Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Aktivis Perempuan dan Direktur Yayasan Taman Jingga
Tahun 2021 merupakan tahun ke dua pandemi kita merasakan efek pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan kehidupan masyarakat baik dari sisi ekonomi, sosial, dan tentu saja kesehatan. Pandemi Covid-19 merupakan peristiwa dan musibah besar yang kita hadapi sebagai bangsa, bahkan dihadapi oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia yang telah membawa pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Baik secara mental, spiritual, politik, ekonomi, budaya dan juga mobilitas sosial.
Pandemi ini sangat berat kita hadapi hampir semua sektor terkena imbasnya serta telah banyak memakan korban. Banyak saudara-saudara kita yang wafat ditahun ini karena covid 19, terutama pertengahan tahun pada bulan juni dan juli. Baik itu tenaga kesehatan maupun warga masyarakat yang lain.
Kita tentu sangat prihatin dan berduka atas musibah ini. Betapa 2021 menjadi tahun luar biasa bagi bangsa Indonesia. Dan kita bahu membahu menangani pandemi Covid-19 agar tetap bisa survive dan kuat menghadapinya.
Pandemi juga telah membawa dampak pada kehidupan termasuk anak-anak sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia. Akibat pandemi, lumayan berdampak pada tumbuh kembangnya, karena pandemi ada banyak anak yang kehilangan orang tua.
Belajar daring jarak jauh berpengaruh terhadap mentalitas anak, tak mudah memang masa adaptasinya walaupun sekarang sudah mulai dibolehkan pembelajaran tatap muka.
Selain itu, menyebabkan anak putus sekolah entah karena kondisi ekonomi, atau juga ditinggal wafat orang tuanya. Kalau anak-anak Indonesia hari ini banyak yang putus sekolah dan depresi karena pandemi dan menjadi yatim piatu, bangsa ini yang akan menerima dampaknya beberapa puluh tahun ke depan.
Sejak pandemi merebak di Indonesia Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, jumlah anak yatim mencapai ribuan karena tingginya angka kematian di Indonesia. Sedangkan menurut laporan yang diterima oleh Kementerian Sosial, per-September 2021 jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 28.000 anak.
Salah kaprah dalam penggunaan gawai juga menjadi masalah bagi anak-anak pada masa pandemi. Imbas dari sekolah daring yang mau tidak mau harus menggunakan media gadget atau gawai dalam pembelajaran jarak jauh.
Penggunaan gawai di waktu yang lain disalahgunakan oleh anak-anak yang memang belum memahami sisi positif dan negatifnya penggunaan ponsel pintar tersebut. Mereka asik berselancar di dunia maya tanpa bimbingan dan pengawasan orang tua.
Tidak mudah memang untuk menggunakan gawai secara bijak dan tepat guna bagi anak. Karena ada banyak orang tua di zaman ini yang masih gagap teknologi atau juga acuh tak acuh dalam pengawasan anak ketika anak anak menggunakan gawainya sehingga mereka bebas mengakses konten negatif yang tidak mengedukasi dan difilter oleh orang tuanya.
Ada game online, aplikasi yang seharusnya memang belum saatnya digunakan anak-anak. Tapi nyatanya dengan mudahnya mengakses semua itu membuat akun sendiri dengan memalsukan tahun dan tanggal kelahirannya.
Miris memang, tapi kenyataannya inilah yang terjadi selain imbas dari pandemi dan kemajuan zaman arus teknologi dan arus informasi. Sebenarnya akan menjadi positif apabila penggunaannya tepat dan di bawah bimbingan serta pengawasan orang tua sehingga menjadikan anak kreatif dan produktif.
Selanjutnya masih lekat dalam ingatan kita dalam pemberitaan maraknya kasus kekerasan seksual anak di beberapa daerah. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), per November 2021, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.556 kasus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap anak meningkat dalam 3 tahun terakhir. Hal ini berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan Kementerian PPPA pada tahun 2019, 2020, dan Januari-November 2021.
“Jadi trennya terjadi terus peningkatan,” kata Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta N Sitepu dalam diskusi virtual “Reformasi Bidang Pendidikan dan Penyederhanaan Kurikulum“ yang disiarkan di Youtube Tempodotco, Rabu (8/12/2021).
Pribudiarta mengatakan, tahun 2019 ditemukan ada 11.057 kasus, tahun 2020 sekitar 11.279 kasus. Sedangkan, sepanjang tahun 2021, mulai Januari hingga November, ditemukan ada 12.556 kasus kekerasan anak. Pribudiarta menyebut kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi kepada anak-anak.
“Paling banyak itu adalah kekerasan seksual, hampir 45 persen yang dialami anak diikuti kasus kekerasan psikis sekitar 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen. Dan lainnya kemudian berupa penelantaran, trafficking, eksploitasi ekonomi dan lain-lain itu yang dihadapi oleh anak-anak kita,” tegas dia.
Selain kasus kekerasan Seksual anak, Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) mencatat ada 64.000 anak di bawah umur mengajukan dispensasi menikah selama pandemi Covid-19.
Asisten Perlindungan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA, Rofika mengatakan, dispensasi anak menikah sebelumnya telah dinaikan dari usia minimal 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun, permohonan menikah anak selama pandemi Covid-19 masih tetap berlangsung dikarenakan kondisi belajar daring yang membuat pengawasan dan pola asuh anak menjadi buruk.
“Catatan kita sudah ada sekitar 64 ribu anak di bawah umur mengajukan dispensasi menikah. Persoalannya kompleks karena pola asuh anak hingga ekonomi,” kata Rofika dikutip dari kompas.com (10/6/2021).
Kemudian masalah stunting masih menjadi tugas berat yang patut diselesaikan. Pada 2019 persentase angka stunting nasional berada pada 27, 67%. Jumlah yang masih jauh dari standar WHO, di bawah 20%. Covid 19 semakin menambah persentase di atas. Masalah stunting tidak hanya menyerang fisik, melainkan membahayakan kemampuan otak anak-anak dan kaum remaja. Kemampuan konsentrasi terganggu, memori melemah.
Dengan demikian, jika masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda, stunting sebenarnya tengah mengancam masa depan bangsa.
Membiarkan stunting merusak anak-anak dan kaum remaja sama dengan membiarkan bangsa ini berjalan mundur. Maka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah Konstitusi harus dimulai dengan memberantas stunting. Anak-anak dan kaum remaja bebas stunting, Indonesia sehat dan tumbuh.
Melirik angka persentase stunting yang masih tinggi, pemerintah dan seluruh elemen bangsa harus berkewajiban untuk memberantas bahaya stunting di tahun 2022. Itu menurut Wakil Ketua MPR RI Dr. Lestari Moerdijat yang dikutip darI Antarajateng (31/12/2021).
Selain kasus diatas, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menyoroti kasus perundungan di internet atau bullying online yang dialami pelajar. Ia mengaku prihatin karena banyak mendapati perilaku negatif di media sosial yang melibatkan pelajar.
“Baik sebagai pelaku, maupun korban. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) telah mencatat kenaikan yang signifikan dalam perundungan daring pada pelajar sejak tahun 2011 sampai 2019, yakni mencapai 2.473 orang,” ucapnya.
Nadiem yakin pengguna media sosial di Indonesia begitu masif seiring dengan perkembangan teknologi dan kemudahan akses terhadap gawai. Namun menurutnya, fenomena ini belum diimbangi dengan tingkat literasi digital dan media sosial yang baik.
Keprihatian selanjutnya dari sekian banyak masalah anak Indonesia adalah terkait masalah meningkatanya angka perceraian di beberapa daerah Indonesia saat Pandemi. Mau tidak mau ada korelasi dengan masalah anak-anak, karena disadari atau tidak ada banyak perceraian yang menjadikan anak broken home, akan tetapi tidak setiap perceraian akan menjadikan anak demikian.
Ini terjadi bagi orang tua pascabercerai tidak ada komunikasi sehat dalam pengasuhaan pendidikan anak. Sehingga rentan terjadi anak yang broken mencari figur diluar sana dan salah dalam pergaulan dan ini bisa saja memicu kenakalan remaja, narkoba, kekerrasan seksual dan masalah masalah lainnya.
Kasus perceraian tidak semuanya berujung negatif pada mentalitas dan tumbuh kembang anak. Karena ada banyak juga anak yang orang tuanya bercerai tetapi hidupnya stabil dan bisa sukses di kemudian hari.
Tidak sedikit pula anak yang orang tuanya utuh tidak bercerai namun mereka terjebak pada narkoba, kekerasan seksual dan hal lainnya. Artinya kembali kepada pengawasan orang tua dan pola asuh di keluarga.
Karena dari sekian banyak masalah anak, yang paling penting adalah pola asuh di masing-masing keluarganya. Pola asuh yang salah serta kurangnya pengawasan orang tua menjadi penyebab yang paling mendasar disetiap permasalahan anak. Tentu selain itu juga ada faktor faktor lain yang menjadi pemicunya. Seperti kebijakan kebijakan dari pemerintah serta aturan aturan hukum yang belum berpihak pada kepentingan anak.
Butuh sinergitas semua pihak untuk membenahi semua permasalahan anak diatas yang diakibatkan oleh pandemi, juga akibat lainnya di tahun 2021. Karena masalah anak Indonesia hari ini adalah masalah Bangsa Indonesia di masa depan sehingga perlu perhatian dan penanganan yang serius untuk menyelesaikannya atau paling tidak menguranginya.
Sinergitas dari para pemangku kebijakan di eksekutif ataupun di Legislatif, instansi terkait, sekolah/ lembaga pendidikan, organisasi yang konsen dalam isu anak. Para pakar dan pemerhati anak, dan aktivis terutama para orang tua di masing-masing rumah.
Karena Indonesia bisa maju bisa kuat berawal dari rumah masing masing seperti yang diungkapkan oleh salah seorang pakar anak Ayah Edy ”Indonesian Strong Frome home”.
Ini relevan sekali bahwa untuk menjadi bangsa yang kuat dan maju harus dimulai dari rumahnya masing-masing dari ketahanan keluarganya serta pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Insha alloh harapan Indonesia kuat dapat terwujud.
Tahun 2022 di depan mata, mari semua membenahi diri, keluarga dan anak kita dengan mulai memberikan contoh teladan yang baik. Dari kita orang tuanya, orang dewasa di lingkungan kita masing masing untuk penerus kita yaitu anak anak Indonesia sebagai generasi bangsa di masa yang akan datang.***