BISNIS

Net Zero: Semua Pihak Belum Serius Adopsi Peta Jalan Pengurangan Sampah

×

Net Zero: Semua Pihak Belum Serius Adopsi Peta Jalan Pengurangan Sampah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: Petugas menunjukkan kontainer berisi sampah plastik yang mengandung limbah beracun B3 di Terminal Peti Kemas Koja, Jakarta Utara, Rabu (18/9). [Suara.com/Arya Manggala]

KAPOL.ID – Rencana strategis pengurangan sampah plastik di level nasional belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan meski pemerintah telah mendorong pelaksanaannya dalam empat tahun terakhir sejak 2019.

Laporan riset Net Zero Waste Management Consortium menyebut katakseriusan semua pihak dalam implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah terlihat dari sampah serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, yang masih mendominasi timbulan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir sampah di enam kota besar.

Riset mengacu pada hasil audit investigasi sampah plastik yang digelar serentak tim peneliti Net Zero di Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya dan DKI Jakarta. Audit investigasi tersebut mencakup pengumpulan, pemilahan dan identifikasi sampah di 17 sampel Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di setiap kota. Laporan juga memasukkan data hasil jajak pendapat Litbang Kompas terkait persepsi masyarakat atas permasalahan sampah plastik.

“Hasilnya teridentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek,” kata Ahmad Safrudin, lead researcher Net Zero, dalam peluncuran laporan riset bertajuk “Potret Sampah 6 Kota: Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya dan DKI Jakarta” di Jakarta pada Rabu, 22 November. Ahmad mengatakan, “serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA di enam kota besar”.

Temuan tersebut mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif, katanya.

Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk.

Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Nila Kirana dari Litbang Kompas menjelaskan temuan lapangan tersebut sejalan dengan survei persepsi publik di enam kota atas persoalan sampah.

“Dari survei Litbang Kompas, diketahui sampah dari kemasan produk makanan, produk minuman, produk kecantikan dan kebersihan, dan produk kesehatan merupakan sampah kemasan yang dominan menurut persepsi masyarakat” kata Nila. “Jajak pendapat juga mendapati 77,5% responden yang tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen serta terdapat 75,7% responden yang tidak pernah mengumpulkan produk yang sampahnya dikumpulkan oleh produsen.”

Menurut Nila, hasil jajak pendapat di enam kota ini cukup memberi gambaran apa yang ada di pikiran masyarakat, apa yang mungkin telah berkembang menjadi persepsi masyarakat, mindset masyarakat dan bahkan ada di antaranya yang telah menjadi kebiasaan yang nyaris mempengaruhi kultur masyarakat dalam mengelola dan memperlakukan sampah.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Vivien Rosa Ratnawati, menyambut baik temuan riset tersebut. “Riset ini memberikan masukan kepada Pemerintah dan para pihak terkait untuk mereview dan memberikan fokus untuk efektivitas pelaksanaan program pengurangan sampah,” katanya.

Menurut Vivien, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen memang sebenarnya ditujukan kepada para produsen agar mereka segera mengurangi kemasan produk yang sulit diurai oleh proses alam, tidak dapat didaur atau digunakan ulang.

Ahmad Safrudin menjelaskan audit investigasi sampah di enam kota berhasil menghadirkan potret faktual pengelolaan sampah.

“Pengamatan selama audit sampah di 6 kota menunjukkan belum ada praktik pengurangan sampah melalui pengumpulan dan pembuangan terpilah dengan berorientasi pemanfaatan sampah seoptimal mungkin,” katanya. “Semua masih berlaku sebagaimana adanya (business as usual).”

Dia mengkritisi pemerintah Kabupaten/Kota yang menurutnya tidak menyiapkan sistem dan infrastruktur program pengurangan sampah dengan penempatan dan pengumpulan terpilah. “Inisiatif warga baik pribadi maupun komunal di level RT/RW pupus ketika menyaksikan bahwa petugas sampah kembali menyatukannya (di gerobak sampah, di TPS, di truk, di TPA) atas sampah hasil pilahan mareka.”

Sebenarnya, menurut Ahmad, pemulung dengan jaringan lapak dan agen barang-barang bekas telah mandiri dalam penyerapan sampah berpotensi daur ulang dan guna ulang. “Namun karena aktivitas mereka murni bermotif ekonomi, bisa dimaklumi bila jenis sampah yang kurang/tidak bernilai ekonomis cenderung mereka terlantarkan, dibakar ditimbun di tanah kosong, atau dibuang di kali.”

Selain itu, dia menyebut peran bank sampah masih belum signifikan lantaran melulu berorientasi pada sampah bernilai tinggi sehingga tidak berbeda dengan pelapak/pemulung yang sebatas melakukannya dengan motif ekonomi. “Sebagian bank sampah hanya hadir di waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada kunjungan (pejabat, tamu studi banding), project simulant, dll. sehingga banyak sampah yang tidak terserap.”

Secara keseluruhan, Ahmad Safrudin menyatakan, “Situasi di 6 kota menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih sebatas pada pengelolaan fisik semata (alat/tenaga kebersihan, bak sampah, gerobak/truk sampah, TPS, TPA) dan belum berimbang pada pembangunan participatory yang berorientasi pencegahan dan pengurangan.”

Dia juga menybut sebagian besar pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki sense of crisis terkait masalah sampah perkotaan, sehingga kebijakan yang diambil senantiasa hanya melakukan rutinisan dan pengulangan yang terbukti tidak efektif dalam mengelola sampah yang senantiasa meningkat volumenya dari tahun ke tahun. Terbukti, lanjutnya, beban sampah menjadi besar dan bahkan kian mengarah menjadi bencana yang ditandai dengan kebakaran TPA di berbagai kota atau kabupaten pada musim kemarau 2023.