewenang-wenangan dalam menjalankan pemerintahan tidak dibatasi, kendati rakyatnya tidak menghendaki. Sementara parlemen hadir untuk menjembatani kepentingan penguasa dengan rakyat yang akan menjadi objek pemerintahan yang diatur melaui mekanimse lembaga perwakilan. Begitulah nilai historis-filosofis yang dibangun melalui parlemen.
DPR, Perwakilan / Persoalan Rakyat?
Akhir-akhir ini parlemen hadir menjadi instrumen kegaduhan. Busyro Muqodas menyebutnya sebagai hadirnya episentrum kerusuhan nasional. Ucapan duka dan pernyataan sikap yang keluar dari berbagai lembaga menjadi bukti nyata bahwa ada ketidaksesuaian antara kehendak rakyat dengan dewan rakyatnya. Senayan menjadi tempat kegaduhan, massa aksi datang karena yang diproduksi oleh anggota dewan memantik kemarahan.
Yang kita saksikan adalah deretan ucapan duka yang berjejer di halaman parlemen. Momentum hari kemerdekaan beriringan diisi dengan penolakan terhadap suatu rancangan kebijakan yang akan membawa “kebaikan” bagi oligarki, tetapi sebuah kebencanaan bagi kaum buruh, petani atau berbagai elemen civil society.
Pun begitu kompleks Gebu, di Singaparna, sempat menjadi simbol permasalahan. Digemboknya pintu kantor Ketua Dewan sempat terjadi. Memang kita bisa menyebutnya sebagai dinamika, tetapi fakta menunjukkan bahwa adanya gembok tersebut merupakan simbol bahwa ada wajah kebijakan yang tidak layak ditampilkan dan harus dikunci, sehingga harus ditutup karena ada yang tidak “berfungsi”. Begitu semiotikanya.
Kini dalam konteks nasional pandemi tidak menghalangi aktivitas pejabat publik untuk meloloskan berbagai macam RUU. Sensitivitas rakyat diabaikan demi mengejar suatu kepentingan. Senayan dihadiahi penolakan massa, kompleks Gebu dihadiahi gembok. Sense of crisis ini yang hilang dan diproduksi dengan berbagai macam persoalan.
Pandemi Menjadi Batu Uji?
Kehadiran pandemi menjadi jalan untuk membuka tirani. Atas nama kedaruratan, semua kebijakan publik dibutuhkan dengan cara yang cepat dan efisien, dan untuk itu dibutuhkan pengawasan karena ada kecenderungan dilakukan secara ambivalen. Tentu daftar pustaka dari pemikiran Giorgio Agamben tentang demokrasi dan kedaruratan bisa menjadi legitimasi yuridis dan filosofis tentang keadaan politik hari ini.
Tetapi berbagai audiensi dan masukan dari beberapa elemen tidak boleh diabaikan. Krisis politik yang juga diikuti oleh krisis ekonomi harus ditanggulangi secara proporsi. Bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang menjadi perhatian, tapi keselamatan jiwa juga harus diutamakan. Slavoj Zizek menjelaskannya sebagai barbarisme, dan menyinggung kita apakah akan menjadi pilihan wajah dan kepercayaan kita, atau tidak.
Tentu pandemi membuka peluang untuk menutup demokrasi. Tapi hal itu bukan berarti mengabaikan kedaulatan dari pemilik demokrasi (baca: rakyat). Kehadiran parlemen harus mampu mengerahkan keterbukaan untuk mencapai suatu kebajikan.
Kini beban moral parlemen sebagai ujung “aspirasi rakyat” yang terlembagakan sedang diuji. Apalagi kita ingat survei LSI tahun lalu mengukur bahwa parlemen sebagai lembaga yang paling kurang dipercaya–dibandingkan Presiden dan KPK.
Perilaku politik inilah yang harus diperbaiki sehingga tidak mengalami krisis integritas. Karena dengan lembaga ini segala aspirasi dan kehendak rakyat bisa mempunyai legalitas. Bukan malah menghindar pada salah satu audiensi dengan mengurungkan untuk berunding, namun kemudian keesokannya langsung studi banding. Ajaib bagi demokrasi.
Untuk itu, karena dengan demokrasi pulalah–sebagaimana dikatakan oleh C.F. Strong—rakyat akan selalu menuntut adanya representasi, partisipasi, dan tanggung jawab politik.
—- Support KAPOL with subscribe, like, share, and comment —-
Youtube : https://www.youtube.com/c/kapoltv
Portal Web: https://kapol.tv
Twiter : https://twitter.com/kapoltv
Facebook : https://www.facebook.com/kabar.pol
Instagram : https://www.instagram.com/kapol_id
Portal Inside : https://kapol.id/