OPINI

Telaah UU Pilkada dan UU Pemilu dalam Mutlak Muqayyad Ushul Fiqh

×

Telaah UU Pilkada dan UU Pemilu dalam Mutlak Muqayyad Ushul Fiqh

Sebarkan artikel ini

Oleh Dani Kamaludin, S.Th
Ketua Instruktur PC GP Ansor Kota Tasikmalaya

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui PKPU nomor 3 tahun 2022, telah merilis Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR RI dan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil) yaitu pada tanggal 14 Februari 2024. Nantinya ditanggal tersebut rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih masing-masing akan mendapatkan 5 kertas suara seperti pada tahun 2019 lalu.

Adapun untuk pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati, Walikota direncanakan pada tanggal 27 November 2024 nanti. Perbedaan waktu ini tidak lepas dari dasar hukumnya dimana untuk pemilihan umum untuk anggota DPR, DPRD, DPD dan Presiden yang dikenal dengan Pemilu menggunakan UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Sementara untuk Pemilihan Kepala Daerah menggunakan UU Pilkada No 10 tahun 2016.

Implikasi dari perbedaan UU Pilkada dan UU Pemilu ini tidak hanya pada waktu pelaksanaannya, namun juga menyasar kepada istilah yang digunakan. Contohnya adalah penyebutan pengawas tingkat kabupaten/kota dalam UU Pilkada disebut Panwas Kabupaten/Kota termuat Pasal 24 ayat 2 menyebutkan “Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi. Sementara dalam UU Pemilu istilah yang digunakan bagi pengawas tingkat kab/kota adalah Bawaslu Kabupaten/Kota dan dibentuk oleh Bawaslu, bukan Bawaslu Provinsi seperti di UU Pilkada.

Adapun pengertian Bawaslu baik dalam UU Pilkada dan UU Pemilu adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya saja berkonsep kelembagaan berbeda yaitu: 1.) Penambahan jumlah keanggotaan Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/Kota; 2.) Perubahan Status Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota dari yang bersifat adhoc menjadi permanen. 3.) Adanya penegasan sifat keorganisasian Bawaslu yang bersifat hierarkis pada UU Pemilu, dengan menekankan fungsi supervisi dan pembinaan; 4.)
Berdasarkan UU Pemilu, memunculkan peraturan presiden tentang organisasi sekretariat lembaga Bawaslu (Jurnal Supremasi, 2020:3)

Untuk perbedaan istilah ini, melalui Putusan Mahkmamah Konstitusi Nomor 48/PUU/XVII/2019. Mahkamah Konstitusi telah memutus bahwa “Frasa Panwas Kabupaten/Kota tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai Bawaslu kabupaten/kota”.
Panwas Kabupaten/Kota dalam UU Pilkada harus dipahami pula sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu. Dimana pada saat penyelenggaraan Pemilu, bertindak sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai UU Pemilu, dan pada saat Pilkada bertindak sebagai Panwas Kabupaten/Kota sesuai UU Pilkada.
Pandangan hukum seperti ini berdasarkan asas lex specialist derogat legi general (hukum yang khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum). Dan asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama). Atau dikenal dengan kaidah ushul fiqh:
حَمْلُ المُطْلَقِ عَلٰى المُقَيَّدِ

Mengikutkan hukum pada suatu lafad yang mutlak pada suatu nash, kepada nash lain digunakan dengan muqayyad dengan catatan sama pada hukum dan sebabnya (Wahbah:1986, 207).***