OPINI

Problematika Penegakan Hukum di Indonesia

×

Problematika Penegakan Hukum di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh Jaja Mardiansyah
Mahasiswa STISIP Tasikmalaya

Manusia merupakan hewan politik di mana dalam mendapati makna hidupnya ia harus ikut bergabung dalam sebuah komunitas. Dimulai dari komunitas terkecil yakni keluarga, masyarakat hingga yang lebih besar yaitu negara (Aristoteles). Hubungan dalam komunitas tersebut bukan hanya hubungan dalam artian sosial, melainkan lebih dalam dari itu. Yakni memperoleh atau mencukupi semua kebutuhannya. Dalam interaksinya acapkali terjadi bentrokan kepentingan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Hal tersebut lantaran manusia merasa bahwa dirinya mempunyai kebebasan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Kebebasan yang dimiliki oleh manusia tersebut pada nyatanya tidak selalu membawa ke arah yang baik. Oleh sebab itu diperlukan suatu ketentuan-ketentuan yang dapat mengatur hubungan antara manusia tersebut. Ketentuan itu biasanya mengatur bagaimana batasan dari tingkah laku manusia, sehingga kehidupan yang harmonis di antara manusia pun dapat terwujud. Ketentuan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah hukum.

Hukum bukan hanya mengatur suatu masyarakat, melainkan juga mengatur bagaimana suatu negara berjalan. Hal tersebut lantaran ketika negara tidak mempunyai hukum, maka yang terjadi adalah kekacauan dimana-mana. Serta keadilan dan kebaikan yang menjadi cita-cita dari adanya negara pun tidak terwujud.

Begitupun dengan negara Indonesia. Negara yang telah berdiri selama 77 tahun ini telah menjalankan konsepnya sebagai negara hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 maupun dalam batang tubuhnya. Para pendiri negaranya bercita-cita untuk membangun sebuah negara hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam pancasila. Bahkan dalam penjelasannya disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum bukan hanya berdasarkan kekuasaan belaka. Lebih jelas diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Amandemen.

Hukum di Indonesia

Walaupun negara Indonesia merupakan negara hukum, sampai sekarang persoalan hukum merupakan persoalan yang tak kunjung tertuntaskan. Hukum yang dimaksudkan tidak jarang gagal dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Supremasi hukum yang diamanatkan oleh konstitusi gagal dilaksanakan. Tidak jarang para aparatur penegak hukumnya seperti jaksa, hakim, polisi dan advokat ikut terlibat dalam memainkan hukum. Bahkan istilah mafia hukum sudah tidak asing ditelinga kita semua.

Masyarakat menyebut realitas ini dengan sebutan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Itu mencerminkan bagaimana asas equality before the law atau kesamaan di depan hukum baru hanya slogan semata.

Masalah-masalah yang menimpa hukum kita cukup kompleks, mulai dari dijadikannya hukum kita sebagai alat pembenaran atas kehendak penguasa, baik yang akan dilakukan maupun yang terlanjur dilakukan (positivistik-instrumentalistik). Hingga lembaga peradilan kita yang tidak jarang diwarnai dengan praktik-praktik korupsi, mafia peradilan dam ketidak jujuran dalam penegakan hukum. Hal ini marak terjadi karena adanya intervensi dari lembaga negara seperti presiden dan DPR. Padahal dalam konstitusi kita sudah jelas menyebutkan bahwasannya kehakiman merupakan lembaga yang independen, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam menegakan hukum. Namun, hal tersebut hanyalah hitam diatas putih belaka. Karena pada nyatanya pelaksanaannya jauh dari itu, terbukti dengan dipecatnya hakim MK Aswanto oleh DPR, karena membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR. Padahal memang sudah menjadi tugasnya untuk melakukan hal tersebut. Ketika peraturan yang dibuat bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan, baik dari segi formil maupun materiil nya.

Berbagai upaya telah pemerintah lakukan dalam mengatasi permasalahan ini, seperti pembentukan Komisi Hukum Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial, Satgas Mafia Hukum dan lain-lain. Namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Apa yang menjadi permasalahan hukum di Indonesia sampai saat ini belum juga tertuntaskan. Bahkan lembaga-lembaga tersebut tidak jarang diragukan oleh masyarakat.

Tingkat kepercayaan

Hal tersebut diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa Kejaksaan Agung mempunyai tingkat kepercayaan masyarakat sebesar 72%, KPK sebesar 65% dan kepolisian memiliki tingkat yang paling rendah, yakni hanya sebesar 60%.

Hasil survei ini tentu menunjukan bagaimana kurang baiknya para institusi penegakan hukum kita. Bahkan mirisnya kepolisian yang posisinya paling dekat dengan masyarakat merupakan yang paling kurang dipercayai oleh masyarakat. Tidak jarang masyarakat merasa tidak aman ketika berpapasan dengan polisi di jalan, karena terlalu seringnya oknum polisi melakukan penilangan tak berdasar yang hanya bertujuan untuk mendenda masyarakat.

Rendahnya kepercayaan tersebut penulis kira bukan tanpa alasan, mengingat banyaknya kasus yang menjerat para aparatur penegakan hukum. Seperti kasus suap yang dialami oleh jaksa Pinangki, kasus Sambo, dan yang mungkin masih teringat di masyarakat kebijakan tes TWK yang cukup mengganjal bagi sebagian masyarakat. Terlebih dalam tes tersebut mengeluarkan beberapa penyidik senior yang terbukti mempunyai kompetensi dan pengalaman dalam melakukan penegakan hukum.

Solusi Permasalahan Hukum

Oleh sebab itu diperlukan upaya lain dalam memperbaiki kualitas penegakan hukum di Indonesia. Berikut beberapa hal yang penulis kira perlu dilakukan guna meningkatkan kualitas penegakan hukum di negara kita. Pertama, adalah memperbaiki peraturan ataupun hukum itu sendiri, di mana di Indonesia sendiri masih terlalu banyak pasal-pasal ataupun aturan yang sifatnya tumpang tindih. Disamping itu acapkali tidak ada penafsiran yang jelas mengenai aturan yang tertulis tersebut. Sehingga memiliki peluang untuk ditafsirkan sekehendak penguasa.

Kedua, yang perlu diperbaiki dalam upaya menegakan hukum di Indonesia adalah dengan cara memperbaiki mental para aparatur penegak hukumnya. Karena para aparatur penegak hukum inilah yang menjadi ujung tombak dari penegakan hukum di Indonesia. Baik tidaknya proses penegakan itu tergantung mereka. Mental korup, licik, dan pengikut hawa nafsu dari mereka perlu disingkirkan, dan diubah menjadi mental integritas, jujur dan bijaksana.

Ketiga, fasilitas penegakan hukum. Fasilitas yang dimaksud d isini adalah semua teknologi yang memungkinkan para aparatur penegak hukum dapat bergerak dengan cepat dan sigap dalam menangkap dan mengungkap kejahatan. Sehingga peluang pelaku kejahatan untuk kabur semakin kecil, seperti kasus Harun Masiku yang sampai saat ini belum ditemukan.

Terakhir, partisipasi masyarakat. Dalam menyelesaikan permasalahan negara di sebuah negara yang menerapkan konsep demokrasi satu-satunya cara adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Keterlibatan masyarakat dalam ikut mengawasi kehidupan publik tentu mempunyai potensi dalam membongkar kejahatan yang dilakukan. Terbukti baru-baru ini tidak sedikit kejahatan yang terjadi di para pejabat publik kita terbongkar. Seperti sorotan dari para netizen terkait harta kekayaan yang dipamerkan oleh para pejabat di media sosial.

Permasalahan hukum merupakan PR negara Indonesia yang sampai saat ini belum kunjung dituntaskan. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dalam upaya menegakan hukum yang berkeadilan dan sesuai dengan amanah pancasila dan UUD 1945. Mulai dari aturan tertulisnya, mental penegak hukumnya, hingga fasilitas penunjangnya.

Disamping itu dalam hal menyelesaikan permasalahan ini kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Diperlukan keterlibatan kita dalam ikut mengawasi setiap penegakan. Karena sesuatu yang viral saat ini jauh lebih berjalan sesuai aturannya ketimbang yang luput dari pengawasan kita.***