KANAL

Kafala, Praktik Islam yang Dipakai Mesir untuk Memperbaiki Nasib Anak-anak Terlantar

×

Kafala, Praktik Islam yang Dipakai Mesir untuk Memperbaiki Nasib Anak-anak Terlantar

Sebarkan artikel ini

YASMINE Khedr dan suaminya, Mohamed Harhash, menghabiskan akhir pekan dengan bermain bersama ketiga anak mereka di apartemen yang terletak di kota Alexandria, Mesir. Mariam, si anak tengah, bukanlah anak kandung mereka. Dua tahun lalu, pasangan itu mengangkatnya sebagai anak dari sebuah panti asuhan di Kairo, dan bertekad untuk membesarkannya bersama anak mereka yang lain.

Hukum Islam melarang praktik adopsi, hukum itu diterapkan kepada warga Muslim di Mesir. Islam menekankan pentingnya menjaga garis keturunan untuk memastikan alur warisan. Setidaknya, warga Muslim dapat merawat dan membesarkan seorang anak terlantar, meski anak itu kemudian tidak diperkenankan memperoleh warisan dari orang tua angkatnya. Seringkali, anak yatim piatu diambil keluarga jauh mereka tanpa adanya dokumentasi resmi. Hampir semua negara Muslim lainnya di kawasan Timur Tengah mempraktikkan hal serupa.

Akan tetapi, Islam memperkenalkan konsep hukum bernama Kafala, di mana seorang Muslim dapat memperoleh hak asuh secara penuh atas seorang anak yang bukan keturunan mereka. Meski demikian, anak tersebut tidak bisa memperoleh nama keluarga sang orang tua angkat, maupun mendapat hak waris. Ajaran Islam mendorong praktik Kafala yang menjanjikan ganjaran luar biasa di akhirat bagi Muslim yang merawat anak yatim piatu dan anak-anak terlantar.

“Kami ingin bersama Rasulullah di surga, di mana ia berkata; ‘Saya dan mereka yang merawat anak yatim piatu akan hidup di surga seperti ini,’ sambil ia menunjukkan dua jarinya – jari telunjuk dan jari tengah. Untuk itu, sudah sepatutnya saya merawat anak ini di rumah, memeluknya dan membiarkannya tidur di samping saya,” kata Yasmine Khedr,sang ibu angkat, dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press.

Yasmine dan suaminya, Mohamed Harhash sebelumnya pernah bekerja bersama dengan anak-anak jalanan, di mana kemudian keduanya berkeinginan kuat untuk bisa merawat anak yatim piatu.

“Dari perspektif duniawi, Yasmine dan saya sudah sering bekerja dengan anak-anak jalanan, dan kami kerap melihat betapa buruknya kondisi mereka. Kami terkadang juga mendengar cerita perlakuan kejam terhadap anak-anak di panti asuhan,” kata sang suami, Mohamed Harhash.

“Kami akan menyelamatkan nasib anak ini jika kami menghadapi semua masalah itu. Ia tak lagi harus tinggal di jalanan atau di panti asuhan. Kami akan memastikan ia memiliki ayah dan ibu, juga mendapat semua kasih sayang yang dibutuhkannya. Bagi kami hal itu tidak terlalu sulit, karena kami akan membesarkannya bersama anak-anak kami yang lain,” lanjutnya.

Pada tahun 2018, pemerintah Mesir memperkenalkan sejumlah amandemen hukum yang melonggarkan sejumlah pembatasan praktik Kafala. Tahun 2019, Menteri Solidaritas Sosial Mesir meluncurkan kampanye berjudul “Keluarga Bagi Setiap Anak,” yang berkomitmen untuk memberikan keluarga angkat bagi para anak terlantar. Kebijakan itu bertujuan untuk mengurangi populasi anak yang tinggal di sekitar 400 panti asuhan di negeri itu.

“Kami mencatat ada 12.500 anak terlantar yang kini sudah tinggal bersama 12.000 keluarga. Beberapa keluarga memilih untuk mengambil hak asuh lebih dari satu anak. Kami masih mengasuh 10.000 anak lainnya di panti. Kami harap, kami bisa memberi mereka semua keluarga, dan pada akhirnya membubarkan seluruh institusi perawatan anak-anak terlantar,” kata anggota Komisi Tinggi untuk Keluarga Alternatif Mesir, Hosny Youssef.

Sebelum tahun 2018, anak yatim piatu tidak dapat diberikan kepada orang tua angkat kecuali mereka sudah berusia di atas dua tahun. Batas usia itu kini telah diturunkan hingga usia tiga bulan, sebuah perubahan yang mengikuti hukum Syariah Islam.

Magdy Ashour, seorang pakar di lembaga Dar al-Iftaa Mesir- institusi keagamaan tertinggi yang bertugas mengeluarkan fatwa- mengatakan Islam mengenal dua bentuk Kafala. Pertama, seorang Muslim dapat memperoleh hak asuh atas seorang anak dan memenuhi kebutuhan anak tersebut dengan tetap membiarkan mereka tinggal di panti asuhan. Kedua, hukum syariah juga memperbolehkan orang tua angkat untuk merawat anak tersebut di rumah mereka sendiri, asalkan memenuhi sejumlah persyaratan.

“Hukum syariah Islam menetapkan apabila seorang perempuan menyusui seorang anak yang berusia di bawah dua tahun dalam lima kesempatan yang berbeda, anak tersebut secara otomatis menjadi anaknya sendiri, (di mana) adik dari perempuan itu menjadi bibi si anak, bahkan anak-anak dari perempuan itu menjadi kakak-adik anak tersebut,” kata Magdy Ashour.

Dengan memenuhi syarat tersebut, anak itu tidak lagi menjadi pihak asing di dalam keluarga. Dalam kasus Yasmine, ia dan suaminya membawa pulang Mariam ketika ia masih berusia tiga bulan. Pada saat itu, Yasmine juga tengah mengandung anak laki-lakinya yang bernama Sofyan. Delapan bulan kemudian, ia melahirkan Sofyan dan pada akhirnya menyusui keduanya. Dengan demikian, menurut Ashour, anak tersebut dianggap sebagai keluarga dekat.

“Pada akhirnya, merupakan suatu hal yang ilegal bagi anak tersebut untuk menikahi perempuan yang menyusuinya itu ketika ia sudah dewasa. Begitu juga bila ia anak perempuan, maka ia tidak bisa menikahi suami dari perempuan yang menyusuinya ketika sudah dewasa,” kata Magdy Ashour.

Yomna Dahrough adalah satu dari banyak perempuan Muslim yang mendapat manfaat dari fatwa tersebut. Setelah upayanya untuk hamil selama sembilan tahun berulangkali menemui kegagalan, akhirnya ia dan sang suami memutuskan untuk memperoleh hak asuh atas seorang anak yang kini menjadi anak mereka, Laila. Ia bersyukur hukum syariah Islam memungkinkannya untuk merasakan pengalaman menjadi seorang Ibu. Di sisi lain, ia merasa masyarakat Mesir cukup kejam terhadap para anak terlantar.

“Masyarakat melihatnya secara berbeda. Saya terus-menerus mendapat pertanyaan dan komentar seperti; ‘Bagaimana mungkin Anda membiarkan orang asing tinggal di rumah Anda? Anda tidak tahu siapa orang tua asli anak-anak itu. Tidakkah Anda takut? Apa hal ini memang diperbolehkan? Bukannya ini dilarang?,” kata Yomna Dahrough.

Untuk menjelaskan kesalahpahaman praktik tersebut, Dahroug pun lantas membuat laman Facebook bernama ‘Kafala di Mesir’, yang kini telah diikuti 45 ribu orang dan ia jadikan sebagai platform untuk mendukung para orang tua angkat.

Salah satu argumen yang selalu diungkit para pengkritik praktik Kafala adalah bahwa anak yatim piatu atau anak terlantar dapat membawa aib ke dalam keluarga angkatnya, karena mereka biasanya lahir di luar ikatan pernikahan. Hal itu dengan tegas disanggah Yasmine.

“Saya tidak merasa perlu menanyakan di mana Mariam ditemukan hingga akhirnya dibawa ke panti asuhan. Saya tidak peduli asal-usulnya. Yang saya pedulikan adalah masa depannya,” kata Yasmine.

“Yang paling penting adalah, apakah ia akan merasa bangga pada saya ketika dewasa nanti, dan sebaliknya, apakah saya akan merasa bangga padanya jika saya tua nanti. Masa depanlah yang penting (bagi saya). Ia tidak bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas masa lalunya (sebelum ini),” tegasnya. [rd/em]