SAYA lahir dari keluarga berada, itu sebuah anugrah yang Tuhan berikan pada diri saya, dan itu sebuah fakta. Orang tua saya, H. Engkud Mahpud adalah pendiri dan sekaligus pemilik perusahaan Mayasari.
Pada masanya, di kalangan para pengusaha bidang transportasi khususnya, di Ibukota Jakarta semua orang tentu tahu beliau. Dari delapan orang anaknya, semua melewati masa-masa yang saya sebut sebagai “Kemiskinan yang Direncanakan”-nya sendiri, yang tentu saja berbeda-beda hingga mencapai posisi dan kondisi masing-masing seperti saat ini.
Yang saya maksud dengan “Kemiskinan yang Direncanakan” adalah sebuah filosofi hidup yang menempatkan cita-cita dan harapan sebagai batas akhir dalam menjalani kehidupan. Filosofi hidup ini penting sebagai landasan berfikir dan bekerja, sekaligus untuk mengontrol ketercapaian sebuah cita-cita dan harapan masing-masing. Pertanyaannya adalah, apakah kemiskinan itu akan terbawa hingga mati ataukah selesai ketika sebuah cita-cita dan harapan itu terwujud sesuai keinginannya?
Seseorang yang “merencanakan kemiskinan”, akan selalu berfikir rasional dan selalu menyadari bahwa dirinya mempunyai cita-cita dan harapan dalam menjalani hidupnya. Dia sanggup, dia merasakan “kemiskinan” dengan segala deritanya. Apakah itu kemiskinan dalam bentuk ilmu, kemiskinan waktu, kemiskinan kesempatan, maupun kemiskinan materi dalam batas waktu tertentu.
Seseorang yang “merencanakan kemiskinan” harus siap merasakan derita sebagai bentuk pengorbanannya (sacrifice). Ketika orang lain punya waktu dan kesempatan untuk jalan-jalan dia akan menahan diri untuk tinggal di rumah (mereketkeun diri, dalam bahasa Sunda), atau ketika orang lain berpesta pora dan hura-hura, bukannya dia tidak bisa melakukan semua itu dengan fasilitas orang tua, tapi karena memiliki filosofi hidup “merencanakan kemiskinan”, maka dia akan selalu berfikir rasional dan menyadari bahwa dirinya sedang dalam proses menuju cita-cita dan harapan hifup bahagia, sebab itu dia sanggup “mereketkeun diri” dan “melaparkan” diri sebagai bentuk pengorbanannya.
Pemikiran dan kesadaran menuntunnya untuk selalu belajar dan bekerja keras sambil tidak berhenti berdo’a. Dan ia akan berujung pada kematian dalam keadaan kaya raya. Tapi sebalaiknya, orang yang tidak memiliki filosofi hidup tersebut tidak akan berfikir rasional dan tidak pula menyadari bahwa kehidupannya sedang berjalan tanpa cita-cita dan harapan yang jelas, dan dia akan berujung pada kematian dalam keadaan miskin dan papa.
“Merencanakan kemiskinan” sekali lagi memerlukan fase sacrifice atau pengorbanan dalam bentuk kerelaan dan keikhlasan untuk mau menderita dalam jangka waktu tertentu sambil terus memandang dan memperjuangkan visi, cita-cita dan harapannya menjadi sebuah kenyataan dimasa yang akan datang.
Filosofi hidup “Merencanakan Kemiskinan” dapat memprediksi dan menjawab batas waktu sampai kapan kemiskinan itu berakhir, yaitu ketika kita telah selesai melewati penderitaan disaat menjalani masa-masa belajar, menuntut ilmu, mengasah keterampilan sampai selesai tingkat pendidikan tertentu.
Kesiapan untuk menderita dalam waktu tertentu merupakan wujud dari pemikiran dan kesadaran diri yang dipandu oleh visi, cita-cita, dan harapan sebahai upaya percepatan atau akselerasi dalam menghentikan kemiskinan itu sendiri.
Saya semakin yakin dengan keadilan Tuhan bahwa Dia telah memberi potensi dasar yang sama kepada setiap manusia berupa pikiran dan kesadaran. Pada hakikatnya, manusia memiliki kemampuan yang sama untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Jika potensi dasar kita digabungkan untuk membangun visi dan cita-cita bersama, akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat dalam menghadapi berbahai problematika kehidupan. Segala ujian akan dihadapi bersama dengan arif dan bijak tanpa kekhawatiran dan kepanikan yang berlebihan. Karena pikiran dan kesadaraj kita akan selalu dipandu, dikontrol oleh keyakinan terhadap philosofi hidup kita.
Pertanyaannya, bisakah kita membangun visi dan cita-cita bersama ?. Saya berani menjamin, itu bisa, dengan sebuah konsep yang saya sebut Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) yang terintegrasi dan berkesinambungan (Sustainable development to sustainable life) berlandaskan philosofi hidup “Kemiskinan yang Direncanakan”.
Dalam mengembangkan sebuah perusahaan, saya sangat yakin dengan konsep PSDM tersebut, karena sudah merasakan sendiri bahwa SDM itu merupakan asset perusahaan yang sangat berharga disamping asset-asset lainnya. Tanpa SDM yang kuat, memiliki kebersamaan dalam membangun komitmen, visi dan cita-cita, sebuah perusahaan tidak akan mampu bertahan lama, apalagi jika didera dengan berbagai krisis ekonomi secara global. Sebab itu, konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) yang terintegrasi dan berkesinambungan, menjadi sebuah keniscayaan bagibsaya dalam membangub dan mengembangkan perusahaan yang saya pimpin.
Sebagai pengalaman pribadi, saat saya mendirikan perusahaan transportasi PT Primajasa hingga berkembang maju seperti saat ini, saya menanamkan betul fiilosofi “Merencanakan Kemiskinan” ke semua karyawan saya. Sehingga mereka memahami bagaimana arti bekerja sesungguhnya, bagaimana seharusnya mereka bekerja, bagaimana mereka ‘merencanakan kemiskinan” mereka untuk connect dengan keyakinan terhadap cita-cita dan harapan mereka. Baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya.
Sehingga dalam situasi dunia usaha bagaimanapun sulitnya Primajasa bisa melewatinya dengan baik, seperti krisis 1998, krisis 2008 hingga kondisi seperti saat inipun dimana wabah covid-19 melanda bangsa kita dan dunia pada umumnya. Saya sebagai owner dan pimpinan perusahaan tetap menjaga keyakinan dan harapan karyawan saya untuk tidak khawatir dengan keadaan dan jalannya perusahaan, dan terus bersama-sama “merencanakan kemiskinan”, mengatasinya dan menghadirkan bahkan meningkatkan kesejahteraannya.
Karena sekai lagi, dalam pandangan saya karyawan itu SDM yang dari awal sudah bekerja dan berjuang membesarkan perusahaan, memajukan dan mengembangkan perusahaan, sehingga ketika situasi sulit melanda perusahaan mereka harus diinpus memori filosofi “Merencanakan Kemiskinannya” untuk tetap punya semangat, cita-cita dan harapan. Sehinga tentu saja, mereka pula pada akhirnya yang akan kembali merecovery kondisi perusahaan untuk kembali bangkit dan keluar dri kesulitan yang melanda perusahaan. Kata kuncinya adalah bagaimana menumbuhkan rasa memilikinya mereka terhadap perusahaan.
Kesimpulannya, “Merencanakan Kemiskinan” ala Primajasa ini adalah sebuah value atau nilai yang ditanamkan kepada seluruh karyawan akan pentingnya keyakinan dan menanamkan sikap bahwa lebih bagus “merencanakan kemiskinan” dengan memahami dan mau berproses dengan niat yang baik, tekad yang kuat, semangat yang menggelora serta kerja keras agar kemiskinan sesungguhnya berhenti pada batas ketika cita-cita dan harapan tercapai dan mati dalam keadaan kaya. Daripada menjadi kaya tanpa di rencanakan, tanpa melalui proses yang ujung-ujungnya menjadi mati dalam keadaan miskin.
Maka dari itu, dengan fhilosofi “Merencanakan Kemiskinan” sekali lagi, sesungguhnya adalah proses kehidupan untuk siap menghindarkan diri kita dari kematian dalam keadaan miskin. Sementara menjadi kaya yang tanpa direncanakan, akan membawa kita mati dalam kemiskinan.
Marilah setiap kita selalu menjaga filosofi hidup dengan “Merencanakan Kemiskinan” dalam diri kita, agar selalu tumbuh keyakinan dan kewaspadaan serta kekuatan dalam menjalani tahapan-tahapannya, disertai dengan keikhlasan dan ketawakalan dalan menjalani setiap proses yang dilewatinya.
Apakah kita menginginkan kemiskinan itu terbawa hingga kita mati atau selesai ketika derita kemiskinan, baik waktu, ilmu, kesempatan, maupun bentuk materi dapat kita lewati dengan tercapainya cita-cita dan harapan kita. Tentu kita menginginkan mati dalam keadaan kaya raya, sehingga kita tidak akan merepotkan orang-orang yang kita tinggalkan.
H. Amir Mahpud | CEO PT Primajasa Perdana Raya Utama