Oleh Nizar Machyuzaar
Perjalanan. Sebuah keniscayaan. Sambil lalu, kudengar lagu lawas “Kolam Susu”. Namun, serupa metafor. Aku tenggelam dalam arus waktu. Sebuah siklus. Boleh dikata seperti itu. Ihwal keberangkatan. Ya, aku menemu batas yang bukan batas.
“//Bukan lautan hanya Kolam susu/Jaring dan jala cukup menghidupimu/Tiada badai tiada Topan kau temui/Ikan dan udang menghampiri dirimu//”
Lirik ini terus menjejal benak pikiranku. Bukankah dalam penampang waktu yang siklis kita bisa kembali? Apa lacur. Perjalanan meluncur dalam linearitas ke-akukini-an. Ihwal sebuah batas. Batas yang bukan batas. Menuju kilometer nol yang juga, bukan bernilai nol.
“/Orang bilang Tanah kita tanah surga/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman/Orang bilang tanah Kita tanah surga/Tongkat kayu dan Batu jadi tanaman//”
Dalam sebuah sesi perjalanan. Dengan bersusah payah menghadirkan kelaluan. Di tahun 2016, sebuah tribute digelar. Yang eMpu-nya hajat, satu yang tersisa, Yon Kuswoyo, membuka tabir metafor: tongkat kayu dinisbat batang pohon dan batu dinisbat singkong.
Syahdan, sebuah jembatan dibangun. Lalu dan kini dipertemukan. Ungkapan ini memang jembatan. Metafor yang coba dihidupkan kembali Sang eMpunya.
Namun, ungkapan ini juga menghacurkan kekinianku. Aku seperti menuju kilometer nol yang bukan nol. Aku tenggelam dalam siklus waktu tanya: pikiran atau bahasa sebermula?
Konon, belahan kanan otak kita bisa memproduksi gambar yang berkorelasi dengan simbolitas tanda bahasa di memori belahan kiri. Kedua belahan ini secara dialektis mengabstraksi metafor. Si Oteng alias belahan tengah otak lebih menyimpan energi imanensi. Bahwa kita sebuah teks berkonteks ruang dan waktu. Dan energi konteks sering bersulih rupa. Kita mengenalnya dengan istilah intuisi.
Dalam bait pertama, sebuah alegori memaksaku berimaji. Kesemestaan (bukan lautan) dibatasi kehadiran (hanya kolam susu). Manusia dan pengetahuannya (kail dan jala) mendedah alam (bisa menghidupimu). Sedemikian bernasnya makhluk bernama manusia dengan pengetahuan (kail dan jala) berhadapan (baca mengeksplorasi) dengan alam.
Lanjut, paralelisme anaporis ditegaskan dua kali dalam bait kedua (//orang bilang tanah kita tanah surga/tongkat kayu dan batu jadi tanaman//).
Metafor ini berjuang menemu batasnya batas kisah. Sebuah kejadian. Serupa Tragedi. Adam tergoda dengan keindahan dan kenikmatan surga “dunia”. Sebuah metafor yang berjuang menjadi dogma. Sebuah kisahan berbatas kekinian. Bahwa apa pun bisa jadi di tanah ini. Zamrud khatulistiwa.
Inilah yang kumaksud. Bangun kisahanku runtuh. FHancur berantakan. Ternyata, sesederhana itu. Metafor batang pohon dan umbi singkong memenjarakan keberjamakan tafsir atas teks. Zamrud yang berkilau dari berbagai sudut pandang menjadi sekonkret itu.
Ihwal teks dan konteks. Ihwal tafsir dan Sang eMpunya. Ihwal metafor mati yang dihidupkan. Ihwal tafsir tunggal atas silau cahaya zamrud. Kita melalui perjalanan ini. Ihwal semesta teks. Lalu, pikiran atau bahasa sebermula menukil identitas aku, kamu, kami, kita, mereka? Aku ingin merebut identitasku dengan metafor keindonesiaanku.
Arkian, aku telah menemukan batas. Aku menemukan kilometer nol sebuah metafor yang, menolak dijejak sebagai awal. Sebuah muasal perjalanan. Aku ingin membangun ulang narasiku yang hancur. Aku tahu,kelaluanku sampai pada kilometer nol yang bukan kilometer nol. Aku sadar, aku akan menemu batas yang bukan batas.
Oktober 2020