KABAR POLISI

Prof. Muradi: Polri Butuh Penyegaran, Bukan Reformasi

×

Prof. Muradi: Polri Butuh Penyegaran, Bukan Reformasi

Sebarkan artikel ini
Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Muradi

KAPOL.ID – Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Muradi, menilai istilah yang lebih tepat untuk pembenahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat ini bukanlah reformasi, melainkan “penyegaran”.

Menurutnya, penyegaran ini mendesak untuk dilakukan pada tiga level krusial, yakni struktural, budaya, dan manajerial.

​”Kalau saya sih sebenarnya adalah yang dibutuhkan oleh Polri bukan reformasi Polri. Tapi saya menyebutnya lebih ke soal penyegaran di internal Polri,” ujar Muradi, di Bandung, Kamis, (16/10/2025)

​Ia menjelaskan, salah satu kendala utama yang menyebabkan mandeknya dinamika di tubuh Polri adalah belum digantinya pucuk pimpinan setelah terbentuknya pemerintahan baru.

Idealnya, kata dia, di banyak negara demokratis, pergantian kekuasaan akan diikuti dengan penggantian tiga pimpinan lembaga strategis: pimpinan Polri, pimpinan militer, dan Kejaksaan.

​”Idealnya di banyak negara begitu pemerintahan baru, tiga itu harus diganti. Tiga ini kan belum diganti. Ya wajar kalau Pak Prabowo punya kendala-kendala, karena tiga ini belum dia pegang. Instrumen kejaksaan, militer, dan kepolisian,” katanya.

​Menurut Muradi masa jabatan pimpinan Polri idealnya tidak lebih dari tiga tahun. Pembatasan ini penting untuk dua hal utama yaitu regenerasi dan penyegaran organisasi. Masa jabatan yang terlalu lama dapat menimbulkan kejenuhan dan menghambat laju kaderisasi perwira di bawahnya.

​”Di polisi, tiga tahun itu kelamaan. Maksimal tiga tahun. Karena apa? Karena ada regenerasi dan penyegaran. Dengan penyegaran ini, dia akan dorong angkatan di bawahnya ke atas. Jadi misalnya sekarang ’91, nanti mungkin ’93 atau ’94, lebih fresh. Roda itu jalan,” ucapnya.

​Muradi juga memaparkan bahwa model hubungan polisi dengan pemerintah di Indonesia saat ini masuk dalam kategori Government Police. Dalam model ini, pemerintah masih memiliki ruang untuk melakukan intervensi terhadap kerja-kerja kepolisian.

​”Polisi Indonesia itu sekarang ada di posisi Government Police. Artinya, polisi itu masih bisa nego. Pemerintah masih melakukan intervensi terkait dengan orang ini diambil, orang ini enggak,” tuturnya.

​Model ini, lanjutnya, berbeda dengan model ideal di negara demokrasi maju, yakni Full Independent Police, Ketikabpolisi memiliki batasan (barrier) yang jelas dan tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan.

Hal ini sejalan dengan doktrin “Satya Haprabu” yang dianut Polri, pada doktrin ini kesetiaan tertinggi adalah kepada negara (Prabu), bukan kepada presiden atau kepala daerah.

​”Prabu-nya itu bukan Presiden, bukan Kepala Daerah. Prabunya itu negara. Nah itu yang diskusi itu panjang sebenarnya,” kata Muradi.

​Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa solusi untuk membenahi Polri tidak memerlukan pembentukan tim reformasi baru yang kompleks. Kuncinya, kata dia, terletak pada kemauan politik (political will) Presiden untuk memperkuat lembaga pengawasan eksternal yang sudah ada, yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

​”Problem ini bukan problem sulit. Tidak perlu lagi bikin tim reformasi. Sudah aja direvisi Perpres-nya untuk memaksimalkan peran dari Kompolnas. Sesimpel itu sebenarnya. Semua bola ini ada di tangan Presiden. Mau bikin apa? Yang penting adalah pengawasannya lebih efektif,” ujarnya.