Oleh Nizar Kobani
Manajemen Seni yang Terlembagakan
Manajemen seni, sebagai sebuah disiplin ilmu yang memadukan ilmu manajemen dan ilmu seni, dipelajari di beberapa kampus sebagai mata kuliah yang mempelajari perencanaan, pengorganisasian, dan pengambilan keputusan dalam kerangka mengendalikan sumber daya manusia, ruang, properti, dana, dan informasi yang berhubungan dengan proses kreasi dan produksi seni.
Seorang seniman, artis, atau pelaku seni membutuhkan manajemen seni untuk kesuksesan karya kreatifnya. Bahkan, jika ditarik pada polemik seni untuk seni dan seni untuk masyarakat, manajemen seni dapat dijadikan jembatan untuk mengantarai otonomi kreatif seniman dalam jelajah estetik dan eksplorasi identitas berkarya dengan masyarakat.
Sebabnya, dalam estetika ada counter part inhern, yaitu logika dan etika. Dua hal terakhir inilah yang menjadi biang postulasi pembangun ilmu pengetahuan, pun ilmu manajemen dan ilmu seni.
Manajemen seni sejatinya menciptakan cara kerja atau susunan pekerjaan yang banyak liku-likunya menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang lebih familiar disebut birokrasi. Dalih ini menjadi alibi bahwa memanajemi seni membutuhkan tim, lembaga, organisasi –di luar proses kreatif berkesenian.
Kita mengenal istilah manajemen artis, tim produksi seni pertunjukan baik teater, pameran lukisan, lomba baca puisi, dsb. Dalam konteks seperti inilah lembaga bernama dewan kesenian didirikan, seperti Dewan Kesenian Jakarta (1969), Dewan Kesenian Cirebon Kota (2018), dan Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (2015), dsb.
Sementara itu, kata birokrasi sendiri memiliki makna lain, yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang berpegang pada hierarki dan jejang jabatan.
Jika kita mengelaborasi dua pengertian birokrasi ini, tentu lembaga yang dimaksud adalah lembaga yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan secara lebih luas, yaitu Dinas Pariwisata dan Budaya (atau apa pun namanya) sebagai stake holder pemerintah daerah tingkat I atau II.
Lalu, apa fungsi dewan kesenian jika sudah ada lembaga normatif birokrat di setiap daerah? Jika sudah berdiri, bagaimana batas tupoksi dan deskripsi kerja masing-masing lembaga tersebut?
Untuk mengkaji ini, kiranya perlu pembahasan dalam tulisan lain untuk melihat berbagai model kerja sama dinas dan dewan di beberapa pemerintah daerah. Dalam kesempatan ini penulis akan fokus pada relasi kuasa birokrasi dan keberdayaan (kelompok) kesenian.
Birokrasi Seni: Sebuah Patronasi
Birokrasi seni bisa dianggap hilir dari hulu sungai yang bernama otonomi energi kreatif-estetik seniman. Dari pernyataan ini dapat ditarik negasinya, yakni karya seni yang memaksa birokrasi seni ada.
Dalam pernyataan lain, boleh dianggap seniman dan karyanya menciptakan birokrasi seni. Apa lagi dalam konteks perkotaan, seni menjadi produk industri kreatif dan menciptakan pasar seni. Tentunya, ini yang diharapkan oleh seniman bahwa karyanya diapresiasi oleh masyarakat luas, baik secara spiritual, sosial, maupun finansial.
Oleh karena itu, birokrasi seni dan seniman (dan karyanya) tidak akan lepas dari konteks yang melingkunginya, yaitu masyarakat, pemerintah, kritikus/kurator, dan lembaga pendidikan seni.
Selain itu, jangan dilupakan modal pengetahuan historis dan kekayaan sumber daya alam daerah yang membentuk kearifan lokal dalam tata nilai agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Singkatnya, seni hadir tidak dari kekosongan budaya.
Birokrasi seni dan seniman dapat diibaratkan dua bandul yang yang terus bergerak, yakni bertumbukan dan terpental. Bertumbukan dalam pengertian keduanya mesra dalam menyukseskan peristiwa kesenian, sedangkan terpental dalam pengertian keduanya memiliki mekanisme kerja masing-masing.
Birokrasi berjalan dengan efektivitas logika dan etika yang kemudian menjadi sistem, struktur dan prinsip kerja. Intinya, birokasi seni hadir untuk memanajemi (mengatur) kesenian. Seniman berkarya dengan kemerdekaan ekspresi dan mematrinya dalam karya seni. Intinya, seniman memiliki hak prerogatif merdeka an sich.
Efektivitas birokrasi seni mensyaratkan tim dan kepemimpinan yang visioner dengan turunan misi berupa program kerja yang kontekstual dengan tantangan dan kebutuhan kesenian dan kebudayaan daerah.
Dengannya, lembaga atau badan didirikan. Dengannya, AD/ART dirancang. Dengannya, lembaga birokrasi seni menjadi tali atas dua bandul di atas dan berfungsi mengurasi karya seni sedemikian sehingga khalayak ramai dapat mengakses, mengapresiasi, dan mendapat sisi kemanusiaan dari representasi karya seni. Dengan demikian, efektivitas birokrasi seni yang terlembagakan membutuhkan sarana dan dana operasional.
Dalam konteks ini, Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT) sebagai badan ad hoc pemerintah yang dibentuk melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota Tasikmalaya. membutuhkan dana operasional untuk merealisasikan programnya. Karenanya, sebuah kewajiban bagi pemerintah daerah untuk memberi dana operasional pada badan atau lembaga ini.
Sejatinya, energi kreatif hulu (seniman dan karyanya) semakin menjadi manakala kuasa birokrasi seni yang terlembagakan hadir dengan kurasional yang objektif dan dana operasional yang takterbantahkan.
Inilah ihwal patronasi yang dimaksud penulis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, pat.ro.na.si berarti kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang untuk membuat perjanjian dalam suatu kontrak kerja.
Kata patronasi umumnya dipahami sebagai pemberian bantuan, dukungan, keistimewaan, atau bantuan keuangan dari suatu organisasi (dalam hal ini pemerintah) atau individu kepada organisasi atau individu lainnya. Dalam sejarah seni, patronasi mengacu pada dukungan yang diberikan raja (baca pemerintah), paus (baca pemuka agama), dan orang kaya (pengusaha) kepada para seniman.
Menariknya, jika kita bandingkan dalam ranah politik, patronasi dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya negara untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Sebagai contoh, pengangkatan menteri dari kalangan anggota partai politik.
Kea(l)palacuran
Apa lacur. Ungkapan ini penulis sampaikan untuk menyambut 5 calon Ketua DKKT periode selanjutnya, yaitu 1) Yaman Suryaman, S.H. M.H.. 2) Falhan Basya, 3) R. Atik Suwandi K., 4) Budi Riswandi, M Pd., dan 5) Widiyanto sebagai perwakilan dari 11 rumpun kesenian di DKKT (07/07/20).
Ungkapan ini menyatakan ketidakberdayaan, bagaimana lagi, atau apa daya penulis. Sebabnya, lembaga ini telah berdiri 5 tahun. Selain itu, penulis bukan orang yang berwenang untuk membuat dan mencabut SK pendirian DKKT.
Lepas dari kinerja dan evaluasi atas program-programnya selama ini, birokrasi seni dapat dilakukan oleh siapa pun baik perorangan maupun organisasi. Wawan Juanda dengan Republic of Entertainment telah melakukan kegiatan kurasional dengan berbagai pertunjukan seni dan festival atas kekayaan khazanah kesenian dan kebudayaan, terutama di Jawa Barat. Ini adalah contoh bagaimana masyarakat ikut serta dalam penguatan orientasi kebudayaan.
Satu yang luar biasa adalah mengangkat tari topeng tradisi khas Cirebon dengan maestronya, yakni Mimi Rasinah sampai ke tingkat internasional. Di Kota Tasikmalaya, ada berbagai kelompok kesenian yang juga melakukan kurasional, seperti SST, Lesbumi, Komunitas Cermin, Teater Bolon, kelompok seni di bawah lembaga pendidikan, dsb.
Mudah-mudahan, keapa-lacuran ini bukan malah membuat aliran sungai kesenian menjadi tercemar atau tali gayutan bandul terlilit. Atau malah, kreativitas seni menjadi parsial dari masyarakatnya karena kuasa birokrasi seni yang terlembagakan dan kuasi dana operasional dalam sistem anggaran pemerintah yang cenderung reduktif. Yang disebut terakhir adalah kealpa-lacuran penulis dalam memahami sebuah lembaga.
(Mangkubumi, 7 September 2020)