raE revolusi industri 4.0 dengan isu gender yang terus digaungkan, ternyata belum banyak berpengaruh terhadap peran perempuan dalam mengambil kebijakan terhadap kepentingan publik. Begitupun terhadap kebutuhan perempuan itu sendiri. Padahal perencanaan pembangunan kini mulai bergeser kepada partispatif dan bottom up. Perencanaan pembangungan adalah suatu pengarahan sumber-sumber pembangunan (termasuk sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efisien dan efektif (Tjokroamidjojo, 1979).
Kita mengenal berbagai perencanaan pembangunan, yaitu Perencanaan Pembangunan Nasional, Perencanaan Pembangunan Daerah, Perencanaan Pembangunan Kota dan Perencanaan Pembangunan Desa. Keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan pada berbagai regional kebanyakan hanya diartikan secara fisik, yaitu lebih kepada terpenuhinya kuota minimal. Baik keterwakilan dalam dewan perwakilan ataupun dalam suatu musyawarah seringkali terkesan sebagai mobilisasi. Belum fokus kepada terangkatnya pemikiran dan kebutuhan perempuan.
Di desa misalnya dalam proses Musyawarah Desa Perencanaan Penganggaran Dana Desa tidak banyak perempuan serta kelompok marginal lain yang dilibatkan. Begitupun APBDes yang dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat sangat minim apalagi yang secara khusus mewakili kebutuhan perempuan. Umumnya hal tersebut terjadi karena Pemerintah Desa kurang membuka akses informasi dan menyediakan sarana partisipasi serta rendahnya kesadaran masyarakat. Disisi lain, belum semua Pemerintah Kabupaten mempunyai regulasi yang menjamin semua lapisan masyarakat terlibat dalam Perencanaan Pembangunan di Desa.
Desa layak dijadikan sample untuk melihat peran perempuan dalam Perencanaan Pembangunan. Karena 80% wilayah indonesia adalah Desa yang berjumlah 74.754 dan lebih dari 54% penduduk Indonesia tinggal di Desa (Seditjen PKP, 2014). Kini sering didengungkan bahwa membangun Desa adalah membangun Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Desa adalah simpul terkecil dari pembangunan Indonesia.
Perempuan di wilayah Perdesaan secara geografis mempunyai jarak dalam mengakses pelayanan publik dan sumber-sumber ekonomi. Selain itu ada beberapa hambatan dalam pelibatan perempuan dalam ruang publik. Yang pertama adalah dari faktor keluarga dan stigma masyarakat. Tugas rumah tangga dan mengurus anak yang seolah keseluruhanya adalah kewajiban seorang istri atau perempuan. Membuat perempuan secara keluangan waktu mempunyai keterbatasan. Dikarenakan pekerjaan dan pelayanan di rumah seakan tidak pernah ada habisnya. Hambatan selanjutnya dari pihak stake holder sendiri. Ialah berkaitan dengan kebijakan dan pengalokasian anggaran. Kebijakan pemerintah belum move on dari sekedar pemenuhan kuota perempuan dan pembangunan fisik.
Keterlibatan perempuan dalam perencaanan sebenarnya sangat juga berkaitan dengan bagaimana sebuah desa dapat bertahan dalam kebutuhan dasarnya. Perempuan adalah orang yang paling mengetahui berapa banyak air yang dibutuhkan dalam sehari untuk mandi dan masak, berapa banyak beras yang harus dinanak untuk makan sekeluarga, berapa rupiah yang dihabiskan untuk bumbu dapur, apakah bayinya bertambah besar atau tidak setiap bulan, sampai kepada panganan atau mode baju yang sangat disukai dan ngetrend di lingkungan.
Kepekaan dan kesadaran semacam itu apabila difasilitasi akan membawa kepada pengusulan-pengusulan yang bersifat pencegahan dan pemanfaatan. Misalnya, pemanfaatan pekarangan untuk penanaman bumbu dapur atau apotek hidup, pencegahan stunting, pencegahan malaria dan diare, pengadaan air bersih, pembangunan wc umum hingga peningkatan keterampilan perempuan serta banyak contoh lainya. Secara tidak langsung perihal tersebut adalah perencanaan pembangunan dalam bidang ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan hingga ekonomi. Sehingga perencaan pembangunan tidak melulu bersifat maskulin seperti pembangunan jalan, irigasi, TPT dan yang menyangkut fisik semata.
Dukungan dalam mewujudkan hal tersebut pertama ialah dengan membangun akses yang memudahkan keterlibatan perempuan, memberi kesempatan dan kemudahan kepada perempuan untuk turut rembug dan berpartispasi aktif dari sejak penggalian gagasan hingga perencanaan. Langkah awal yang paling fundamental adalah dukungan anggota keluarga dengan berbagi peran/tugas dalam ruang privat dan tugas domestik akan sangat mengakomodir perempuan untuk berkiprah dalam masyarakat.
Langkah selanjutnya memastikan informasi mengenai kegiatan musyawarah disebarluaskan hingga tingkat rukun tetangga dan keluarga. Dilanjutkan dengan menyediakan formulir sederhana untuk diisi oleh perempuan terhadap permasalahan dan kebutuhanya serta mendekatkan kegiatan musyawarah dalam lingkup kecil ditingkat rukun tetangga/rukun warga/dusun akan memudahkan perempuan untuk turut serta berperan dalam kegiatan tersebut.
Sedangkan musyawarah yang lebih besar seperti di Desa, Kecamatan ataupun Kabupaten perlu dipastikan kemudahan akses (jalan) dan akomodasi (sarana transportasi). Bila perlu, ketika Musyawarah Desa diselenggarakan, ada ojeg atau angkutan desa khusus yang diberdayakan untuk mengangkut wakil-wakil perempuan ke desa.
Kedua dengan memastikan kontrol terhadap keterlibatan perempuan apakah hanya sebatas formalitas atau sudah masuk dalam kapasitas. kontrol dapat dimulai dari adanya anggaran khusus terhadap usulan perempuan atau kebutuhan perempuan. Partisipasi perempuan harus dipastikan bukan sekedar formalitas dan kuantitas. Tetapi munculnya usulan-usulan kebutuhan perempuan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan hendaknya menjadi indikator peran serta perempuan secara kualitas. Untuk memacu perihal tersebut, apakah pemerintah perlu untuk memberikan kontribusi lebih terhadap desa, ataukah tidak cukup hanya seperti itu, lebih jauhnya kepastian partisipasi perempuan harus termaktub dalam sebuah regulasi.
Ketiga perempuan harus diberikan ruang dan dukungan dalam mengakselerasi kebutuhanya. Salah satunya adalah difasiltasinya pertemuan dan musyawarah khusus kaum perempuan. Perempuan bersatu mengemukakan pemikiran dan merumuskan perencanaan untuk kepentingan bersama. Pendampingan terhadap peran perempuan juga perlu dilakukakan. Belum terbiasanya perempuan khususnya di desa dalam mengemukakan pendapat, kadang membuat mereka kikuk dan tidak percaya diri. Pendampingan-pendampingan ini bisa saja memerankan PKK ataupun ormas-ormas perempuan seperti ‘Aisyiyah, Muslimat, Salimah dan lain sebagainya yang mempunyai konsen dalam pemberdayaan perempuan.
Memberikan peluang seperti ini mungkin membutuhkan pembiayaan yang lebih besar. Tetapi lebih lanjut akan membangun generasi yang lebih kuat dari berbagai sisi. Sudah selayaknya perencanaan hingga evaluasi bersifat responsif gender. Semua terlibat dan tidak ada diskriminasi. Hal ini sesuai dengan semangat UU No 6 2014 tentang Desa yang mengharuskan perencanaan pembangunan dimulai dari lingkup terkecil. Selain itu, keterlibatan perempuan adalah syarat dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Allah tidak pernah membedakan permohonan dan amal saleh baik itu laki-laki ataupun perempuan. “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195). Sedangkan menurut Vivekananda; Negara tidak akan sejahtera bila perempuan ditinggalkan, disisihkan, dan tertindas.