Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Direktur Yayasan Taman Jingga
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 juli yang telah lalu menyisakan pilu karena pandemi belum berakhir.
Lonjakan korban yang terpapar Covid-19 tahun ini sampai meninggal terhitung banyak. Sehingga berimbas pada nasib anak-anak yang mendadak yatim piatu.
Tentu ini persoalan yang mesti jadi perhatian, karena anak yatim piatu tersebut secara pengasuhan harus jelas pascaditinggal oleh orang tuanya.
Banyak cerita pilu dan dramatis dari anak-anak ketika orang tuanya terpapar covid-19. Ada anak yang isolasi mandiri bertahan sampai sehat kembali, namun sayang orang tuanya meninggal tak terselamatkan.
Ini berdampak pada psikologis anak sehingga dibutuhkan perhatian khusus atau terapi (trauma healing) tergantung tingkat traumanya sehingga psikologisnya akan baik kembali.
Bila dibiarkan akan berdampak lama dan berimbas pada masa depannya. Pemerintah perlu memberikan layanan psikologis untuk anak-anak yang tiba-tiba kehilangan ayah atau ibunya atau bahkan kedua orang tuanya sekaligus di masa pandemi.
Layanan ini penting untuk membantu anak-anak mengatasi rasa kehilangan orang tua dan mempersiapkan mereka untuk survive meneruskan hidup dan menggapai cita-citanya di masa depan.
Anak-anak Indonesia hari ini adalah generasi bangsa ke depan. Kalau anak-anak Indonesia hari ini banyak yang putus sekolah dan depresi karena pandemi dan menjadi yatim piatu, bangsa ini yang akan menerima dampaknya beberapa puluh tahun ke depan.
Jangan sampai ada lost generation karena pendidikan anak-anak Indonesia hari ini terganggu akibat pendemi. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dari semua pihak terutama dari pemerintah.
Bila perlu didata anak anak yang mendadak menjadi yatim piatu karena orang tuanya wafat covid. Hal tersebut untuk memudahkan advokasi bantuan terhadap anak anak tersebut.
Studi terbaru dari jurnal The Lancet, diperkirakan 1,5 juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orang tua, kakek-nenek, atau kerabat lain yang mengasuh mereka karena meninggal akibat Covid-19.
Data serupa juga dirilis oleh penelitian dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS), setidaknya ada lebih dari satu juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orang tua karena Covid-19.
Di Indonesia, angka pasti jumlah anak yang menjadi yatim atau piatu di masa pandemi belum ada, tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, jumlahnya mencapai ribuan karena tingginya angka kematian di Indonesia.
Menurut laporan Satgas Penanganan Covid-19, angka total kematian pasien Covid-19 di Indonesia telah mencapai 92.311 per tanggal 30 Juli 2021.
Sesuai undang-undang, pengasuhan anak karena orang tuanya meninggal dialihkan ke keluarga besar. Kesulitan finansial dan luasnya pandemi tidak memungkinkan keluarga memikul tanggung jawab itu sendiri tergantung keadaan finansial masing-masing keluarga.
Tidak bisa dipukul rata sama kemampuan financialnya, ada yang mampu tanpa bantuan pihak lain banyak pula yang perlu bantuan.
Jangan sampai anak yatim piatu ini putus sekolah kehilangan harapan atau bahkan jadi tulang punggung menggantikan peran ayah ibunya untuk menghidupi keluarganya (yang jadi tulang punggung biasanya adalah anak sulung).
Apalagi jika anak yatim piatunya perempuan, kemungkinan mereka menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan sangat besar karena mereka harus mengganti peran ayah ibunya dalam mengurus adik-adiknya.
Pasti tidak mudah bagi mereka maka perhatian dan bantuan sangat diperlukan oleh mereka. Pemerintah perlu membangun komunikasi dengan masyarakat tentang perlunya keluarga terdekat yang mengasuh menggantikan orang tuanya yang meninggal.
Untuk mempersiapkan masa depan anak anak tersebut, sinergitas antara pemerintah dan masyarakat para pegiat sosial dan lembaga terkait.
Karena jika tidak terorganisir, dikhawatirkan dampaknya tidak baik untuk masa depan anak. Ada potensi putus sekolah, perkawinan usia anak, dan adopsi ilegal walaupun masih berupa potensi, tetapi ini mungkin sekali terjadi. ***