POPOK Cuneng habis. Seusai Jumatan, saya buru-buru berangkat ke swalayan di pusat kota. Di atas kepala, langit tampak amat murung. Saya harus balapan dengan hujan. Fokus saya, segera sampai di swalayan, membeli popok juga beberapa keperluan lain, pulang, istirahat sembari menyicil beberapa halaman buku yang belum terbaca. Terburu-buru, masih bersarung dan berkopiah putih.
Tiba di depan swalayan, saya disambut gerimis yang luruh perlahan-lahan. Air dari langit mulai berjatuhan. Saya bergegas. Di lantai dua, urusan keperluan Cuneng tertuntaskan tak lebih dari sepuluh menit. Saat hendak turun, stan roti di samping eskalator, tetiba mengunci perhatian saya. Oh, ya, Mamah-nya Cuneng sempat meminta dibelikan bolen lilit. Sayangnya, tempo hari itu, saya datang kepagian dan bolen masih dalam adonan.
Katanya, bolen lilit di stan roti ternama itu, belakangan memang sedang hits. Terbukti, saya harus mengantri. Tersebab sedang berlomba dengan hujan, saya ambil antrian di bagian kanan, lebih sedikit. Karena pelayan hanya menyediakan satu penjepit, antrian terdepan di kiri dan kanan saling bergantian. Tak berselang lama, seseorang di antrian sebelah, membuat saya memelas. Saya tersenyum saja.
Berwajahkan sinisme yang tak bersahabat, ia memerhatikan kopiah dan sarung saya. Sempat sebentar membuang wajah, ibu muda berambut agak pirang itu, mengalihkan penjepit kue ke antrian di belakangnya. Tentu, seharusnya penjepit itu menjadi giliran saya. Tak apa, saya tetap meresponnya dengan senyum, ia berlalu dengan kepala penuh bara. Entah kenapa.
Di perjalanan pulang, saya mulai teringatkan. Mempertegas identitas keagamaan di tengah keberagaman yang penuh warna, kadang memantik respon yang tak terduga. Namun, saya tetap yakin, ibu muda berambut pirang yang menyinyiri cara saya berkopiah dan bersarung ke swalayan, tidak mewakili sebagian banyak saudara-saudara non-muslim saya lainnya.
Di rumah, saya berusaha membujuk hati untuk tidak merasa terhina. Saya yakin, terhormatnya seorang muslim terletak dari caranya merespon baik keburukan orang lain dan “merespon buruk” kebaikan diri sendiri. Akhirnya, dari momentum ganjil tadi siang, kita masih dihadapkan pada PR besar yang belum terselesaikan: Memelihara harmoni keberagamaan di balik niscayanya keberagaman.[]