Oleh Usman Kusmana
Ketua LTN NU Kab. Tasikmalaya
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Unpas Bandung
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara.
Pesan Undang-Undang tersebut, sangatlah jelas bahwa antara pemerintah daerah (Eksekutif) dan DPRD (Legislatif) memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
Sehingga konsekuensinya adalah dalam seluruh proses perumusan, perencanaan, pengambilan keputusan strategis, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan publik yang dikeluarkan harus mencerminkan spirit relasi kesetaraan dan kemitraan dan kesepakatan kedua lembaga politik tersebut.
Dinamika relasi antara eksekutif (Bupati/Walikota) dengan legislatif (DPRD) di daerah seringkali terdengar beragam. Ada yang terjalin dengan baik, ada juga yang tidak/kurang baik.
Langsung atau tidak langsung setiap kondisi dinamika tersebut pastilah akan berdampak terhadap publik itu sendiri. Rakyat bisa diuntungkan atau bisa dirugikan karena keharmonisan keduanya atau karena ego masing-masing.
Salah satu proses politik paling menentukan dalam mengukur bagaimana tingkat harmonisasi peran eksekutif dan legislatif di daerah adalah pada saat perumusan dan pengambilan keputusan menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Karena disitulah substansi pokok bagaimana pemerintahan daerah dijalankan, bagaimana tata kelola pemerintah yang tujuan utamanya adalah melaksanakan pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Melalui APBD lah kebutuhan pembangunan dan kesejahteraan di rumuskan melalui serangkaian program kegiatan di setiap Organisasi Perangkat Daerah sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Lingkaran in put, out put, outcome, benefit, impact dirumuskan melalui proses perencanaan baik secara politik maupun teknokratik, sehingga bermuara menjadi sebuah rumusan Kebijakan Publik.
Dalam proses perencanaan Program Pemerintaha Daerah, usulan program itu bisa berangkat dari 4 model sebagai sumber yaitu, Program Berbasis Musrenbang yang secara tekokratis dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Diawali dengan musrenbang di tingkat dusun (Musrenbangdus), musrenbang di tingkat desa (Musrenbangdes), musrenbang di tingkat Kecamatan (MusrenbangKec), Musrenbang di tingkat Kabupaten/Kota, Musrenbang di Tingkat Provinsi, Hingga Musrenbang di Tingkat Nasional.
Kedua, Ada Program berbasis Prioritas Dinas (OPD), dimana dinas tersebut sesuai tupoksi yang melekat dalam nomenklatur Organisasi Perangkat Daerah tersebut baik yang berhubungan dengan urusan wajib pemerintahan maupun urusan pilihan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku menyangkut perangkat daerah.
Ketiga, Program berbasis diskresi Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Setiap Kepala Daerah tentu membawa muatan saat kampanyenya, diwujudkan dalam visi dan misi yang disampaikan. Dalam prakteknya Kepala Daerah memiliki ruang Diskresi untuk bagaimana visi misi kampanyenya bisa di jalankan dalam pelaksanaan kepemimpinannya di daerah.
Keempat, Program berbasis reses anggota DPRD. Sesuai ketentuan perundang-undangan, bahwa anggota DPRD juga memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat di dapil nya.
Fungsi rePresentasi tersebut tentu saja melekat dalam tupoksinya sebagai wakil rakyat. Dia membawa usulan, masukan, aspirasi dari dapil yang diwakilinya.
Secara rutin anggota DPRD melaksanakan kegiatan reses, berkunjung dan bersillaturrahmi dengan konstituennya di dapil. Seluruh usulan dari basis konstituennya tersebut berwujud menjadi Usulan Program berbasis reses DPRD.
Keempat basis program tersebut di rumuskan secara komprehensif dalam musrenbang tingkat Kabupaten/Kota. Dalam forum musrenbang tersebut seluruh stakeholder tergabung dalam musyawarah merencanakan usulan-usulan program pembangunan di daerah.
Semua usulan dari Program prioritas dinas, program diskresi kepala daerah, program berbasis reses DPRD di ramu menjadi RKPD atau rencana kerja Pemerintah Daerah. Yang tahapan selanjutnya setiap tahun selama 2 kali di formulasikan menjadi Kebijakan Umum Anggaran- Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dengan produk akhirnya tentu saja adalah APBD murni dan perubahan tahun berjalan. Pelaksanaannya juga terkait dan berkolaborasi dengan program (APBD) Provinsi dan program pemerintahan pusat (APBN).
Semua proses perumusan kebijakan publik tersebut tentu saja harus mencerminkan semangat kebersamaan dan kemitraan, sikap saling menghormati dan saling menghargai peran dan fungsi serta kewenangan masing-masing.
Setidaknya ada dua poin penting yang bisa menunjukan kualitas perumusan kebijakan publiK tersebut secara etis dianggap baik.
Pertama, bagaimana secara tahapan sesuai ketentuan UU dan Peraturan dibawahnya (Permendagri, Permenkeu dll), diikuti dan dilaksanakan dengan baik dan disiplin. Timeline perumusan kebijakan publik dalam wujud akhir APBD itu jelas jadwalnya, kapan input program dibuka, kapan KUA PPAS masuk dan disepakati dengan DPRD, kapan RAPBD masuk dan dibahas serta diputuskan bersama antara eksekutif dengan legislatif.
Setiap ruang tahapan dan jadwal yang disediakan ketentuan perundang-undangan semestinya harus dijalankan oleh keduanya, disana ada forum pembahasan yang dari eksekutif (Bupati/Walikota) melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah dan legislatif melalui alat kelengkapan DPRD yaitu Badan Anggaran, hingga akhirnya diputuskan melalui forum rapat paripurna DPRD.
Sangatlah tidak elok apabila, misalnya pihak eksekutif (Bupati/Walikota) memaksakan rumusan KUA PPAS hingga RAPBD tanpa mempertimbangkan kelembagaan DPRD.
Apalagi DPRD dipepetkan secara waktu penetapan akhir APBD tersebut dengan tanpa disediakan ruang untuk menjalankan fungsi budgeting DPRD dengan membahas usulan KUA-PPAS-RAPBD eksekutif tersebut.
Di sinilah bisa dibaca sejauhmana tingkat respect dan penghormatan Kepala Daerah (Bupati/Walikota) terhadap kelembagaan DPRD.
Dan ketika DPRD tidak berdaya, maka di sinilah pula kita bisa membaca bagaimana kondisi kelembagaan DPRD itu sendiri dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Wallahu A’lam. ***