JAKARTA, (KAPOL).- Sejalan dengan komitmen PLN dalam upaya meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia hingga mencapai 100 persen tahun 2020, di tahun 2018 BUMN tersebut berupaya meningkatkan rasio elektrifikasi dua provinsi yang masih rendah, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.
Menurut Direktur Human Capital Management (HCM) PLN, Muhamad Ali, upaya mengalirkan listrik di “Bumi Cendrawasih” tersebut tidak mudah dilakukan, mengingat sampai bulan Juli 2019 rasio elektrifikasi Provinsi Papua adalah 48,5 persen dan Papua Barat 91,22 persen. Dengan jumlah desa total 7.358, maka masih ada sekitar 1.724 desa yang masih gelap gulita.
Itulah awal mula yang sekaligus menjadi dasar pertimbangan, PT PLN (Persero) Direktorat Bisnis Regional Maluku dan Papua, menetapkan program inisiatif strategis, “Ekspedisi Papua Terang” di tahun 2018.
“Langkah awal yang dilakukan PLN untuk membangun sistem kelistrikan, adalah mengadakan survei kelistrikan, yang menjadi dasar menentukan tahapan atau langkah berikutnya,” jelas Ali.
Karena itu menurut Ali, sebagai kelanjutan dari Ekspedisi Papua Terang, tahun ini PLN menetapkan “Program 1.000 Renewable Energy for Papua,” yang merupakan kerjasama PT PLN (Persero) Direktorat Bisnis Regional Maluku dan Papua dengan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cenderawasih, LAPAN, dan TNI AD.
Kerja keras PLN melalui tim Ekspedisi Papua Terang 2018 diakui alumnus Mapala Departemen (Jurusan) Geografi – Universitas Indonesia, Vita Khairunnisa yang mengaku memperoleh banyak pengalaman selama mengikuti ekspedisi tersebut.
Sejumlah manfaat diperolehnya antara lain berkesempatan melakukan riset sistem informasi geografis untuk pengembangan riset lebih lanjut, khususnya untuk memperoleh data pendukung secara lebih praktis dan efisien.
Berada di Provinsi Papua sekitar satu bulan, Vita belajar banyak hal, seperti bagaimana sikap penerimaan dan penolakan dari masyarakat setempat waktu itu.
Walaupun tim EPT datang dengan niat baik ingin melistriki Papua, tetapi penerimaan dari masyarat setempat tidak selalu sama nadanya.
Ada juga daerah atau distrik yang hanya mau menerima masuknya listrik dari PLN, karena mereka pernah menggunakan PLTS, tetapi pasokan listriknya tidak tetap, sehingga mudah mati lampu (tidak ada aliran listrik).
Itu sebabnya mereka hanya mau jika yang masuk ke distrik mereka, adalah aliran listrik yang bersumber dari PT PLN (Persero).
Dari hasil kajian dan survei yang dilakukan, Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku – Papua PT PLN (Persero) Eman Prijono Wasito Adi mencatat ada empat alternatif EBT yang ditawarkan dalam EPT yakni Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro; Tabung Listrik (Talis); Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm); serta PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Untuk Pikohidro, menurutnya lebih cocok apabila diaplikasikan pada daerah yang memiliki perbedaan ketinggian.
Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro merupakan pembangkit skala sangat kecil yang memanfaatkan energi potensial air untuk menghasilkan listrik berkapasitas hingga 5.000 Watt.
Sedangkan Tabung Listrik merupakan alat penyimpanan energi (energy storage) layaknya power bank, yang digunakan untuk melistriki rumah.
Sementara PLTBm adalah pembangkit listrik skala kecil yang memanfaatkan potensi energi biomassa, seperti bambu, kayu, serat kelapa sawit dan bahan organik kering lainnya.
PLTBm yang dikembangkan oleh PLN Regional Maluku dan Papua berkapasitas 3 – 10 kW.
Seperti yang kita kenal selama ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), menjadi alternatif melistriki daerah yang sulit dijangkau oleh transportasi darat.
Karena itu dengan mengandalkan sumber energi matahari, maka sangat cocok untuk kawasan terpencil. (KAPOL/rls)***