JAKARTA, (KAPOL).- Dibandingkan 32 provinsi lain yang ada di Indonesia, rasio elektrifikasi di Papua dan Papua Barat masih tertinggal.
Sesuai data yang dipaparkan Direktur Bina Program Kelistrikan Kementrian ESDM Jisman S, untuk mencapai Rasio Desa Berlistrik (RDB) 100 persen di Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2020 nanti, masih ada 414 desa dengan 78.000 rumah yang harus dilistriki.
Berkat perjuangan tim EPT seperti Simson Donyadone, mahasiswa program D3 Teknik Elektro Universitas Cendrawasih, Jayapura, kini terkumpul data akurat metode yang dianggap tepat untuk melistriki ratusan desa di Papua dan Papua Barat.
Rincian jumlahnya, 39 desa direncanakan menggunakan teknologi tabung listrik (Talis), 41 desa menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dan Piko Hidro (PLTPH),179 desa rencananya disambungkan ke system jaringan listrik (grid) PLN yang telah ada.
Selain itu, 286 desa akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Biomassa (PLTBm), serta selebihnya 297 desa akan diterangi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Biomassa (PLTBm).
Piko Hidro di Kwaedamban Data tersebut pun telah ditindaklanjuti dengan pemancangan program “1.000 Renewable Energy for Papua.”
Program inilah yang mengeksekusi hasil survei EPT. Desa pertama yang dilistriki adalah Kampung Kwaedamban, Distrik Bormeo, Pegunungan Bintang pada pertengahan Oktober 2018.
Meski berlokasi di pedalaman Pegunungan Bintang, namun kampung ini memiliki prasyarat yang tepat untuk dialiri listrik dengan pembangkit Piko Hidro.
Di antaranya, potensi aliran air bagus, kondisi keamanan kondusif, dan seluruh masyarakat mendukung serta membantu program pembangunannya.
Piko Hidro sendiri merupakan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas sangat kecil, yakni 1-100 KWH. Jauh di bawah cara kerjanya, air yang telah dibendung dialirkan ke dalam bak penampung yang berisi turbin sehingga aliran air akan memutar turbin tersebut. Selanjutnya turbin akan memutar generator yang pada akhirnya menghasilkan listrik.
Kepala Divisi Konstruksi Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Robert Aprianto Purba menjelaskan, keunggulan teknologi PLTPH adalah cocok digunakan di daerah terpencil.
“Piko Hidro hanya butuh ketinggian air 1-3 meter dan debit 30 liter per detik. Jadi cocok digunakan di daerah terpencil,” jelas Robert.
Selain itu biaya investasinya pun tergolong murah sekitar Rp 30 juta per unit dengan biaya pemeliharaan yang minimum dan tidak memerlukan biaya bahan bakar.
Piko Hidro ini pun mudah dirakit dan dioperasikan serta bisa beroperasi selama 24 jam sesuai dengan debit air.
Berkat PLTPH berdaya 1 KWH yang memanfaatkan aliran air sungai Wapra itu, maka 37 rumah di Kwaedamban kini bisa menikmati terang di waktu malam.
Itulah manfaat dari survei Ekspedisi Papua Terang, memetakan sumber pembangkit yang cocok untuk setiap desa di Papua.
“Dengan demikian pembangkit yang kami bangun bisa sesuai dengan karakteristik alam setempat sehingga diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang,” pungkas Robert.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Rasio Desa Berlistrik (RDB) di Provinsi Papua dan Papua Barat saat ini adalah 98,3 persen, yang dicapai melalui kontribusi PLN (48,5 persen), program LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) dari Kementrian ESDM dan listrik swadaya inisiatif pemda-pemda setempat.
PLN berencana mengakhiri kegelapan malam di Papua dengan melistriki 1.724 desa di sana. Dengan demikian, target besarnya pada akhir 2020 rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,9 persen. (KAPOL)***