OPINI

Problematika Penanganan Covid-19

×

Problematika Penanganan Covid-19

Sebarkan artikel ini
Erlan Suwarlan

DALAM tulisan saya sebelumnya bahwa dalam penanganan dampak covid-19 itu ada dua hal yang bisa berpengaruh terhadap produk-produk kebijakan yang dibuat pemerintah dan atau langkah-langkah yang akan ditempuhnya yakni: cara pandang dan kemampuan keuangan. Berkaitan dengan cara pandang yang saya maksud, yaitu dengan melihat fenomena yang terjadi misalnya yang terepresentasikan dari sejumlah pernyataan-pernyataan pejabat yang banyak muncul di media.

Seperti yang kita saksikan bersama dalam masa awal pandemi di Indonesia, banyak pernyataan-pernyataan dari pejabat di lingkaran pemerintah yang dianggap blunder dan terekam oleh media (jejak digital) yang terkesan menyepelekan. Pernyataan tersebut mulai dari presiden hingga menteri-menteri. Presiden misalnya sempat menyatakan bahwa, “virus corona tidak terdeteksi di Indonesia” (27/1). Menteri Airlangga menyatakan, ”karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk”. Kemudian penyataan Menteri Perhubungan menyatakan, “kita kebal corona karena doyan nasi kucing (17/2), faktanya beliau sendiri menteri pertama yang dinyatakan positif. Selanjutnya Menteri Luhut Binsar Panjaitan berkelakar, “Corona masuk Batam? Hah? Mobil Corona. Corona kan sudah pergi dari Indonesia” (18/2).

Berikutnya soal istilah mudik dan pulang kampung dimana definisi menurut presiden dengan menteri perhubungan berbeda. Pada sisi ini ada persoalan komunikasi yang kurang baik. Fenomena tersebut juga dapat dikatakan cukup membingungkan dan merefresentasikan cara pandang yang berimplikasi terhadap kesigapan dalam penanganan pandemi.

Kemudian berkaitan dengan kemampuan keuangan, diakui atau tidak pemerintah terlihat panik, gugup, gagap, terkesan malu-malu dan bahkan gengsi bahwa kemampuan anggaran terbatas. Hal tersebut dipersepsikan bertolak belakang dengan pernyataan presiden ketika masa kampanye soal “duitnya ada”, kemudian ketika mengambil kebijakan tax amnesty soal 11.000 Triliun/di kantongan saya lebih banyak lagi. Terlebih kalau saat bersamaan melihat defisit APBN 2020 yang diproyeksikan melebar menjadi 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 1.039,2 triliun, yang kabarnya dengan defisit tersebut pemerintah berencana ngutang lagi.

Dalam perkembangan saat ini, total anggaran penanganan dampak covid-19 mengalami kenaikan dari semula Rp 405 triliun, menjadi Rp 677,2 triliun, dan terakhir menjadi Rp 695,2 triliun yang terdiri dari: kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, UMKM Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, serta sektoral Kementerian/Lembaga dan pemda Rp 106,11 triliun.

Berangkat dari dua hal yang disebutkan di atas, yakni soal cara pandang dan kemampuan keuangan serta ketika masalah pandemi covid-19 dikatakan sebagai masalah yang sangat kompleks, pada akhirnya dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis antara menyelamatkan ekonomi atau jiwa. Fenomena ini tidak hanya dialami Indonesia, melainkan dialami banyak negara-negara di dunia. Sekaligus respon dan kemampuan tiap negara berbeda-beda.

Konteks Indonesia, dalam perkembangannya saya melihat bahwa pemerintah kita lebih cenderung menyelamatkan ekonomi. Dimana hal tersebut bisa dilihat dari produk-produk kebijakan yang dibuat dan langkah-langkah yang ditempuhnya. Salah satunya terlihat dari produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Boleh jadi kalau keyakinan pemerintah bahwa memiliki uang yang cukup, maka kebijakan dan atau langkah yang ditempuhnya pun akan berbeda. Bisa jadi memilih lock down atau karantina wilayah yang menjamin seluruh warganya bahkan sampai hewan peliharaan.

Dalam catatan saya sekurang-kurangnya ada tujuh produk kebijakan (payung hukum) dalam penanganan covid-19 yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Berkaitan dengan kebijakan, maka secara konseptual esensi kebijakan diperuntukkan untuk empat hal, yakni: memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat; mengatur dan mengendalikan masyarakat; mengalokasikan sumber daya kepada masyarakat; dan dilakukan oleh instansi yang berwenang.

Dari tujuh payung hukum tersebut, saya mencoba menarik garis besar dengan mengerucutkan kepada dua Undang-Undang, yaitu UU Nomor 6/2018 dan UU Nomor 24/2007. Dalam hal ini saya percaya bahwa apapun yang dipilih atau dilakukan oleh pemerintah sudah sedemikian rupa mengkaji persoalan dengan komprehensif. Namun pikiran bebas saya memiliki persepsi bahwa dalam penanganan covid-19 ini secara prinsip presiden tidak mutlak menjalankan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam persepsi saya bahwa kewenangan utama dalam urusan pandemik covid-19 semestinya berada di tangan Kemenkes. Dalam UU 6/2018 sudah diatur sangat teknis. Aturan-aturan teknis berkaitan dengan bidang urusan tertentu yang berada dalam kewenangan kementerian lain, acuan utamanya adalah permenkes. Kemudian secara khusus terkesan ada ketidakharmonisan antara presiden dengan menkes, sehingga memicu banyak menteri dan kepala daerah terkesan jalan sendiri. Sejak awal pandemi ada miskomunikasi, akibat respon menkes yang cenderung lambat sehingga berdampak pada Presiden.

UU 6/2018 cukup spesifik mengatur mengenai kekarantinaan kesehatan, baik endemi, epidemi atau pandemi. Walau kasus covid-19 ini berstatus sebagai darurat bencana berskala nasional, acuannya harus tetap kepada UU 6/2018. Lain halnya jika bencana non alam seperti kecelakaan pesawat, meledaknya reaktor nuklir yang berdampak luas sperti Chernobyl di Ukraina, yang seperti ini bisa mengacu kepada UU 24/2007. Meskipun radiasi nuklir akan berkaitan pula dengan kesehatan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, yang dijadikan acuan utama oleh pemerintah dan Gugus Tugas Penanganan Pandemi Covid-19 lebih kepada Undang-Undang 24/2007 Tentang Bencana Nasional, sehingga kewenangan penyelesaian pandemi beralih ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai leading sector-nya. Pada sisi ini peran menkes dalam gugus tugas terlihat tidak signifikan, padahal tanggung jawab negara dalam pandemi ini adalah ranah kemenkes yang dibantu gugus tugas.

Selanjutnya karena statusnya sudah dinyatakan sebagai darurat nasional bencana nonalam, maka mestinya rumusan kebijakan new normal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres), sehingga menjadi payung hukum bagi kementerian dan semua daerah dalam menjalankan kebijakan new normal. Tentu saja kedua Undang-Undang tersebut sesungguhnya tidaklah bertentangan, namun kecenderungan pada salah satunya turut menentukan terhadap langkah-langkah berikutnya yang akan ditempuh.

Istilah new normal adalah istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Roger Mc Namee pada 2003 yang secara sederhana didefinisikan sebagai pola hidup baru, karena pola hidup lama tidak bisa digunakan lagi. Konteks Indonesia, bagi saya istilah ini dirasa cukup membingungkan karena dilakukan pada saat tren jumlah korban yang terinfeksi sampai saat ini terus meningkat, lebih jauhnya lagi pada saat belum ditemukan vaksin.

Fenomena ini seperti lebih menegaskan lagi, bahwa pemerintah hendak menyelamatkan ekonomi. Mungkin akan jauh lebih menentramkan ketika new normal dilakukan sekurang-kurangnya ketika tren korban terinfeksi covid-19 sudah melandai atau bahkan sudah tidak ada sama sekali. Lebih jauh lagi saat vaksinnya sudah ditemukan, meski kabar baiknya adalah sudah ditemukan altenatif obatnya oleh Universitas Airlangga Surabaya.

Dalam terminologi hukum/UU di Indonesia tidak mengenal istilah new normal. Mungkin yang lebih tepat sebenarnya new norma (norma baru), sebab ada norma-norma baru dalam tatanan kehidupan sehari-hari yang harus disesuaikan dengan kondisi pandemik. Norma baru terkait dengan etika, perilaku masyarakat, dan juga aturan hukum yang harus adaptif dengan kondisi pandemik, misalnya kewajiban memakai masker ketika berada di ruang publik atau saat berinteraksi di masyarakat, diberlakukan aturan hukum seperti wajib menyalakan lampu sepeda motor di siang hari, hal seperti itu bisa diatur dalam Pergub/Perbup/perwal, dimana penegakkannya bisa oleh Satpol PP.

Pemerintah harus terus-menerus melakukan sosialisasi dan mengedukasi, seperti halnya dalam pencegahan virus HIV/AIDS. Kondisinya akan sangat mengkhawatirkan jika mengarah kepada herd immunity, jika itu terjadi maka dapat dipersepsikan pemerintah sudah sangat kewalahan.

Pada tingkat daerah, diantara persoalan yang sempat mengemuka dan terjadi pada banyak daerah di Indonesia adalah soal bantuan sosial yang diakibatkan penerima bantuan yang tidak tepat sasaran dan bantuan dirasa tidak meng-cover semua korban terdampak terutama dari kalangan tidak mampu. Pada sisi ini kita menyaksikan database yang dimiliki pemerintah kurang baik. RT/RW menyalahkan Desa, Desa menyalahkan Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota menyalahkan Provinsi, Provinsi menyalahkan pusat. Dalam hal ini jangankan bantuan penanganan covid-19, bantuan yang selama ini rutin seperti Program Keluarga Harapan (PKH) saja banyak dikeluhkan ada yang tidak tepat sasaran.

Belum lagi soal kebijakan yang dirasa diskriminatif, seperti fenomena yang terjadi di Jawa Barat dengan Keputusan Gubernur Nomor 443/KEP.321 HUKHAM/2020 Tentang Protokol Kesehatan Untuk Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) Di Lingkungan Pesantren yang mendapat penolakan dari sejumlah elemen umat Islam karena dirasa diskriminatif, hanya menyasar pesantren, sementara yang lainnya tidak.

Pandemi yang datang tiba-tiba dan memiliki dampak luas ini bukanlah kehendak kita, dan bukan hanya menimpa negara kita. Oleh karenanya tentu saja permasalahan ini bukan tanggung jawab pemerintah semata, dan bukan hal yang tepat untuk saling menyalahkan melainkan harus bersatu-padu menghadapi keadaan.

Saya berkeyakinan bahwa Ins Shaa Allah akan banyak hikmah dari pandemi ini. Semua belajar banyak hal dari peristiwa ini, termasuk secara khusus dalam lingkungan akademis pun pandemi covid-19 ini menjadi tema sentral yang dikaji oleh lintas disiplin ilmu seperti dalam berbagai webinar yang berkembang di tanah air akhir-akhir ini. Dimana dengan webinar mampu menyatukan/mendekatkan yang jauh secara virtual, ilmu mudah didapat dengan gratis.

Jika secara konseptual dikenal dengan istilah kolaborasi penta heliks (penta helix collaboration), maka dalam penanganan pandemi ini, di luar pemerintah diperlukan pula peran dari swasta, masyarakat, media, dan akademisi/kaum intelektual, hal inilah yang belum terjadi secara massif saat ini sehingga pemerintah seolah memutuskan sendirian. Keterlibatan elemen di luar pemerintah diharapkan dapat lebih mendorong untuk dapat merumuskan kebijakan yang relatif paling tepat untuk dapat segera keluar dari krisis yang terjadi.

Saya masih menambatkan harapan kepada entitas pemerintahan level manapun, jikalau belum bisa memproduksi kebijakan yang baik, setidaknya tidak membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan atau bahkan melukai perasaan masyarakat dalam situasi pandemi. Yakinlah badai pasti berlalu!***