Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden April 2019, hasilnya telah kita ketahui semua. Untuk Pilpres dimenangkan oleh Jokowi-Maruf dengan perolehan suara 55,50 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga Uno 44,50 persen (https://www.liputan6.com/pilpres/read/3971369/hasil-final-pilpres-2019-jokowi-5550-persen-prabowo-4450-persen).
Sedangkan partai politik yang masuk ke DPR ada Sembilan. Yakni, PDIP (19,33 persen suara), Gerindra (12,57 persen), Golkar (12,31 persen), PKB (9,69 persen), Partai NasDem (9,05 persen), PKS (8,21 persen), Demokrat (7,77 persen), PAN (6,84 persen), dan PPP (4,52 persen) (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190627210654-32-407163/rekonsiliasi-politik-dan-kekhawatiran-rusaknya-demokrasi).
Pemilu tahun 2019 ini sangat luar biasa gegap gempita. Masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu. Kubu 01 Jokowi-Maruf, yang didukung oleh sepuluh Parpol, yakni: PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, Perindo, PKPI, PSI, dan PBB. Sementara Kubu 02 Prabowo-Sandi didukung oleh: Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya.
Polarisasi ini sudah sangat menghawatirkan kita. Para pendukung masing-masing kubu, sangat mencintai jagoannya. Mereka membelanya habis-habisan. Pertempuran Cebong dan Kampret, tidak bisa kita anggap sepele. Luka yang diakibatkan polarisasi ini, bisa mengancam keselamatan integrasi bangsa.
Demokrasi Minus Oposisi
Banyak pihak menghawatirkan polarisasi masyarakat ini. Kehawatiran itu mendapat tanggapan serius dari Presiden terpilih Jokowi. Prabowo sebagai rivalnya dimasukkan dalam Kabinet kerja Jilid 2 sebagai Mentri Pertahanan. Rupanya benar adanya adagium yang mengatakan, bahwa dalam politik itu tidak ada pertemanan abadi dan permusuhan abadi.
Saat ini, masuknya kelompok oposisi ke barisan koalisi, menimbulkan kekhawatiran kita akan hilangnya fungsi kontrol yang seharusnya ada dalam sebuah negara demokratis. Dalam negara demokratis sangat diperlukan adanya kekuatan penyeimbang. Kemunduran lainnya adalah adanya Revisi UU KPK. Itu merupakan setback/ mengembalikan demokrasi kita ke masa lalu.
Dengan dimasukannya Prabowo menjadi bagian dalam kabinet kerja jilid duanya. Banyak orang mengatakan, bahwa itu manuver politik Jokowi yang sangat tepat. Suhu politik yang tadinya cukup tinggi, pasca Pilpres mulai mendingin. Prabowo pun nampak bersikap loyal kepada Presiden Jokowi, polarisasi di dalam masyarakat pun mulai mencair. Meskipun demikian, masih ada yang menganalisis –meragukan latar belakang Prabowo masuk dalam kabinet.
Strategi Sun Tzu
Kalau kita cermati langkah-langkah politik Prabowo beberapa saat setelah dilantik menjadi Menhan, memang pantas disematkan keraguan pada Prabowo. Karena langkah-langkah politiknya menimbulkan kekaguman rakyat, seperti menolak mobil dinas, gaji, dan lain-lain fasilitas yang seharusnya diterima oleh seorang pembantu Presiden. Adakah agenda yang lain?
Namun, berita itu kemudian diklarifikasi tidak benar oleh Prabowo. Klarifikasi seperti itu, bagi saya justru merupakan sebuah siasat politik yang mirip pernah diutarakan oleh Sun Tzu. Dalam stragegi ke-10 nya, Sun Tzu menyatakan: Pisau tersarung dalam senyum. Puji dan jilat musuh anda. Ketika anda mendapat kepercayaan darinya, anda bergerak melawannya secara rahasia. Nantinya, saat rakyat tidak mempercai pimpinannya lagi, karena beratnya beban ekonomi. Dia tampil sebagai penyelamat yang disukai oleh rakyat.
Semoga analisis seperti ini tidak benar. Kita percaya bahwa masuknya Prabowo ke dalam kabinet, didorong oleh rasa cintanya kepada NKRI, mendharma-bhaktikan kemampuan yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Untuk melihat benar/tidaknya hal ini, hanya bisa dibuktikan dengan berlalunya waktu.