KAPOL.ID–Aliansi Masyarakat Peduli Galunggung (AMPEG) mengadu ke DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (12/1/2021).
Komisi III memediasi AMPEG bertemu dengan Dinas Perizinan, Pariwisata, LH, Tarkim, Perhubungan, Balai Pengawas Pertambangan, dan BPBD; di ruang paripurna DPRD.
AMPEG membawa keluhan masyarakat Kampung Pasir Ipis, Desa Padakembang yang merasa dibohongi CV Trican.
Kata Ketua AMPEG, Denden Anwarul Habibudin, CV Trican mengklaim telah mengantongi izin masyarakat dan pemerintah untuk penambangan pasir di Leuweung Keusik.
Sejatinya, masih kata Denden, persoalan terkait Leuweung Keusik sudah mencuat sejak lama. Bahkan masyarakat setempat sempat bereaksi dengan menggelar demonstrasi.
“Aksi kami tahun 2012 melahirkan surat pernyataan bersama antara masyarakat dengan Bupati Uu (Ruzhanul Ulum). Isinya untuk memberhentikan dan menindak pengusaha yang berencana melakukan eksploitasi Leuweung Keusik,” ujar Denden.
Namun nyatanya, Denden kemudian mendapat informasi bahwa CV Trican memproses perizinan penambangan pasir (galian C) sejak 2014. Keluarlah rekomendasi dari pemerintah dua tahun kemudian (2016).
“Pada tahun 2019 keluarlah izin, bahkan sampai IUP-OPK (Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus). Itu informasi yang kami terima,” lanjutnya.
Terkait perizinan itu, semua instansi pemerintah yang hadir di hadapan AMPEG dan Komisi III menginformasikan bahwa yang berwenang mengeluarkan izin adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Denden mengaku paham akan hal tersebut. Tapi baginya, izin tidak mungkin keluar tanpa rekomendasi dari pemerintah daerah. Tentu mesti ada persetujuan masyarakat sekitar juga.
“Masyarakat dan semua yang terlibat di sana menyatakan tidak setuju. Memang sempat melibatkan masyarakat, tetapi waktu itu tidak bicara soal tambang, tapu pembuatan jalan menuju tempat wisata Citiis,” terang Denden lebih lanjut.
Pada saat pembicaraan pembenahan jalan menuju Citiis, kata Denden, masyarakat dimintai membubuhkan tanda tangan. Ternyata, ada pihak yang memanfaatkan tanda tangan tersebut untuk kepentingan lain, dengan cara menjadikannya lampirkan sebuah berita acara.
Atas kenyataan tersebut AMPEG menangkap kesan bahwa sosialisasi izin penambangan pasir dilakukan secara diam-diam, tanpa prosedur yang jelas dan menyeluruh. Bahkan di desa, kecamatan, dan dinas terkait sama sekali tidak ada arsip perizinannya.
Lebih jauh dari itu, AMPEG menduga ada indikasi konspirasi terkait proses perizinan. Buktinya, saat dikonfirmasi, mulai dari pemerintah desa, kecamtan, hingga instansi terkait malah saling melempar masalah: siapa yang menerbitkan rekomendasi awal.
“Alasan intansi terkait dalam mengeluarkan rekomendasi perizinan juga sama sekali tidak berdasarkan proses kajian yang mendalam, terkesan tanpa koordinasi dan sembrono,” lanjutnya.
Kalau saja ada kajian yang komprehensif, kata Denden, pertambangan pasir di Leuweung Keusik jelas kontradiktif dengan status Gunung Galunggung sebagai geopark nasional. Lokasinya pun berdekatan dengan kantor meteorologi dan geofisika.
Pada akhirnya AMPEG menuntut lima hal dari semua pihak. Pertama, instansi terkait sebaiknya meninjau kembali wilayah Leuweung Keusik.
Kedua, AMPEG meminta pemberhentian aktivitas CV Trican sekaligus menurunkan alat berat dari Leuweung Keusik sampai selesai proses peninjaun kembali.
Ketiga, AMPEG meminta penindakan terhadap para pengusaha dan instansi yang seakan memanipulasi proses perizinan sehingga merugikan masyarakat dan merusak kearifan lokal.
Keempat, AMPEG meminta surat pernyataan dari intansi terkait untuk menyikapi masalah yang dibawanya ke gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
Kelima, AMPEG mendorong Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya–dalam hal ini Dinas Pariwisata–segera menetapkan seluruh kawasan Gunung Galunggung sebagai daerah hutan lindung dan cagar budaya.
Dengan demikian tidak akan ada lagi oknum pengusaha yang berani memanipulasi data untuk perizinan.