Oleh Nissa Auliyaa Nafisa
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Istilah buzzer mengacu pada individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan informasi atau opini mengenai produk tertentu. Baik itu barang, jasa, maupun gagasan tertentu, melalui platform media sosial. Di era digital saat ini, peran buzzer telah meluas tidak hanya dalam promosi komersial tetapi juga dalam ranah politik.
Dalam dunia politik, buzzer biasanya disewa oleh kandidat atau partai politik yang sedang berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilu). Tujuan utama memengaruhi opini publik, meliputi menyebarkan visi, misi, serta keunggulan kandidat yang mereka dukung. Hingga menyerang lawan politik melalui ujaran kebencian atau berita palsu di media sosial. Di Indonesia, keberadaan buzzer politik pertama kali dikenal luas pada masa Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2012. Sejak saat itu, peran buzzer menjadi semakin menonjol, terutama menjelang perhelatan politik besar seperti Pemilu 2024 kemarin.
Pada Pemilu 2024, buzzer memainkan peran yang signifikan dengan beroperasi melalui berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, TikTok, hingga YouTube. Keberadaan buzzer selama Pemilu 2024 menimbulkan kericuhan, karena mereka menyebarkan informasi yang memicu kontroversi dan perdebatan. Sebagian mempromosikan keunggulan kandidat yang mereka dukung termasuk dengan menyampaikan program kerja, keberhasilan masa lalu, dan visi masa depan. Namun, ada juga mereka yang terlibat dalam menyebarkan serangan terhadap lawan politik. Baik melalui kritik tajam, ujaran kebencian, maupun berita palsu (hoaks). Hal ini kerap memicu reaksi keras dari pendukung lawan, yang membalas dengan kritik serupa, sehingga menciptakan suasana panas dan perdebatan panjang di media sosial.
Literasi
Peran buzzer yang begitu dominan tidak lepas dari karakteristik media sosial sebagai media komunikasi yang cepat, luas, dan interaktif. Media sosial memungkinkan informasi menyebar dalam hitungan detik, menjangkau audiens yang sangat besar tanpa batasan geografis. Sayangnya, sifat inilah yang juga memungkinkan informasi yang salah atau menyesatkan dengan mudah diterima masyarakat. Di negara dengan tingkat literasi yang rendah, hal ini menjadi masalah yang serius. Banyak masyarakat yang menelan mentah-mentah terhadap informasi yang disebarkan buzzer tanpa memverifikasinya terlebih dahulu. Terutama jika informasi tersebut disajikan secara menarik dan meyakinkan, sehingga mudah terpengaruh dan terlibat dalam perdebatan.
Di satu sisi, keberadaan buzzer dalam dunia politik sangat menguntungkan bagi kandidat untuk membantu membangun citra positif di mata masyarakat. Mereka mampu memperkenalkan program kerja dan visi-misi kandidat kepada publik dengan cara yang lebih kreatif dan menarik dibandingkan kampanye tradisional. Dengan memanfaatkan kekuatan media sosial, buzzer dapat menjangkau kelompok pemilih muda yang memang suaranya sangat dibutuhkan ketika Pemilu 2024 kemarin. Serta sering kali lebih aktif di dunia digital daripada di dunia nyata.
Keberadaan buzzer sering kali memicu kontroversi dan polemik. Banyak buzzer yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara tidak etis untuk memenangkan kandidat yang mereka dukung. Mereka menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda negatif terhadap lawan politik. Tidak hanya mencemarkan nama baik kandidat yang diserang tetapi juga memperkeruh suasana politik secara keseluruhan.
Dalam konteks Pemilu 2024, peran buzzer sering kali menjadi sumber kericuhan di media sosial. Pendukung masing-masing kandidat terlibat dalam perang argumen yang tidak jarang disertai dengan kata-kata kasar, ancaman, dan fitnah. Situasi ini semakin diperparah oleh rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia, yang membuat banyak masyarakat mudah terprovokasi.
Bagi masyarakat, keberadaan buzzer sebenarnya bisa memberikan manfaat. Tidak jarang buzzer mampu menggali dan mengungkap latar belakang serta informasi-informasi mengenai pihak yang didukung maupun yang menjadi lawan mereka. Informasi ini, jika dikelola dengan bijak, dapat membantu masyarakat untuk berpikir lebih kritis dalam menentukan pilihan politik. Oleh karena itu, masyarakat perlu memverifikasi terlebih dahulu informasi yang diterima melalui media sosial, mengenali ciri-ciri hoaks. Dan mengembangkan pola pikir kritis terhadap berbagai hal yang dibaca di media sosial.***